DPR Minta Kepala Daerah Tak Naikkan PBB bila TKD Dipangkas: Tak Boleh Bebani Rakyat
JAKARTA, iNews.id - Anggota Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia meminta para kepala daerah tidak menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bila Transfer Keuangan Daerah (TKD) dipangkas oleh pemerintah pusat. Dia meminta para kepala daerah untuk kreatif mencari solusi menambal keuangan daerah.
Dalam RAPBN 2026, alokasi TKD ditetapkan sebesar Rp650 triliun. Jumlah ini menurun 24,8 persen dibanding 2025 yang mencapai Rp864,1 triliun.
Doli pun mengingatkan para kepala daerah untuk bersiap-siap dan tak mengandalkan TKD.
"Kita memberikan warning kepada kepala daerah, mereka harus siap-siap. Jangan hanya mengandalkan (TKD) itu," ujar Doli saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (19/8/2025).
Kendati TKD berkurang, Doli meminta kepala dearah tak membebani rakyat bila kekurangan keuangan daerah, seperti menaikan tarif PBB. Menurutnya, prinsip rakyat tidak dibebani harus dikedepankan oleh para kepala daerah.
"Catatannya, nggak boleh juga kalau ada beban, itu dibebankan langsung ke rakyat. Itu yang menurut saya juga harus menjadi prinsip," ujar Doli.
"Jangan dikit-dikit karena kita nggak punya kemampuan, kita punya keterbatasan, maka kemudian rakyat yang dibebankan, itu nggak boleh juga. Makanya ini yang harus kita cari solusinya gitu," katanya.
Doli pun meminta para kepala daerah bisa lebih kreatif untuk mencari tambahan "kocek" daerah. Menurutnya, langkah ini bisa dicari dengan mudah oleh kepala daerah.
"Mereka kan kampanye bagus-bagus tuh. Janjinya kan visioner semua gitu. Pasti nggak ada, apakah ada di dalam kampanye yang mengatakan, besok saya akan naikin pajak? Nggak mungkin ada, yang ada pasti saya akan turunin pajak, kemudian nanti akan kita dapatkan sumber daya ini, sumber daya segala macam. Nah tinggal dikerjakan aja itu," katanya.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengakui, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) tak terlepas dari naiknya harga nilai jual objek pajak (NJOP). Hal ini membuat adanya penyesuaian setiap tiga tahun sekali.
Penyesuaian NJOP ini dilakukan dengan mengikuti harga tanah di pasar. Dengan demikian, NJOP dan PBB-P2 saling berkaitan.
"Penyesuaian NJOP yang menjadi naik harganya mengikuti harga pasar itu kemudian membuat PBB-P2nya menjadi naik," kata Tito, Jumat (15/8/2025).
Akan tetapi, Tito menjelaskan ada klausul yakni kenaikan ini harus mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi di masing-masing daerah. Dengan demikian, segala kenaikan ini harus mengundang partisipasi masyarakat.
"Disesuaikan tiga tahun sekali. Tapi ada klausul yaitu untuk mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat, yang kedua juga ada partisipasi dari masyarakat, jadi harus mendengar suara publik juga," kata dia.
Tito menambahkan, apabila kenaikan pajak itu memberatkan masyarakat maka aturan penyesuaian pajak itu pun bisa ditunda. Kenaikan pajak tidak boleh membebani masyarakat. "Kalau itu memberatkan, maka aturan itu dapat ditunda atau dibatalkan," ujarnya.
Editor: Reza Fajri