GBHN untuk Tanggapi Inovasi Disruptif dan Ancaman
Menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah anak usia 7-12 tahun yang tidak bersekolah berjumlah 1.228.792 anak. Untuk kategori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Untuk usia 16-18 tahun, ada 2.420.866 anak tidak bersekolah. Sehingga secara keseluruhan, jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332 anak.
Ketersediaan air bersih pun belum merata. Padahal, kemudahan akses terhadap air bersih menjadi bagian tak terpisah untuk mewujudkan kesejahteraan. Masih ada puluhan juta warga sulit mendapatkan air bersih.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), capaian akses air bersih saat ini 72,55 persen, masih di bawah target Sustainable Development Goals (SDGs) yang 100 persen. Inilah beberapa contoh persoalan dasar yang masih harus diselesaikan oleh negara. Belum lagi isu elektrifikasi nasional yang juga masih harus diselesaikan.
Selain sejumlah persoalan dasar itu, bangsa ini pun harus realistis menyikapi masalah strategis lain yang nyata-nyata mengemuka di ruang publik dewasa ini. Ada kekuatan yang terus bereksperimen merongrong Pancasila, ada yang terus bercita-cita merubah NKRI, hingga upaya sistematis merongrong persatuan dan kesatuan bangsa yan sudah merasuki sejumlah institusi negara, termasuk institusi pendidikan tinggi.
Sejumlah fakta dan temuan sudah menjadi pengetahuan bersama. Bahkan mereka yang terang-terangan meningkari Pancasila pun sudah teridentifikasi. Begitu mereka atau kelompok yang ingin mencabik-cabik persatuan bangsa ini. Belum ada kebijakan yang jitu untuk menanggapi masalah ini, karena semua elemen bangsa belum merumuskan kesepakatan bersama untuk merespons masalah ini. Maka, GBHN pun harus menyikapi masalah ini.
Dan, pada saat yang sama, negara juga harus bekerja lebih keras untuk memastikan Generasi Milenial dan Generasi Z punya kompetensi menanggapi perubahan zaman yang ditandai oleh gelombang inovasi disruptif (disruptive innovation) sekarang ini. Inovasi disruptif praktis mengubah banyak aspek dalam kehidupan manusia. Menghadirkan perilaku dan budaya baru, serta mengeliminasi (merusak) tatanan sebelumnya. Menciptakan model pasar yang baru plus layanan konsumen yang juga dengan pola baru.
Siapa yang bisa memastikan bahwa semua elemen Generasi Milenial Indonesia memahami konsekuensi logis dari era Industri 4.0 yang disruptif ini? Era serba otomatisasi dan digitalisasi yang telah mengeliminasi begitu banyak pekerjaan yang sebelumnya mengandalkan otak dan kreasi manusia. Opsi pembaruan kurikulum pendidikan mungkin tak terhindarkan untuk memberi peluang bagi Generasi Milenial dan Generasi Z membangun kompetensi mereka.
Selain itu, negara pun harus proaktif melindungi generasi penerus dari berbagai ancaman yang datang dari luar. Tingginya gelombang penyelundupan narkoba patut dipahami sebagai bukti nyata perang proxy yang menargetkan generasi milenial Indonesia. Selama dua dekade terakhir ini, anak dan remaja Indonesia nyata-nyata menjadi target proxy war. Modusnya, menggoda dan mencekoki mereka dengan aneka ragam produk narkoba (narkotika dan obat-obatan) terlarang.
Ruang publik kini terus dibanjiri ragam produk narkoba akibat masih tingginya intensitas penyelundupan. Data resmi yang dipaparkan ke publik oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan hingga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) patut digarisbawahi oleh semua pihak.
Itulah beberapa masalah sekaligus ancaman yang harus disikapi bangsa ini, sekarang dan di kemudian hari. Keprihatinan dan kepedulian semua elemen bangsa terhadap beberapa contoh masalah atau persoalan tersebut harus direfleksikan dalam GBHN. Kepedulian atau keprihatinan itu menjadi pertimbangan yang mendasari rumusan GBHN.
Tentu saja rangkaian masalah atau persoalan itu harus direspons atau ditindaklanjuti oleh negara. Maka, GBHN akan merekomendasikan kepada penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan untuk bekerja menyelesaikan masalah dan semua persoalan itu.
GBHN akan diterima sebagai dokumen hukum dan politik bagi penyelenggara pembangunan nasional, yang kemudian bisa diasumsikan sebagai pedoman bagi presiden dalam menjabarkan program-program pembangunan nasional. Dengan GBHN, realisasi setiap. program atau sektor pembangunan harus komprehensif dan tuntas. Harus ada konsistensi. Tidak boleh lagi terjadi diskontinuitas program atau sektor seperti di masa lalu.
Editor: Zen Teguh