Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Indonesia Kerja Sama dengan Rusia, Bikin Kapal Cepat Ramah Lingkungan
Advertisement . Scroll to see content

Apa Saja Bantuan yang Bisa Diberikan NATO dan Uni Eropa untuk Ukraina?

Senin, 21 Maret 2022 - 21:28:00 WIB
Apa Saja Bantuan yang  Bisa Diberikan NATO dan Uni Eropa untuk Ukraina?
Revy Marlina DEA (Foto: Sindonews)
Advertisement . Scroll to see content

Revy Marlina DEA 

Pengamat Kebijakan Luar Negeri Rusia dan Resolusi Konflik di Post-Soviet Space dan Yaman, Lulusan Master bidang Diplomasi dan Negosiasi Strategik Universitas Paris Saclay dan Hukum Internasional Universitas Grenoble Alpes. 

INVASI Rusia ke Ukraina sudah memasuki pekan keempat, sejak dimulai pada 24 Februari. Dunia pun bertanya-tanya apa yang bisa dilakukan Uni Eropa (UE) dan NATO dalam membantu Ukraina menghadapi Rusia. 

Di dunia di mana multilateralisme terus digaungkan, semakin juga peran organisasi internasional dipertanyakan dalam krisis yang terjadi. Ukraina, negara yang berbatasan langsung dengan Rusia dan Uni Eropa, sejak 24 Februari diserang Rusia melalui darat, laut, maupun udara. Menurut Pemerintah Ukraina, sekitar 1.800-2.357 tewas hanya di Kota Mariupol, berdasarkan data sejak 24 Februari sampai 14 Maret 2022. 

Memang terjadi serangan sebelumnya oleh Rusia di Mariupol di mana salah satu rumah sakit menjadi target pada 10 Maret 2022. Pihak Rusia mengklaim terdapat pihak ultra radikalis di dalamnya. Selanjutnya, menurut PBB, 3 juta orang lebih pengungsi telah meninggalkan Ukraina. Tiga negara penerima pengungsi terbesar dalam krisis kali ini adalah Polandia yang menerima sekitar 1,8 juta pengungsi per 15 Maret, disusul Hongaria sebanyak 263.888 orang, dan Slovakia sebanyak 213.000 orang. 

Surat kabar The New York Times menyebut, invasi Rusia terhadap Ukraina merupakan mobilisasi militer terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II. Kremlin memiliki alasan khusus atas invasi ini. Invasi yang disebut sebagai 'operasi militer khusus' itu memiliki tujuan untuk melindungi Donbass, terdiri dari Kota Donetsk dan Luhansk, yang berada di timur Ukraina. Kremlin mengumumkan operasi militer khusus untuk melindungi Donbass, tempat etnis terbesar Rusia dan penutur bahasa Rusia. Tujuan invasi ini, berdasarkan pernyataan Presiden Vladimir Putin untuk mendemiliterisasi dan mendenazifikasi Ukraia, yakni melindungi etnis dan penutur bahasa Rusia yang terancam atas retorik anti-Rusia yang dilakukan oleh Presiden Volodymyr Zelensky.

Dunia seolah memperdebatkan akar masalah antara kedua negara ini. Apakah benar invasi semata-mata untuk alasan mendemiliterisasi dan mendenazifikasi Ukraina atau ada alasan lain, di mana telah lama diketahui banyak pihak adalah persaingan antara Barat, baik Uni Eropa dan NATO, atas Ukraina. Melihat sejarah yang ada, penulis melihat alasan demiliterisasi dan denazifikasi hanya merupakan pretext atau dalih yang dilakukan Presiden Rusia. 

