Hukum Sesat, Ekonomi Rusak
Didik J Rachbini
Rektor Universitas Paramadina
SEORANG eksekutif BUMN terpidana tidak menerima aliran uang satu sen pun, tidak pernah dilakukan audit dari BPK atau BPKP terkait kerugian negara (bahkan keuntungan perusahaan meningkat), tidak ada mens rea dari para terpidana, dan hanya dikategorikan lalai pada putusan PN, lalu divonis sebagai koruptor.
Pengadilan seperti ini pantasnya disebut pengadilan apa? Sudah banyak para ahli sampai masyarakat awam menjawab di publik, itu adalah pengadilan sesat.
Inilah hukum yang terjadi di Indonesia. Seharusnya institusi hukum—seperti sistem peradilan, menjaga kontrak, dan penegakan hukum—berfungsi sebagai fondasi bagi aktivitas ekonomi. Bila institusi ini buruk (korup, lamban, tidak independen, atau tidak dapat diprediksi), dampaknya sangat luas bagi perkembangan ekonomi. Pelaku usaha dan investor menahan investasi, profesional kaku dan takut mengambil keputusan, aktivitas bisnis menjadi lamban, bahkan mandek karena berhati-hati dan takut.
Kasus peradilan ASDP yang terakhir ini semakin mengukuhkan bahwa hukum semakin sesat dan menjadi ancaman bagi profesional, BUMN, dan perekonomian secara keseluruhan. Titik lemah dari upaya Presiden Prabowo Subianto untuk memajukan ekonomi terganjal oleh praktik hukum dan peradilan yang naif, absurd, dan sembrono karena intervensi luar, setelah rangkaian banyak kasus sebelumnya (Karen Agustiawan, Tom Lembong, Nadiem Makarim, dan lainnya).
Sampai saat ini sudah banyak korban peradilan sesat, hakim dan jaksa, serta aparat hukum yang korup. Jika tidak ada yang melakukan reformasi hukum, maka praktik sesat ini akan terus berlangsung dan secara gamblang dipertontonkan di muka publik. Wajah hukum Indonesia sudah buruk sejak lama, membaik ketika reformasi, dan kembali tampil sangat mengerikan. Ini terjadi pada KPK yang diidamkan pada masa reformasi, tetapi kini wajahnya tercoreng oleh oknum dan kasus-kasus intervensi kekuasaan busuk.
KPK sekarang sudah jauh berbeda dengan perubahan dan intervensi bertubi-tubi sehingga menjadi lembaga hukum yang cacat. Sejak Jokowi dan kekuatan politik di sekitarnya mencabik-cabik KPK, wajah lembaga hukum yang lahir dari rahim reformasi ini menjadi compang-camping dan culas karena bersekutu dengan kepentingan picik.
Seperti lembaga hukum lainnya, praktik sesat sudah terjadi, seperti pada kasus terakhir ASDP. Kasus ini layak dijadikan referensi dan dikaji mendalam sebagai bentuk kerusakan hukum di Indonesia dengan dampak luas terhadap ekonomi. Tidak perlu ahli hukum untuk menganalisis secara mendalam; mata dan pendengaran awam saja sudah dapat mencium bau busuk proses hukum sesat yang sedang terjadi. Rule of Law di Indonesia masih jauh dari harapan, dengan nilai skor 0,52 (rentang angka 0–1,0 sebagai angka terendah dan 1 sebagai tertinggi). Hukum lemah karena politik otoriter atau banyaknya intervensi politik ke dalamnya.
Aksi Korporasi Sukses tapi Dikriminalisasi
Para direksi melakukan transformasi perusahaan melalui corporate action untuk tugas melayani penyeberangan di seluruh nusantara. Pilihannya terbatas karena tidak banyak tersedia pembelian kapal dalam jumlah besar. Peluang aksi korporasi muncul dengan mengakuisisi perusahaan sejenis yang tidak berjalan optimal.
Aksi ini sangat baik secara manajemen dan sukses dilakukan sehingga menambah kapasitas layanan penyeberangan yang berguna untuk masyarakat. Namun aksi korporasi seperti ini dipermasalahkan dengan kacamata hukum yang picik sehingga banyak CEO di masa mendatang tidak akan berani melakukan apa pun karena takut menghadapi aparat hukum yang naif.
Perusahaan secara objektif meraih kinerja yang bagus dan terus melebarkan sayapnya melayani masyarakat. Direksi meningkatkan laba perusahaan yang tertinggi selama ini, yakni Rp637 miliar pada tahun 2023 dan meraih peringkat 7 BUMN terbaik. Direksi tidak mencuri satu sen pun uang perusahaan, tetapi ada indikasi hukum dipengaruhi kepentingan tertentu hingga melahirkan hukuman yang dholim 4,5 tahun penjara. Tuduhan merugikan negara Rp1,25 triliun—98,5% dari nilai akuisisi PT Jembatan Nusantara—sangat naif dan dibuat-buat dengan menilai kapal-kapal yang beroperasi sebagai besi tua.
Tetapi, aksi korporasi melibatkan transaksi dana besar yang sering dikangkangi para pemburu rente yang berselingkuh dengan kekuasaan. Ada indikasi, meski aksi korporasi sukses, ada pihak tertinggal dan kecewa sehingga melakukan balasan melalui hukum yang dikendalikan kekuasaan. Di sinilah terjadi hukum yang absurd, sesat, dan melawan nurani serta akal sehat. Ini harus menjadi pelajaran sejarah hukum yang menyesatkan, dan mesti ada yang menyelidiki proses gelap di balik kasus ini serta mengungkapnya agar tidak terulang kembali (Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan).
Hukum Naif, Pengadilan Sesat
Selain sesat, pengadilan seperti ini absurd. Pengadilan tidak dapat membedakan antara pengambilan keputusan bisnis yang berisiko dengan praktik kriminal maling dan rampok. Dalam kasus pengadilan ini, pengambilan keputusan perusahaan yang baik tetapi berisiko rugi dan terjadi kerugian dianggap sebagai kriminal. Jika ini dibiarkan, maka ke depan Indonesia akan dijangkiti penyakit anarki hukum.
Yang naif selanjutnya adalah menghitung kerugian sesuai selera sendiri. Kapal-kapal yang dibeli dinilai sebagai besi tua dan dihitung secara kiloan seperti pemulung menyerahkan besi bekas kepada pengumpul. Jadilah nilai kerugian "sim salabim" dari selisih pembelian terhadap perhitungan ala pengumpul rongsokan besi tua. BPK diabaikan padahal sudah melakukan audit dengan opini Wajar Dengan Pengecualian hanya untuk dua kapal dengan opportunity loss sekitar Rp4,8–10 miliar. Jauh sekali dari Rp1,25 triliun yang didakwakan sebagai kerugian negara.
Para ahli pasti berpendapat bahwa mengakuisisi perusahaan rugi adalah hal lazim dalam bisnis, di mana proses akuisisi merupakan bagian dari ekspansi perusahaan. Peluang untung dan rugi adalah dinamika wajar dalam bisnis. Dalam kasus ASDP, direksi bukan hanya melakukan hal yang benar, tetapi berjuang untuk mengembangkan perusahaan. KPK yang mengangkat kasus ini mengakui tidak ada aliran uang mencurigakan. PPATK tidak menemukan aliran dana korupsi. BPK menyatakan akuisisi dilakukan sesuai ketentuan. Saksi dari komisaris dan direksi membantah tuduhan bahwa komisaris tidak menyetujui akuisisi.
Jika fakta ini diabaikan, maka layak pengadilan ASDP disebut sebagai pengadilan sesat, dengan jaksa dan hakim yang dholim. Proses hukum dan motivasi mengejar orang tidak bersalah ke meja hijau perlu diselidiki.
Editor: Maria Christina