Bauran Kebijakan Melawan Dampak Covid-19
Wahyu Ario Pratomo
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara
DAMPAK virus corona atau Covid-19 terhadap perekonomian dunia semakin mengkhawatirkan. Banyak negara yang sudah mengambil kebijakan menutup diri (lockdown) sehingga menghentikan sejumlah aktivitas ekonomi. Berhentinya aktivitas ekonomi ini sebagai antisipasi merebaknya virus corona yang semakin cepat terutama di Eropa dan Amerika. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi global juga dijangka akan mengalami perlambatan yang cukup tinggi.
Morgan Stanley memperkirakan pertumbuhan global dapat terkontraksi hingga 0,9% tahun ini atau terendah sejak krisis keuangan global 2008-2009. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2020 diperkirakan hanya mencapai 2,5%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya 3,0%.
Bank Indonesia awalnya (Februari 2020) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5,0%-5,4%. Namun kemudian dikoreksi menjadi kisaran 4,2%-4,6% (Maret 2020). Level pertumbuhan yang sama juga disampaikan Morgan Stanley yang memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 4,6%.
Sampai saat ini dampak penyebaran Corona terhadap perekonomian masih belum dapat dihitung secara pasti. Namun perlambatan kegiatan ekonomi sudah terasa, terutama di sektor pariwisata, industri pengolahan, perdagangan, transportasi dan investasi. Untuk mengantisipasinya, sejumlah stimulus dikeluarkan oleh pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kondisi Ini menjadi momen yang menuntut tindakan kebijakan yang terkoordinasi dan inovatif dari pengambil kebijakan ekonomi yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Stimulus Ekonomi
Bank Indonesia dalam dua bulan terakhir telah mengeluarkan kebijakan moneter dalam meminimalisir dampak virus corona pada perekonomian Indonesia untuk menjaga stabilisas makro ekonomi dan sistem keuangan. Pada 20 Februari 2020, Bank Indonesia secara responsif menerbitkan kebijakan untuk mengantisipasi dampak Covid-19.
Kebijakan yang diambil adalah menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 4,75%; mengoptimalkan strategi intervensi di pasar DNDF (Domestic Non Deliverable Forward), pasar spot, dan pasar SBN guna meminimalkan risiko peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah; dan menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) Valuta Asing Bank Umum Konvensional, dari semula 8% menjadi 4%.
Kemudian; menurunkan GWM Rupiah sebesar 50bps yang ditujukan kepada bank-bank yang melakukan kegiatan pembiayaan ekspor-impor; dan memperluas jenis jaminan (underlying) transaksi bagi investor asing sehingga dapat memberikan alternatif dalam rangka lindung nilai atas kepemilikan rupiah.
Relaksasi kebijakan moneter dilakukan guna menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga tetap berdaya tahan di tengah risiko tertundanya prospek pemulihan perekonomian dunia. Kebijakan ini juga bertujuan untuk menjaga nilai tukar Rupiah tetap terkendali sesuai nilai fundamental didukung kinerja Neraca Pembayaran Indonesia yang tetap terjaga.
Keputusan Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan sejalan dengan arah suku bunga bank sentral global yang cenderung turun dan meningkatkan likuiditas melalui quantitative easing guna memberikan stimulus bagi sektor riil sebagai antisipasi dampak ekonomi dari merebaknya virus Corona. Bahkan penurunan suku bunga acuan bank sentral global lebih agresif. Di bulan Februari 2020, Bank Sentral AS menurunkan suku bunga acuan sebesar 1,5%, Bank Sentral Inggris menurun sebesar 50 basis points (bps) ke level 0,25%, dan Bank Sentral Korea Selatan juga memangkas suku bunga acuan sebesar 50 bps ke level 0,75%.
Guna menjaga stabilitas ekonomi di Indonesia, relaksasi kebijakan Bank Indonesia diikuti dengan kebijakan stimulus pemerintah. Adanya koordinasi kebijakan yang diambil Bank Indonesia dan pemerintah diharapkan mampu mengurangi dampak virus corona. Pemerintah merilis stimulus ekonomi jilid I di bidang pariwisata dengan memberikan diskon tiket penerbangan domestik dan pembebasan pajak restoran serta hotel di 10 destinasi utama pariwisata nasional. Stimulus juga memasukkan insentif berupa diskon tiket untuk penerbangan internasional.
Tidak cukup dengan satu paket stimulus, pemerintah kembali melanjutkan dengan stimulus ekonomi jilid II yang berisi kebijakan fiskal dan nonfiskal, utamanya untuk menopang aktivitas industri. Termasuk dalam paket stimulus fiskal yakni pembebasan pajak penghasilan (PPh) 21 untuk pekerja, penundaan pengenaan PPh Pasal 22 Impor, dan pengurangan PPh Pasal 25 Badan sebesar 30%.
