I Gusti Ngurah Rai, Pahlawan Pertempuran Puputan Margarana
JAKARTA, iNews.id - Pahlawan Nasional Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI (anumerta) I Gusti Ngurah Rai lahir pada 30 Januari pada 1917 lalu. Dia dikenal melalui pertempuran Puputan Margarana serta pertempuran rakyat Bali melawan Belanda.
Dikutip Instagram Kementerian Pertahanan, Minggu (30/1/2022), Belanda hanya mengakui kekuasaan de facto Indonesia untuk wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera saat itu. Hal ini lantas menimbulkan kekecewaan pada rakyat Bali, karena Pulau Dewata belum diakui secara de facto.
Pertempuran pun terjadi secara besar-besaran, I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya dikejar melalui pesawat terbang yang dikirim oleh pasukan Belanda. Dia dan pasukannya akhirnya gugur di medan pertempuran.
Masa Kecil
I Gusti Ngurah Rai lahir di Badung, 30 Januari 1917, dilahirkan oleh seorang perempuan keturunan Bali yang bernama I Gusti Ayu Kompyang. Ayahnya merupakan seorang Camat Petang yang bernama I Gusti Ngurah Palung. Berkat jabatan sang ayah, ia mendapatkan kesempatan untuk bersekolah formal di Holands Inlandse School (HIS), Denpasar.
Setelah menyelesaikan pendidikannya disana, ia kemudian melanjutkan ke MULO (setingkat Sekolah Menengah Pertama) di Malang. Pada tahun 1936, I Gusti Ngurah Rai kecil tertarik dengan dunia militer dan melanjutkan pendidikannya di Sekolah Kader Militer di Prayodha Bali, Gianyar.
Empat tahun berselang, dia menyelesaikan pendidikannya dan dilantik sebagai Letnan II. Tak lama, ia langsung meneruskan pendidikan di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), Magelang dan Pendidikan Artileri, Malang.
Berbekal ilmu kemiliteran yang telah diperolehnya semasa muda dan pribadinya yang cerdas telah membawanya menjadi seorang intel sekutu di daerah Bali dan Lombok, semasa penjajahan kolonial.
Membentuk TKR
Setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaanya pada 1945, dia bersama dengan rekan militernya ikut membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil. Dia diangkat menjadi komandan.
Berbekal rasa tanggung jawab sebagai Komandan TKR, I Gusti Ngurah Rai pergi ke Yogyakarta yang menjadi markas besar TKR untuk berkonsolidasi dengan pimpinan pusat. Saat itu juga, ia dilantik menjadi Komandan Resimen Sunda Kecil berpangkat Letnan Kolonel.
TKR Sunda Kecil di bawah pimpinannya, dengan kekuatan 13,5 kompi ditempatkan tersebar diseluruh kota di Bali, saat itu pasukannya dikenal dengan nama Ciung Wanara.
Pertempuran Akhir
I Gusti Ngurah Rai melakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana (Pertempuran habis-habisan) pada 20 November 1946.
Awal pertempuran Puputan Margarana, dia memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di Kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 20 November 1946 --saat malam hari--dan berhasil baik.
Ketika itu, pasukannya berhasil merebut beberapa pucuk senjata beserta pelurunya.
Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November 1946, tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi, mulailah terjadi tembak - menembak antara pasukan NICA dengan pasukan Ngurah Rai.
Pada pertempuran tersebut pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar.
Pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan" atau perang habis-habisan di Desa Margarana. Hingga akhirnya, pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas.
Editor: Faieq Hidayat