Fraksi PDIP dan Pengemudi Online Sepakati Potongan Aplikator Tak Boleh Lebih dari 10 Persen
 
                 
                JAKARTA, iNews.id - Fraksi PDIP di Komisi V DPR RI, menyelenggarakan forum diskusi kelompok terarah (FGD) yang mempertemukan para aplikator daring dan pengemudi online pada 27 Agustus 2025.
Dalam kegiatan tersebut, hadir perwakilan dari berbagai kelompok, di antaranya Garda Ojol (Igun Wicaksono, Ari Nurprianto), Komunitas SPAI (Raymond, Yuli Riswati, Lily Pujiati), Asosiasi APOB (Yudy, Dodi Ilham), serta sejumlah perwakilan aplikator seperti Indrive (Ryan Rwanda, Rona Pasaribu), Jogya Kita (Mirza, Gembong, Suroto), dan Josal (Rahmad Puji, Hilmi, Freddo Kredna).
 
                                Edi Purwanto dari Fraksi PDIP menyampaikan bahwa dibutuhkan regulasi khusus untuk melindungi ekosistem transportasi daring.
"Kami dapat banyak laporan potongan berkisar 40-50%. banyaknya potongan dari para aplikator ini disebabkan olah tidak adanya peraturan bagi aplikator dan tidak ada punishment," ujarnya.
 
                                        "Dari komisi V PDIP akan mendorong untuk bikin undang-undang khusus yang mengatur transportasi online," lanjutnya.
Adian Napitupulu, yang oleh warganet dijuluki “Bapak Ojol Nasional,” menyatakan dengan tegas komitmennya memperjuangkan batas potongan aplikator sebesar 10 persen.
 
                                        “Begini, maksimal per hari ini, per saat ini kita meminta komisi aplikator tidak lebih dari 10 persen. All in,” tegas Adian.
Ia juga menyoroti persoalan kesejahteraan pengemudi yang masih membutuhkan pembahasan mendalam. Adian mendorong agar pemerintah segera mengadakan forum diskusi terpadu yang melibatkan seluruh pihak terkait.
“Itu yang harusnya perlu pemerintah membuat FGD-FGD dan diskusi terbuka baik dengan Komisi Lima, maupun dengan teman-teman driver dan aplikator,” jelasnya.
Desakan pembatasan komisi tersebut semakin kuat dengan data yang diungkap oleh Adian. Ia menjelaskan bahwa biaya operasional aplikator per transaksi (cost per action) hanya sekitar Rp204, termasuk layanan peta dan jasa aplikasi. Namun, masih banyak aplikator yang menerapkan potongan di atas 20 persen, bahkan menambah biaya sekitar Rp2.000 per transaksi.
“Artinya keuntungan aplikasi-aplikasi yang mengambil di atas 20 persen ini gede banget. Dan yang lebih menyedihkan, uangnya itu sebagian lari ke luar negeri,” tegasnya.
Adian juga melontarkan kritik tajam terhadap praktik aplikator yang dinilai menutup-nutupi data operasional dari pemerintah maupun DPR.
“Semua kita di-prank sama aplikator itu. Aplikator-aplikator ini yang bersembunyi di data-data yang tidak pernah mereka publish. Jadi siapa yang di-prank? Gua di-prank, DPR kena prank, driver kena, konsumen juga kena,” ungkapnya dengan nada kesal.
Sebagai langkah ke depan, Adian menekankan pentingnya segera merancang Rancangan Undang-Undang (RUU) Transportasi Online untuk mengatur secara jelas hubungan kerja, pembagian komisi, serta perlindungan sosial bagi para pengemudi.
“Kita sih lebih berharap pada Undang-Undang Transportasi Online-nya ya. Tapi kita sadar bahwa memproduksi sebuah undang-undang itu tidak gampang, tidak sederhana, dan biasanya tidak cepat,” pungkasnya.
Editor: Komaruddin Bagja