Kejagung Hentikan 8 Kasus Hukum, Ini Alasannya
JAKARTA, iNews.id - Jampidum Kejaksaan Agung (Kejagung) menghentikan delapan perkara. Hal ini berdasarkan restorative justice.
"Melakukan ekspose dan menyetujui delapan dari permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana kepada awak media, Jakarta, Senin (4/4/2022).
Adapun delapan perkara yang dihentikan yakni, tersangka TOMY HARISKA ALS TOMI BIN SUHARDI dari Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian
Tersangka HERMAN BIN NYAKRIN dari Kejaksaan Negeri Gayo Lues yang disangkakan melanggar Pasal 44 ayat (1) UU RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Tersangka T. MUNAWAR SAPUTRA BIN (ALM) T. DAHLAN dari Kejaksaan Negeri Pidie Jaya yang disangkakan melanggar Pasal 44 Ayat (1) atau Pasal 44 Ayat (4) UU RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana
Tersangka M. NASER MUSTAFA Alias ACEK dari Kejaksaan Negeri Ternate yang disangkakan melanggar Pasal 44 ayat (1) UU RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Tersangka DEDEK FEBRIAN JAYA BIN SUGENG SUHARTO dari Kejaksaan Negeri Muara Enim yang disangkakan melanggar Pasal 44 Ayat (1) UU RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Tersangka BUDI YANTO Alias BUDI bin ABDUL HALIM dari Kejaksaan Negeri Banyuasin yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan
Tersangka EDI IRAWAN BIN AWI dari Kejaksaan Negeri Lubuklinggau yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP tentang Penganiayaan
Tersangka NOPRIANI ALIAS ANI BINTI BUDI GUN (ALM) dari Kejaksaan Negeri Bintan yang disangkakan melanggar Pasal 362 KUHP Pasal 56 Ayat (1) KUHP tentang Pencurian.
Ketut menjelaskan, alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain, para tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana/belum pernah dihukum.
Kemudian, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun, telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
Lalu, tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya. Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi.
"Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. Pertimbangan sosiologis, masyarakat merespon positif," tutup Ketut.
Editor: Faieq Hidayat