Badai PHK Guncang Industri Media, Pemerintah Dinilai Perlu Reformasi Tata Iklan hingga Beri Subsidi Bersyarat
JAKARTA, iNews.id - Pemerintah dinilai perlu turun tangan untuk mengatasi industri media di Tanah Air yang saat ini diguncang dengan badai pemutusan hubungan kerja (PHK). Langkah yang bisa diambil dengan mereformasi tata kelola iklan hingga memberi subsidi bersyarat untuk media.
Dewan Pers mencatat, sebanyak 1.200 pekerja media termasuk jurnalis, terkena PHK sepanjang periode 2023 hingga 2024. Teranyar, sejumlah media nasional melakukan efisiensi yang berimbas pada PHK massal. Dari catatan, sedikitnya ada tujuh perusahaan media yang terpaksa mengambil langkah ini hingga awal Mei 2025.
Direktur Eksekutif Remotivi, Yovantra Arief menilai, publik berisiko kehilangan ekosistem informasi yang sehat bila tak ada langkah konkret dari pemerintah. Menurutnya, goncangan industri media bukan hanya terdampak pada sisi nilai ekonomi, melainkan juga demokrasi.
"Kalau pemerintah hanya diam, kita berisiko kehilangan ekosistem informasi yang sehat. Ini bukan hanya masalah industri, tapi masalah demokrasi," ujar Yovantra saat dihubungi iNews, Selasa (13/5/2025).
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu turun tangan. Salah satunya, dengan mereformasi tata kelola iklan pemerintah mengingat anggaran komunikasi pemerintah pusat dan daerah juga menjadi salah satu penghasilan yang signifikan bagi media.
"Pemerintah bisa mereformasi supaya iklan pemerintah lebih adil, lebih transparan, dan memperkuat media kecil yang memang melayani kepentingan publik," katanya.
Yovantra mengatakan, pemerintah juga bisa memberikan subsidi bersyarat untuk media publik dan independen. Perpres Publisher Rights tahun 2024 kemarin dibuat persis untuk mengatasi masalah ini.
"Namun yang akan banyak diuntungkan adalah media besar yang punya audiens nasional yang luas," tutur Yovantra.
Untuk pelengkap dari Perpres itu, dia menilai pemerintah juga bisa memberikan subsidi atau bantuan dana untuk media kecil, komunitas, dan independen dengan syarat ketat. Misalnya harus memenuhi standar jurnalistik tertentu, tanpa mengganggu independensi editorial.
"Ini sudah dicoba di beberapa negara Skandinavia. Tujuannya untuk melindungi keberagaman media dan menjaga akses publik ke berita berkualitas, terutama di daerah," katanya.
Yovantra menilai, pemerintah perlu mendukung transformasi media. Bantuan itu bukan hanya dengan insentif fiskal atau bantuan finansial, melainkan juga dengan menciptakan program untuk memperkuat kapasitas inovasi media lokal, mendorong diversifikasi pendapatan media, menguatkan model berbasis komunitas, dan meningkatkan kualitas jurnalisme.
Pemerintah juga bisa membuat semacam dana abadi untuk mendukung proyek-proyek inovatif seperti jurnalisme data, teknologi baru, bisnis model eksperimen seperti membership, donasi dan non-profit journalism. Ini bisa berbentuk hibah kompetitif, bukan subsidi rutin.
Menurut Yovantra, ada sejumlah faktor yang menyebabkan industri media Tanah Air bergejolak dan mengalami tantangan untuk bertahan saat ini. Pertama, perubahan pola konsumsi audiens yang semakin beralih ke platform digital dan media sosial sementara model bisnis media konvensional masih bergantung pada iklan dan model distribusi lama.
Kedua, disrupsi teknologi. Platform seperti Google dan Meta menguasai pasar iklan digital sehingga pendapatan iklan yang dulu menopang media, sekarang lebih banyak "bocor" ke platform global ini.
"Faktor ketiga, krisis kepercayaan dan kualitas. Banyak media yang terjebak dalam produksi berita cepat untuk mengejar traffic, mengorbankan kualitas dan kredibilitas, yang malah membuat publik semakin menjauh," tutur Yovantra.
Selain ketiganya, situasi ekonomi global dan nasional juga memperburuk kondisi industri media. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat turut berpengaruh.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia di titik terendah dalam lebih dari tiga tahun terakhir, yang menunjukkan tekanan signifikan pada daya beli masyarakat dan belanja iklan," ujarnya.
Editor: Maria Christina