Bauran kebijakan moneter dan fiskal diharapkan mampu membuat pelaku pasar lebih tenang, sehingga tekanan ke pasar keuangan, pasar modal dan sektor riil bisa berkurang atau mereda. Investasi portofolio dan investasi langsung diharapkan membaik sehingga IHSG di BEI dan rupiah bisa kembali menguat karena kepercayaan pasar membaik.
Sayangnya, bauran kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia dan Pemerintah kurang begitu mendapat respon positip oleh pasar. Pandemi corona bahkan semakin membuat kondisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 34,83% (year to date) pada posisi 20 Maret 2020. Sebagian besar manajer investasi dan perencana keuangan lebih mengambil sikap lebih konservatif. Investor agresif maupun konservatif lebih memilih untuk memperbesar jumlah kas.
Aksi jual saham dan Surat Berharga Nasional (SBN) berlanjut sehingga meningkatkan permintaan dollar Amerika Serikat yang membuat posisi nilai tukar Rupiah terus mengalami pelemahan hingga menembus Rp16.273 per dolar Amerika Serikat (20 Maret 2020). Berita penyebaran virus Corona yang semakin meluas hingga 166 negara dengan korban yang terpapar hingga lebih dari 275.000 jiwa ditambah kebijakan banyak negara yang mengunci negaranya (lockdown), membuat pasar belum yakin akan kondisi perekonomian yang lebih baik.
Perkembangan ini menyebabkan ketidakpastian yang sangat tinggi dan menurunkan kinerja pasar keuangan global, menekan banyak mata uang dunia, serta memicu pembalikan modal kepada aset keuangan yang dianggap aman terutama uang kas dan deposito.
Merespons capaian dari kondisi pasar yang cenderung kurang menggembirakan, Bank Indonesia kembali mengeluarkan stimulus kebijakan moneter guna menjaga stabilitas pasar uang dan sistem keuangan. Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 4,50%.
Dalam mendukung upaya mitigasi risiko penyebaran virus corona, Bank Indonesia menyiapkan kebijakan sistem pembayaran melalui ketersediaan uang layak edar yang higienis dan mengimbau masyarakat agar lebih banyak menggunakan transaksi pembayaran secara nontunai; menurunkan biaya Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dari perbankan ke Bank Indonesia yang semula Rp600 menjadi Rp1 dan dari nasabah ke perbankan semula maksimum Rp3.500 menjadi maksimum Rp2.900; dan mendukung penyaluran dana nontunai program-program Pemerintah seperti Program Bantuan Sosial PKH, Program Kartu Prakerja, dan Program Kartu Indonesia Pintar-Kuliah.
Paket insentif kebijakan pemerintah jilid I dan jilid II juga dirasakan masih tidak efektif dikarenakan sasaran yang ingin dicapai masih kurang tepat. Sebenarnya, permasalahan utama saat ini adalah penyebaran virus corona yang begitu cepat. Seharusnya pemerintah harus fokus kepada bagaimana menangani permasalahan kesehatan masyarakat dan bagaimana menyiapkan sarana dan prasarana serta pembiayaan untuk menangani korban terpapar.
Bandingkan dengan Amerika Serikat, Presiden Donald Trump mengumumkan kondisi darurat nasional corona di negaranya, dengan menggelontorkan akses dana hingga lebih dari Rp730 triliun untuk penanganan corona. Dampaknya Wallstreet melonjak, setelah berhari-hari terkoreksi tajam karena pasar merasa bahwa penyebaran virus corona akan dapat berakhir lebih cepat di Amerika Serikat.
Tak hanya Bank Indonesia dan Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut mengeluarkan aturan untuk memberikan stimulus bagi perbankan Indonesia. Stimulus yang diberikan berupa pelonggaran penilaian kualitas kredit dan restrukturisasi kredit di industri perbankan. Perbankan diharapkan dapat proaktif dalam mengidentifikasi debitur-debiturnya yang terkena dampak penyebaran virus Corona, sehingga para debitur tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Stimulus Fiskal Melawan Covid-19
Pemerintah semakin serius untuk melawan dampak ekonomi akibat Covid-19. Tambahan anggaran Rp405,1 triliun disiapkan pemerintah guna menahan dampak pendemi ke sektor ekonomi dan sosial. Tambahan dana dalam APBN 2020 tersebut dialokasikan untuk empat sektor utama yang terpapar yaitu belanja bidang kesehatan Rp 75 triliun, perlindungan sosial Rp 110 triliun, insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR) Rp 70,1 triliun, dan pemulihan ekonomi nasional Rp150 triliun.
Tambahan belanja pemerintah memang sudah sepantasnya untuk dilakukan. Penerbitan Perpu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 harus segera disahkan ke Undang-undang untuk mempercepat eksekusi anggaran dalam penanganan dampak ekonomi dan sosial.
Stimulus fiskal untuk menangani dampak Covid-19 juga dilakukan oleh negara-negara lain di dunia. Bahkan stimulus fiskal Indonesia ternyata masih lebih rendah dari negara tetangga di kawasan ASEAN. Stimulus fiskal untuk penanganan Covid-19 Indonesia bernilai 2,4 miliar dolar AS (0,2% dari PDB Indonesia).
Sedangkan Thailand menggelontorkan 3,9 miliar dolar AS (0,72% dari PDB-nya), Singapura sebesar 4,6 miliar dolar AS (1,24% dari PDB-nya) dan Malaysia mencapai 4,8 miliar dolar AS (1,32% dari PDB-nya). Dengan demikian, negara lain dengan penduduk yang lebih sedikit ternyata lebih serius untuk memberikan stimulus fiskal dalam mengatasi masalah sosial dan ekonomi sebagai dampak Pandemi Covid-19. Agar stimulus fiskal lebih tepat, cepat, efektif dan efisien, maka sejumlah strategi perlu untuk dilakukan.
Pertama, pemerintah memastikan bahwa anggaran yang telah disusun dapat dieksekusi dengan cepat dengan mempersiapkan aturan pendukung, petunjuk teknis dan kelembagaan. Selama ini, permasalahan lambatnya birokrasi menjadi kendala utama dalam memanfaatkan anggaran yang tersedia.
Kedua, anggaran kesehatan segera dieksekusi khususnya untuk pembelian alat kesehatan, perlindungan tenaga kesehatan dan peningkatan kapasitas rumah sakit rujukan. Sebagai garda terdepan dalam penanganan Covid-19, tenaga kesehatan sudah selayaknya dilindungi dan difasilitasi lebih baik.
Pemerintah perlu juga memberikan instruksi kepada BUMN dan mengajak keterlibatan swasta untuk memproduksi alat kesehatan dan fasilitas rumah sakit rujukan. Insentif perpajakan perlu diberikan bagi perusahan yang terlibat untuk memproduksi kebutuhan tersebut.
Ketiga, untuk memastikan bahwa kelompok ekonomi bawah memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, melalui program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan, Bantuan Pangan Non-Tunai, dan Pra Kerja serta subsidi listrik harus segera direalisasikan. Daya beli masyarakat miskin atau masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan akibat penyebaran Covid-19 harus tetap terjaga agar tidak terjadi dampak sosial yang lebih buruk. Demikian pula cicilan kredit yang dimiliki masyarakat berpenghasilan harus ditangguhkan agar tidak menjadi beban berat dalam belanja sehari-hari.
Keempat, membantu keberlangsungan operasional industri khususnya pada sektor yang terpapar parah seperti manufaktur, transportasi, manufaktur, perdagangan, akomodasi/restoran (pariwisata) dan industri padat karya yang mengalami penurunan omset cukup tajam seperti media massa, dan pertanian/perkebunan. Komunikasi pemerintah dengan pelaku usaha perlu dibangun untuk memberikan program insentif lebih tepat dan bijaksana.
Kelima, mendorong pemerintah daerah melakukan harmonisasi kebijakan di daerah dengan melalui penyesuaian ulang (re-arragement) terhadap terhadap belanja pemerintah daerah dengan mengalihakan belanja non produktif kepada belanja produktif (belanja modal) dan bantuan sosial yang tepat sasaran.
Keenam, melakukan koordinasi dan melibatkan langsung dengan BPK/KPK/Aparatur Hukum dalam penyusunan dan pengawasan pemanfaatan anggaran guna mencegah penyalahgunaan anggaran.
Ketujuh, menggalang kepedulian sosial antarmasyarakat untuk saling tolong-menolong guna meringankan beban hidup kelompok masyarakat yang terdampak Covid-19. Stimulus fiskal Rp405,1 triliun masih sangat rendah dibandingkan PDB Indonesia yang mencapai Rp16.000triliun. Untuk itu, keterlibatan masyarakat dalam bentuk bantuan finansial dan nonfinansial dapat membantu meringankan beban kelompok masyarakat yang terkena dampak Covid-19.
Kedelapan, koordinasi kebijakan antara Pemerintah, Bank Indonesia dan OJK sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan menambah keyakinan masyarakat terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Perlu dilakukan analisis dan evaluasi kebijakan dampak virus corona terhadap Indonesia dari waktu ke waktu, pengamatan kondisi eksternal, dan mengambil langkah-langkah koordinasi kebijakan lanjutan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik dan berdaya tahan.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) perlu membangun transparansi, akuntabilitas dan komunikasi terhadap seluruh pemangku kepentingan untuk mencari formulasi yang tepat guna menghasilkan kebijakan yang kredibel.
Editor: Zen Teguh