Ketua Umum PBNU Tegaskan Semua Bertanggung Jawab Ciptakan Hidup Harmonis
Di dalam keadaan seperti itu, dia menegaskan isu tentang perbedaan menjadi semakin krusial. Zaman dulu orang bisa mudah memelihara cirinya sendiri walaupun berbeda dari yang lain, tanpa saling mengganggu. Karena ada ruang-ruang yang memungkinkan setiap kelompok hidup dan tumbuh sendiri terpisah dari yang lain.
Gus Yahya mencontohkan bahwa pada masa lalu "wong kito" di Palembang tak perlu harus berurusan dengan "reng medureh" atau orang Madura. Tetapi di masa sekarang hal itu dimungkinkan karena Ketua PWNU Sumatra Selatan KH Amiruddin Nahrawi merupakan orang asli Madura.
Contoh lain, ada Rishi Sunak sebagai seorang berdarah India yang menjadi Perdana Menteri di Inggris. Ada juga Sadiq Aman Khan, Wali Kota London beragama Islam yang orang tuanya berasal dari Pakistan.
Menurut Gus Yahya, fenomena tersebut tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tetapi saat ini, di era globalisasi yang menghendaki semua orang bercampur satu sama lain, semua hal yang tak terbayangkan sebelumnya, bisa terjadi.
“Karena dunia ini cenderung mengarah kepada satu kampung yang besar dalam satu peradaban tunggal yang saling bercampur. Dalam keadaan demikian, sekali lagi, isu-isu tentang perbedaan ini krusial sekali,” ujar Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.
Semula, orang bisa merasa nyaman memelihara cirinya sendiri-sendiri tanpa terganggu oleh orang lain karena bisa memisahkan diri dari yang lain. Tetapi sekarang, orang yang berlatar belakang saling berbeda terpaksa harus bertemu dan harus terlibat dalam urusan bersama atau dalam keadaan saling berbeda.
“Nah, maka jelas peradaban yang kita hidupi bersama ini membutuhkan unsur-unsur yang dapat memelihara harmoni di antara kita semua, di tengah-tengah perbedaan yang kita miliki ini,” ucap Gus Yahya.
Piagam PBB
Secara singkat, Gus Yahya menyinggung latar belakang lahirnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai sebuah konsensus untuk hidup berdampingan secara damai bagi warga masyarakat dunia. Di masa lalu, lanjut Gus Yahya, setiap orang atau kelompok yang memiliki aspirasi sosial-politik tertentu akan lebih memilih berperang apabila bertemu dengan kelompok lain yang berbeda aspirasi.
Lalu ketika era globalisasi mulai berkembang, terbentuk lah aliansi-aliansi di antara satu kelompok kepentingan politik dengan kelompok kepentingan politik yang lain. Mereka membangun persekutuan militer, kemudian saling berbenturan di antara konsolidasi kekuatan militer besar secara internasional melawan kekuatan militer besar yang lain.
“Itu lah yang kita alami belum sampai satu abad lalu dengan Perang Dunia II yang sebelumnya juga sudah terjadi dalam Perang Dunia I dan menimbulkan kerusakan-kerusakan luar biasa yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar Gus Yahya.
Setelah Perang Dunia II, muncul kesadaran di kalangan masyarakat internasional untuk menginisiasi satu tatanan baru yang bisa memaksa semua orang untuk mengembangkan kemampuan hidup berdampingan secara damai.
“Maka lahir lah Piagam PBB yang kemudian disusul dengan operasionalisasi PBB sebagai organisasi pada 1945. Kita tahu dalam sejarah bahwa ini bukan hal yang mudah,” ucapnya.