Sudah sejak lama, semenjak runtuhnya Uni Soviet pada 1991, Putin selalu mengatakan perluasan NATO merupakan suatu ancaman dan Putin menggambarkan disintegrasi Soviet sebagai salah satu bencana terbesar abad ke-20. Setelah negara lain yang bekas Uni Soviet seperti Republik Baltik yang terdiri dari Lithuania, Latvia, dan Estonia bergabung ke NATO, begitu juga Polandia dan Rumania. Jika dilihat, memang Rusia memiliki alasan untuk khawatir, terlebih Ukraina yang walaupun belum secara resmi bergabung ke NATO, namun telah mendeklarasikan niatnya untuk bergabung dan disambut baik oleh NATO, semakin menambah kekhawatiran Rusia. Dua kepentingan Rusia terhadap Ukraina di antaranya adalah Ukraina merupakan negara yang memiliki populasi terbesar di wilayah bekas Uni Soviet (populasi besar berarti pasar besar), yang memiliki total 44,9 juta penduduk, luas wilayah 603.700 km persegi dan yang paling penting Ukraina memiliki perbatasan dengan Rusia. 

Jika Barat berhasil melemparkan rezim demokrasi ke Ukraina, hal ini dikhawatirkan Rusia akan menyebarkan atau sengaja mengekspor revolusi ke negara-negara tetangga (dalam hal ini negara bekas Uni Soviet), termasuk Rusia.

Organisasi regional seperti CIS (Commonwealth Independent States), CSTO (Collective Security Treaty Organization), and (EEU) Eurasian Economic Union dibentuk oleh Rusia untuk mempertahankan pengaruhnya. Organisasi ini terbentang dari integrasi di sektor militer, politik, hingga ekonomi. 

John Mearsheimer, dalam bukunya, 'The Tragedy of Great Power Politics' menyebutkan “Kekuatan besar jarang puas dengan distribusi kekuatan saat ini", sehingga kekuatan besar tidak ragu untuk "menggunakan kekuatan untuk mengubah keseimbangan kekuatan jika mereka pikir itu bisa dilakukan dengan harga yang wajar”. Rusia tidak puas atas dominasi Amerika Serikat saat ini, dan setelah berbagai peringatan yang diberikan terhadap Ukraina, maka kekuatan militer melalui invasi-lah yang dilakukan Rusia. 

Namun faktanya untuk mempertahankan pengaruh di negara bekas Uni Soviet tidaklah semudah itu, sebab berbagai seri dari revolusi warna terjadi di wilayah ini. Revolusi warna merupakan protes besar-besaran terhadap pemerintah yang dilakukan negara-negara di wilayah bekas Uni Soviet yang terjadi di wilayah Eropa timur dan Balkan. Berbagai revolusi yang terjadi di antaranya, Rose Revolution di Georgia pada 2003, Orange Revolution di Ukraina pada 2003, Tulip Revolution di Kirgistan pada 2004, dan Velvet Revolution di Armenia pada 2018. 

Jika ditarik kesamaan dalam revolusi warna ini, rakyat di negara tersebut ingin mengganti arah politik yang lebih demokratis. Keinginan negara-negara ini kemudian disambut baik pihak barat seperti NATO dan Uni Eropa. Dalam kasus Ukraina misalnya, berbagai upaya dilakukan oleh Uni Eropa agar arah politik negara ini berhaluan ke Barat. Berbagai kerja sama dibentuk oleh UE dengan Ukraina seperti the Partnership and Cooperation Agreement pada 1994, lalu pada 2004 Ukraina masuk dalam the European Neighborhood Program dan the Eastern Partnership pada 2009, dan terakhir pada 2014, The Association Agreement. 

NATO telah memulai dialog dan kerja sama dengan Ukraina ketika negara yang baru berdiri pada 1991 ini bergabung dalam North Atlantic Cooperation Council pada 1991 dan The Partnership for Peace programme pada 1994. Hubungan di antaranya terus diperkuat dengan dibentuknya the NATO-Ukraine Commission (NUC). Kerja sama terus dilakukan dari waktu ke waktu di mana Ukraina secara aktif berkontribusi dalam operasi dan misi yang dipimpin oleh NATO. Hingga pada September 2020, Presiden Zelensky semakin memperkuat hubungannya dengan NATO melalui dibentuknya Strategi Keamanan Nasional Baru/New National Security Strategy yang memiliki tujuan akhir untuk bergabung NATO. 

