Bamsoet: Manfaatkan Big Data untuk Strategi Pemenangan Pemilu
JAKARTA, iNews.id - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Bambang Soesatyo berpendapat, di era digitalisasi dan teknologi yang terus berkembang pesat saat ini, kunci pemenangan pesta demokrasi di Indonesia tidak hanya cukup mengandalkan strategi konvensional. Melainkan harus menggunakan metode yang lebih relevan.
Menurut dia, serbuan media sosial dan kecanggihan teknologi bakal memengaruhi masyarakat dalam menilai partai politik, politisi, kandidat kepala daerah, ataupun kandidat presiden. Karenanya, politikus Partai Golkar yang akrab dipanggil Bamsoet itu menilai pemanfaatan teknologi juga memengaruhi para politisi dalam mempelajari tentang karakter pemilih atau masyarakat.
“Di jaman old, para politisi biasanya menganalisis potensi perolehan suara berdasarkan distrik. Misalnya, dengan membagi dapil berdasarkan mayoritas-minoritas. Setelah adanya big data, para politisi bisa memanfaatkannya untuk memetakan demografi, sejarah kontribusi pemilih dalam politik, pandangan politik pemilih hingga urusan remeh seperti konsumsi media, aktivitas di media sosial, hingga status kepemilikan rumah atau kendaraan,” kata Bamsoet di Jakarta, Sabtu (7/4).
Dalam kesempatan yang sama, Bamsoet mengungkapkan pentingnya pemanfaatan big data di dunia maya sebagai salah satu cara pemenangan pilkada, pileg, serta pilpres. Bagi dia, pemanfaatan potensi ini harus menjadi strategi baru pemenangan jaman now.
“Pemanfaatan teknologi digital dengan memanfaatkan big data yang terdiri dari miliaran megabyte data di dunia maya, dalam pemenangan pilkada, pileg dan pilres harus mulai kita gunakan. Penggunaan teknologi akan menjadikan kampanye politik menjadi lebih rasional, karena berdasarkan fakta, data, dan analisis yang valid,” ucap Bamsoet.
Dia menuturkan, penggunaan data Facebook oleh Cambridge Analytica untuk memenangkan Donald Trum pada Pilpres Amerika Serikat 2016, menjadi salah satu bukti efektivitas big data dalam kancah pertarungan politik. Padahal, dalam berbagai survei sebelumnya, popularitas Hillary Clinton sebagai pesaing utama Trump jauh lebih unggul.
“Trump telah membuktikan keampuhan penggunaan big data dari Facebook untuk memenangkan Pilpres Amerika Serikat. Walaupun, akhirnya Facebook terkena imbas negatif akibat kebocaran data penggunanya yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik,” katanya.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI itu menambahkan, penggunaan big data dalam ajang pilpres di negeri Paman Sam bukanlah hal yang baru. Pada kampanye Pilpres AS 2004, George W Bush telah memanfaatkan big data sebagai strategi kampanye politiknya. Hal serupa juga dilakukan Barack Obama. Bahkan, tim kampanye Obama membentuk tim analisis data yang terdiri dari 100 staf analis untuk memastikan target pemilih.
Negara lain pun, kata Bamsoet, telah memanfaatan big data dalam pemilunya. Pada pemilu di Kenya tahun 2013, Uhuru Kenyatta (Presiden Kenya saat ini—red) menggandeng Cambridge Analytica untuk mengolah data pemilih guna menghadirkan kampanye yang tepat sasaran. Selain itu, India dan Malaysia juga dikatakan akan menggunakan big data dalam pemilu mereka.
Bamsoet pun merasa optimistis, pemanfaatan big data untuk strategi pemenangan pemilu di Indonesia tidak akan sukar diterapkan. Terlebih lagi, kata dia, saat ini pengguna ponsel pintar di Indonesia telah mencapai 160 juta orang. Tak hanya itu, pengguna media sosial aktif di Indonesia mencapai 130 juta orang dengan rata-rata berselancar di media sosial antara 23 menit hingga 3 jam setiap hari.
“Potensi big data yang ada belum dimanfaatan secara maksimal di negara kita. Padahal, siapa yang mampu memanfaatkan big data akan unggul dalam bidang apa saja, baik bisnis, intelijen, politik serta bidang lainnya. Data-data yang ada bisa diolah menjadi salah satu senjata utama dalam memenangkan berbagai pertarungan, termasuk pertarungan politik,” kata dia.
Editor: Ahmad Islamy Jamil