Alasan Saldi Isra dan Suhartoyo Ingin Presidential Treshold Dihapus
JAKARTA, iNews.id - Sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diwarnai silang pendapat di kalangan hakim. Dua hakim konstitusi yakni, Suhartoyo dan Saldi Isra mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan keputusan mahkamah.
Suhartoyo berpandangan, keputusan untuk terus menenerapkan Pasal 222 tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) adalah bentuk mempertahankan sesuatu yang inkonstitusional.
Merujuk putusan MK No 14/PUU-XI/2013, dengan pelaksanaan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif berlangsung serentak, presidential threshold telah kehilangan relevansinya.
“Apabila diletakkan dalam desain sistem pemerintahan, (maka) menggunakan hasil pemilu legislatif sebagai persyaratan dalam mengisi posisi eksekutif tertinggi jelas merusak logika sistem pemerintahan presidensial,” kata Suhartoyo dalam sidang di MK, Kamis, 11 Januari 2018.
Menurut Suhartoyo, menggunakan hasil pemilu legisatif untuk mengisi jabatan eksekutif merupakan logika dalam pengisian posisi dalam sistem parlementer. Hal ini bertentangan dengan gagasan utama dilakukannya amandemen UUD 1945 yang menginginkan pemurnian sistem presidensial di Indonesia.
“Pertanyaan elementer yang niscaya akan diajukan, mengapa ambang batas tetap dipertahankan ketika keberadaannya menyimpang dari logika presidensial,” tutur Suhartoyo.
Sementara itu, Saldi Isra melihat logika yang selalu dikembangkan dari penerapan ambang batas pengajuan presiden adalah untuk menjaga stabilitas pemerintah dalam membangun hubungan dengan lembaga legislatif.
Para pendukung logika ini, kata dia, selalu percaya bahwa kalau presiden didukung oleh kekuatan signifikan akan lebih mudah mendapatkan dukungan di lembaga perwakilan.“Pandangan seperti itu hadir disebabkan praktik sistem presidensial yang lebih banyak ditandai masalah dasar yaitu bagaimana menjaga relasi antara presiden dan pemegang kekuasaan legislatif,” kata Saldi.
Dia juga mengkritisi frasa “pemilu anggota DPR sebelumnya” di Pasal 222 apakah termasuk dalam kategori open legal policy. Menurut dia kebijakan hukum terbuka adalah sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang tidak melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intorable.
“Memaknai moralitas dalam perumusan norma hukum dapat dilacak dengan alat alat ukur yang sederhana, yaitu seberapa besar pembuat UU memiliki himpitan kepentingan dengan norma atau UU itu sendiri,” kata Saldi.
Seperti diketahui, MK memutuskan ambang batas pencalonan presiden tetap 20 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu. Mahkamah menyatakan, rumusan Pasal 222 UU Pemilu sejak awal dilandasi semangat untuk memperkuat sistem presidensial.
Editor: Zen Teguh