Namun tampaknya serangan yang terjadi terhadap Ukraina oleh Rusia tidak serta merta secara otomatis membangunkan alarm bagi UE dan NATO untuk membantu Ukraina di bidang militer. Terlepas dari kerja sama yang telah dibangun oleh masing-masing kedua organisasi ini, UE maupun NATO harus menimbang cukup lama untuk membantu Ukraina setelah invasi dilancarkan Rusia. Lantas bantuan militer apa yang telah dilakukan oleh NATO dan UE secara langsung dalam krisis ini? 

UE: Upaya Mewujudkan Kebijakan Pertahanan Eropa

Walau Presiden Zelensky mengatakan masuknya Ukraina dengan prosedur cepat ke Uni Eropa akan memberikan manfaat kepada negaranya, terutama dalam bidang pertahanan di mana para anggota UE setuju untuk berperang secara militer jika terdapat serangan luar terhadap salah satu negaranya. Maka, jika Ukraina berada di UE, Rusia sekarang akan menghadapi senjata besar-besaran dari Prancis, Jerman, dan lainnya, alih-alih militer Ukraina saja. Namun pada 11 Maret 2022, UE mengeluarkan pernyataan untuk tidak memproses dengan cepat keanggotaan Ukraina ke dalam UE. 

Kebijakan pertahanan Eropa merupakan wacana yang sebenarnya sudah sejak lama digaungkan. Lebih dikenal dengan Kebijakan Keamanan dan Pertahanan Bersama sejak Perjanjian Lisbon pada 2007 merupakan kebijakan yang memiliki tujuan untuk memelihara perdamaian tidak hanya di wilayah Eropa namun di seluruh dunia. Jika ditilik balik, upaya pertama dalam kebijakan pertahanan Eropa ini dilakukan di perang Korea, antara tahun 1950-1954, pada saat itu masih bernama Komunitas Pertahanan Eropa. Namun perjanjian ini akhirnya tidak diratifikasi oleh keenam negara yang terintegrasi dalam integrasi Eropa, "Inner Six": negara-negara Benelux (Belgia, Belanda, dan Luxemburg), Prancis, Italia, dan Jerman Barat. 

Berbagai krisis yang terjadi seperti di Kosovo, Afghanistan, dan Krimea membuat wacana untuk mewujudkan Kebijakan Pertahanan Eropa kembali muncul. Prancis dan Jerman melipatgandakan upaya politik gabungan mereka, khususnya dalam bentuk surat kepada sekutu Eropa mereka, untuk meluncurkan kembali gagasan memasukkan pertahanan dalam kerangka arsitektur Eropa.

Dengan adanya Kebijakan Pertahanan Eropa maka 27 negara UE memiliki proyek pertahanan bersama tentang visi yang sama menghadapi tantangan geopolitik dunia. Jika dibayangkan memang terlihat tidak realistis karena ke 27 negara anggota UE yang tentu tidak memiliki kepentingan yang sama atau memiliki tujuan ataupun definisi yang sama mengenai arti ancaman, dan juga memiliki doktrin pertahanan yang berbeda karena perbedaan historis negara masing-masing mencoba untuk merealisasikan proyek ini di ranah operasional. 

Dalam hal ini, seperti apa yang dikatakan Ursula Von der Leyen, presiden Komisi Eropa, UE memiliki peran sebagai “security provider”. UE nantinya akan memiliki anggaran dan senjata bersama, pengadaan militer terpusat, serta institusi untuk mewujudkan perdamaian di dunia yang penuh dengan berbagai tantangan dan ancaman. Perlu diketahui saat ini tidak ada pengaturan tentara Uni Eropa dan domain pertahanan berada di bawah ranah negara-negara anggota dan wacana Kebijakan Pertahanan Eropa belum terealisasi hingga kini.  Dengan adanya krisis Ukraina yang saat ini terjadi UE semakin tersadar bahwa tantangan yang dihadapi di negara-negara tetangga semakin besar, dan sebagai organisasi regional yang ada di Eropa, UE sebenarnya melihat hal ini sebagai suatu kesempatan baru untuk meningkatkan pertahanan Eropa. Sejauh ini Uni Eropa melalui “European Peace Facility” telah membantu Ukraina sebesar 500 juta euro untuk membiayai pengiriman peralatan militer ke Ukraina. 

