Belajar dari Flu Spanyol 1918, Ini Pentingnya Literasi dalam Menghadapi Covid-19
JAKARTA, iNews.id – Pandemi Covid-19 adalah bencana global. Sejarawan Universitas Indonesia (UI), Dr Tri Wahyuning M Irsyam, menilai wabah yang sedang melanda Indonesia dan sebagian besar negara di dunia itu tak jauh berbeda dengan flu spanyol pada 1918 silam.
Dia menuturkan, Pemerintah Hindia Belanda atau Indonesia kala itu juga memberikan imbauan kepada masyarakat agar patuh terhadap protokol kesehatan, meliputi penggunaan masker, tinggal di rumah, dan menjaga kebersihan. Semua imbauan itu layaknya anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk penanganan pandemi Covid-19 sekarang.
Dalam menyampaikan imbauan itu, kata dia, Pemerintah Hindia Belanda melakukannya melalui berbagai upaya seperti berkampanye dengan mobil kesehatan. Menurut Tri, hal tersebut lebih efektif dilakukan mengingat masih banyak keterbatasan pada saat itu.
“Secara rutin itu, berkeliling kota dan dia seolah-olah mengingatkan, bahwa, apa ini adalah penyakit yang sifatnya mematikan, jadi lebih baik kalau tidak perlu tinggal di rumah, tetap memakai masker, karena itu, dan juga terjagalah kebersihan. Itu yang disampaikan terus dan terus dan terus,” ungkap Tri di Media Center Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, Jakarta, akhir pekan ini.
Selain melalui kampanye tersebut, Pemerintah Hindia Belanda juga menerbitkan buku literasi berjudul “Lelara Influenza” (Penyakit Influenza), yang kemudian dialihbahasakan ke dalam cerita pewayangan oleh campur tangan dalang.
Sementara, sejarawan publik Kresno Brahmantyo mengatakan, buku “Lelara Influenza” cukup populer, meski pada saat itu masyarakat belum banyak yang dapat membaca. “Ada data yang menunjukkan bahwa tingkat peminjaman buku itu pada tahun 1920 sampai 1923 itu cukup signifikan. Tinggi, 3.000,” ujarnya.
Dalam buku terbitan Balai Pustaka itu dijelaskan tentang bagaimana influenza menurut gejala dan penanganannya. Beberapa kalimatnya juga menekankan tentang imbauan agar manusia tidak bertindak ceroboh.
“Berhati-hatilah jangan sampai bertindak ceroboh yang bisa mengakibatkan munculnya debu. Orang yang terkena panas dan batuk tidak boleh keluar rumah. Harus tidur atau istirahat saja. Badannya diselimuti sampai rapat, kepalanya dikompres, tidak boleh mandi,” jelas Kresno.
Dalam hal ini, pemahaman serta literasi masyarakat akan bahaya pandemi sangat penting dan diutamakan. Sebab, hal itu akan mempengaruhi adanya perubahan perilaku masyarakat sehingga upaya penanganan akan lebih mudah dilakukan.
Beda pandang antara pemerintah dan masyarakat
Kendati penyampaian imbauan kesehatan dan penanganan pandemi flu spanyol 1918 sudah dilakukan, itu tetap tidak menutup adanya perbedaan persepsi antara pemerintah dengan masyarakat.
Tri menyampaikan, rata-rata masyarakat pada saat itu berkeyakinan bahwa wabah yang melanda berasal dari alam. Padahal, pemerintah berusaha meyakinkan bahwa wabah itu berasal dari transmisi dari pendatang.
“Mereka masyarakat melihat, bahwa sumber penyakit ini adalah dari alam. Dari debu, dari angin, dan sebagainya. Sementara, pemerintah, pihak Pemerintah Kolonial Belanda dalam hal ini, melihat ini adalah dari luar. Pendatang yang datang ke Indonesia itu membawa, atau carrier,” ungkap Tri.
Dia menuturkan, adanya perbedaan pendapat yang membuat penanganan penyakit justru menjadi lambat itu kemudian juga memantik kepedulian para tokoh nasional yang akhirnya bergerak untuk melakkan perubahan. Salah satunya adalah Dokter Cipto Mangunkusumo dengan para siswa STOVIA Batavia (cikal bakal Fakultas Kedokteran UI) dan munculnya mantri-mantri kesehatan.
Melalui gerakannya, imbauan penerapan protokol kesehatan digalakkan. Selain itu, tercetuslah beberapa upaya lainnya seperti pemanfaatan ramuan jamu tradisional untuk penanganan penyakit. Kemudian pelabuhan sebagai pintu masuk Hindia Belanda harus ditutup sementara dan dibatasi pergerakannya.
Beberapa rumah penyintas diberi tanda bendera kuning, dengan tujuan untuk mencegah adanya masyarakat yang datang dan berpotensi tertular dan beberapa langkah lain yang juga menimbulkan pro dan kontra.
Jika melihat kembali pada literasi sejarah flu spanyol 1918, Tri mengatakan, masyarakat dan Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu memang belum benar-benar siap. Segala informasi mengenai pandemi yang masuk ke Hindia Belanda pada saat itu menjadi sempat tidak terlalu dihiraukan bahkan sampai akhirnya memicu perbedaan pendapat antara pemerintah dengan masyarakatnya.
Satu pelajaran penting yang kemudian dapat dipetik dari pandemi seabad silam, menurut Tri, bahwa belajar dari literasi masa lalu menjadi penting untuk menangani masalah yang tidak jauh beda di masa sekarang maupun di kemudian hari. Dalam hal ini, penyamaan persepsi dan pemahaman menjadi kunci bagaimana pandemi dapat lebih mudah ditangani.
“Masalah lalu itu bukan hanya untuk masa lalu, tapi juga untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Jadi marilah kita melangkah dengan kearifan masa lalu,” kata Tri.
Sejalan dengan Tri, Kresno Brahmantyo juga menganggap bahwa catatan atau rekaman kelam mengenai ‘pageblug’ hendaknya dapat dijadikan sebagai pembelajaran, baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Sebab menurut Tri, setiap peristiwa atau bencana dapat berulang dan tentunya dibutuhkan solusi penanganan yang sama untuk ke depannya.
“Mulailah kita mulai membuat rekaman walaupun agak telat gitu. Tapi itu bisa dilakukan, supaya nanti ketika 10 atau 20 tahun yang akan datang kita punya data untuk menghadapi ini semua. Karena ini berulang, dan kelihatannya solusinya sama juga,” ucap Kresno.
Editor: Ahmad Islamy Jamil