Jangan Pernah Menghina Rakyat dengan Kata Tolol
Didi Irawadi Syamsuddin
Politisi, Anggota DPR RI Periode 2019-2024
SATU hal yang tak boleh dilakukan oleh siapa pun yang menyebut dirinya wakil rakyat: menghina rakyatnya sendiri dengan kata "tolol".
Ini bukan sekadar ucapan sembrono, tapi ini penghinaan terhadap harkat demokrasi itu sendiri.
Rakyat membayar pajak, bekerja keras siang malam, sementara ada wakilnya yang malah berani merendahkan martabat mereka.
Padahal karena rakyatlah para anggota dewan bisa menikmati, mulai dari gaji, tunjangan, hingga segala fasilitas privilege untuk mereka.
Mengucapkan kata "tolol" kepada rakyat bukan sekadar ucapan kasar, tetapi bukti betapa rendahnya kelas seorang anggota dewan dalam bertutur. Wakil rakyat seharusnya menjadi teladan dalam bersikap dan berucap, menjadi cermin kesantunan publik. Jika mulutnya saja tidak bisa dijaga, bagaimana mungkin pikirannya bisa jernih? Jika ucapannya merendahkan, bagaimana mungkin kebijakannya bisa mengangkat martabat rakyat?
Lebih jauh, hinaan itu menunjukkan betapa dangkal kemampuan mendengar seorang wakil rakyat. Alih-alih menanggapi kritik dengan argumen dan solusi, ia malah memilih melempar caci maki. Alih-alih bersikap bijak kepada rakyat yang membiayai kursinya, ia justru memperlihatkan keangkuhan. Di titik inilah kata "tolol" tidak lagi menggambarkan kelas sebagai wakil rakyat, melainkan menjatuhkan martabat si wakil rakyat sendiri.
DPR seharusnya tidak alergi kritik. Kritik rakyat adalah alarm perbaikan, bukan bahan caci maki. Semakin kasar anggota dewan menanggapi kritik, semakin jelas bahwa mereka lupa siapa tuannya: rakyat, bukan partai, bukan penguasa.
Justru di tengah krisis kepercayaan publik, ada sederet tuntutan rakyat yang terus menggema dan DPR wajib menjawabnya:
1. Pemberantasan korupsi yang serius. Perkuat penegakan hukum dalam memberangus korupsi, bukan dilemahkan dengan aturan-aturan yang tidak perlu.