European Peace Facility merupakan instrumen di luar anggaran yang meningkatkan kemampuan UE untuk bertindak sebagai penyedia keamanan global, didirikan pada Maret 2021 untuk menjaga perdamaian, mencegah konflik, dan memperkuat keamanan internasional. Pembiayaan dan pengiriman senjata oleh UE ke negara dibawah invasi negara lain, dalam kasus ini Ukraina, merupakan aksi yang pertama kali yang dilakukan UE, di mana sebelumnya banyak pihak yang menganggap hal ini tabu, terlebih bantuan yang diberikan oleh UE hanya sekitar bantuan kemanusiaan. 

Josep Borrel Fontellas, perwakilan tinggi Persatuan Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan UE, kemudian mengatakan UE telah setuju untuk memberikan senjata mematikan, kepada tentara Ukraina senilai 450 juta euro paket dukungan dan 50 juta euro lebih untuk pasokan tidak mematikan, seperti bahan bakar dan peralatan pelindung. Memang terdapat upaya dari UE untuk membantu negara dalam krisis secara militer melalui pembiayaan dan pengiriman senjata, namun untuk mewujudkan Kebijakan Pertahanan Eropa, dengan perangkat yang telah dijelaskan sebelumnya tidaklah semudah yang dibayangkan terlebih perlu “political will” yang kuat dari negara-negara anggota. 

NATO: Tidak Disetujuinya No Fly Zone, Alternatif Bantuan Apa yang Diberikan NATO terhadap Ukraina? 

Banyak pihak berpendapat jika No Fly Zone diberlakukan maka, hal tersebut dapat membuka konfrontasi langsung antara Rusia dan Barat. Terlebih, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan jika pihak ketiga manapun yang mendeklarasikan No-Fly Zone, maka pihak tersebut dianggap ikut serta dalam perang kali ini. NATO tahu betul bahwa No-Fly Zone merupakan pilihan teratas yang memiliki risiko tertinggi. Jika No-Fly Zone diterapkan maka dapat terbayangkan perang terbuka antara Rusia dan Barat tak dapat dihindari. 

Lantas apa yang dilakukan oleh NATO untuk membantu Ukraina? Sebelumnya perlu diketahui dalam perang kali ini, bahwa aksi yang dilakukan NATO bersifat defensif, dalam hal ini bukan untuk mengekskalasi konflik melainkan menghindari konflik. Maka dari itu, mengirimkan tentara atau menerapkan No-Fly Zone tidak sesuai dengan prinsip NATO, terlebih Ukraina bukan anggota NATO. 

Pada 2014 NATO telah membantu untuk melatih, mendanai, dan mereformasi pasukan Ukraina dan institusi pertahanannya. Di tahun 2016, upaya ini diperkuat lagi melalui Comprehensive Assistance Package, yang mencakup bantuan lebih luas termasuk di dalamnya pertahanan siber, logistik, dan menangkal perang hibrida. Dalam kaitannya saat ini, yang dilakukan NATO sebagai organisasi aliansi militer, bukanlah membantu mengirimkan tentara atau senjata atas nama organisasi, melainkan menitikberatkan pada peran anggota NATO. 
NATO membantu untuk mengoordinasikan apa yang diperlukan dan diminta Ukraina dan anggota NATO mengirimkan senjata, amunisi, bantuan medis, dan peralatan militer ke Ukraina. Sejauh ini AS, Prancis, Jerman, Belgia, Belanda, Portugal, Ceko, Rumania, Kanada, Inggris, Spanyol, dan Yunani, yang merupakan anggota NATO, telah mengirim bantuan militer sejak invasi dimulai 24 Februari.

Pada akhirnya, jika dilihat, tidaklah mudah bagi organisasi internasional untuk membantu secara langsung di bidang militer terhadap Ukraina. Tidak mudah untuk menyamakan persepsi mengenai arti ancaman dan kebijakan bersama apa yang harus dilakukan menghadapi invasi yang dilakukan oleh Rusia, terlebih terdapat prinsip-prinsip yang kadang kala bertentangan dan menahan organisasi-organisasi ini untuk tidak terlibat lebih jauh. Peran negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional lah yang lagi-lagi dititikberatkan dalam hal ini.

Editor: Anton Suhartono

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut