Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Heboh Dito Ariotedjo dan Davina Karamoy Kompak Tidak Tutup Kolom Komentar!
Advertisement . Scroll to see content
Advertisement . Scroll to see content


Prof Dr Komaruddin Hidayat

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

MENGUTIP Thomas L Friedman dalam bukunya Thank You For Being Late (2016), teknologi telepon seluler telah mengubah hidup masyarakat modern. Cara belajar, bekerja, bepergian, berbelanja dan berkawan berubah drastis. Jika revolusi industri yang terjadi pada abad 17 sangat berjasa membantu kekuatan otot manusia, revolusi teknologi digital yang berlangsung sekarang ini sangat membantu kinerja otak manusia, bahkan cenderung menggantikannya.

Munculnya teknologi robot dan perangkat lunak artificial intelligence telah menjadi pengganti kinerja otak manusia yang kerjanya lebih cepat dan akurat. Hanya dalam waktu satu dekade, teknologi 3G dan 4G penggunanya sudah mencapai tiga milyar, sehingga telepon seluler merupakan produk dan bisnis yang cepat menyebar ke seluruh dunia.

Teknologi digital dalam waktu cepat dan murah sanggup mengirim data, informasi, foto, suara dan gambar hidup secara bersamaan yang bisa kita tangkap lewat telepon genggam. Arus data, informasi dan transaksi keuangan serta barang berlangsung sangat cepat dalam jumlah yang selalu berkembang.

Kehidupan menjadi berlangsung sangat dinamis dan cepat yang tak mudah otak kita mengikuti dan memahaminya. Kita hidup dalam era percepatan (the age of acceleration). Kita pun dituntut berpikir dan bergerak serba cepat. Bahkan jadi pemuja produk dan layanan yang serba cepat.

Secara psikologis kita tak lagi terkondisikan berpikir tenang dan kontemplatif. Budaya Jawa yang mengajarkan: Alon-alon waton kelakon (Pelan-pelan yang penting terlaksana) tak lagi relevan sama sekali. Itu gaya hidup masyarakat petani abad lalu. Informasi dan produk baru berseliweran, cepat datang dan cepat menghilang sehingga apa yang baru hari ini, besuk jadi hal yang biasa dan besuknya lagi segera dianggap kedaluarsa.

Makanya dunia bukan sekedar berubah, tapi ditata ulang. Orang memiliki dua dunia yang saling terkait, namun kadang saling bertabrakan, yaitu dunia maya dan dunia nyata. Dunia maya menyediakan informasi dan sajian apa saja, sejak dari keilmuan, hiburan, politik, sampai pornografi. Penduduk dunia maya merasa saling kenal dan terhubung, namun mereka tetap saja sosok asing.

Beberapa penelitian sosial menunjukkan, banyak remaja yang memiliki teman ribuan di dunia maya, namun hidup menyendiri dan asosial di dunia nyata. Belum lama ini seorang pakar psikolog bercerita pada penulis, ada sebuah penelitian yang dilakukan terhadap siswa SMA di Australia, agar mereka menuliskan tiga hal yang amat penting dalam hidupnya. Jawaban tertinggi adalah: gawai, internet dan teman dekat.

Jika penelitian ini dilakukan di negara lain mungkin hasilnya akan sama. Remaja Korea menempati angka tertinggi ketergantungannya pada gawai. Dengan gawai di tangan, para siswa bisa belajar mandiri tanpa guru, lebih nyaman berbagi cerita dengan teman segenerasinya, dan internet membuat mereka merasa terhubung (being connected) dengani dunia yang lebih luas. Lalu di mana peran guru dan orangtua?

Terjadinya arus perubahan yang amat cepat ini telah menumbuhkan disrupsi, sebuah situasi yang membuat gamang karena tidak tahu sesungguhnya apa dan mau kemana gelombang perubahan ini akan membawa kita.

Orang pun jadi terbiasa berpikir dan bersumbu pendek, tumbuh budaya copy-paste, pengetahuan yang diterima berupa penggalan-penggalan, malas duduk sendiri berlama-lama menikmati buku tebal. Situasi ini juga menciptakan dislokasi, orang merasa tidak nyaman dan tidak tahu harus merespons apa yang terjadi karena terdapat jarak pengetahuan.

Di Indonesia pengaruh teknologi digital ini sangat menyolok, terlebih lagi ketika mendekati pilkada atau pemilu. Di sana terjadi perang kata dan manuver provokasi, caci maki dan bahkan intimidasi terhadap lawan politiknya. Perang di medsos ini semakin panas ketika identitas agama dibawa-bawa. Orang akan mencari-cari dan membidik kelemahan serta kesalahan lawan.

Bila Anda memiliki seratus statemen, lalu terdapat satu statemen yang salah, maka kesalahan yang satu yang akan diperbesar untuk menegasikan yang lain meskipun benar. Sampai-sampai ada ungkapan, wacana di medsos sangat kejam karena jari tak memiliki hati dan mata untuk melihat lawan bicaranya.*

*Artikel ini telah tayang di Koran SINDO

Editor: Zen Teguh

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut