Kisah Sekolah Rahasia untuk Anak-Anak Pelaku Teror Bom di Indonesia
SURABAYA, iNews.id - Dengan kotak pensil yang tersusun rapi, seorang gadis berusia 8 tahun duduk di meja sekolahnya. Berhati-hati dia mewarnai gambar binatang.
Sesekali dia tersenyum dan mengobrol bersama teman-teman sekelasnya. Tak tampak sedikit pun di pernah “menjadi bagian” dari aksi terorisme di negeri ini.
Ayu (bukan nama sebenarnya), gadis itu tak lain bocah selamat dari ledakan bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya, 14 Mei 2018. Ketika bom meledak, dia terpental dari boncengan sepeda motor yang ditumpangi kedua orang tuanya.
Kala itu, Ayu bangkit dari kepulan asap dengan tubuh berlumuran darah. Kasat Narkoba Polrestabes Surabaya AKBP Roni Faisal yang melihat kejadian itu lantas berlari menggendong dan menyelamatkannya.
Polisi menyebut bocah perempuan itu dengan Ais. Panggilan ini berdasarkan tulisan secarik kertas yang ditemukan di saku celananya peristiwa terjadi.
Ayu (atau Ais) kini telah kembali bersekolah. Berdasarkan laporan media Australia, ABC, yang melakukan liputan mendalam tentang anak-anak terduga teroris, Ayu duduk di bangku sekolah rahasia. Laporan itu tertuang dalam artikel bertajuk "Inside Indonesia's secret school for the children of terrorism".

Sekolah itu dikhususkan untuk anak-anak terduga jaringan teroris. Selain Ayu, terdapat juga anak Anton, pelaku bom di rumah susun Wonocolo, Sidoarjo.
"(Ayu) bahagia sekarang. Dia anak yang pintar," kata pekerja sosial yang menangani pendidikan untuk anak-anak tersebut, Sri Musfiah, dikutip dari ABC, Minggu (29/7/2018). "Dia bergabung dalam banyak kegiatan, dia punya banyak teman dan menyapa staf kami ketika dia melihat mereka," ujarnya.
Sri mengisahkan, situasi ini merupakan perubahan dramatis dibanding ketika Ayu pertama kali tiba di sekolah. Sri tidak memahami dengan apa yang terjadi. Dia bahkan berpikir ayahnya yang telah menyelamatkannya dari ledakan itu.
Sri menjelaskan, Ayu merupakan salah satu dari 11 anak yang menjalani deradikalisasi di sekolah rahasia tersebut. Salah satu teman sekelasnya adalah bocah 7 tahun yang kehilangan ayahnya karena terlibat baku tembak dengan anggota Detasemen Khsusu 88 Antiteror Polri.
Para siswa di sekolah dianggap sebagai korban sehingga identitasnya dirahasiakan, bahkan dari teman sekelas mereka.
Di kelas lain, pembuat bom berusia 16 tahun dan seorang yang juga berkeinginan menjadi “pengantin” (pelaku bom bunuh diri) ditempatkan dengan anak-anak petarung jalanan dan pelaku pencurian.
Kepala fasilitas deradikalisasi itu, Neneng Haryani, menyebutkan, menjaga kerahasiaan identitas dan tempat itu semata-mata untuk memulihkan mereka.
"Ini untuk memastikan keselamatan mereka. Anak-anak ini harus tumbuh seperti anak-anak lain, tidak berbeda," kata dia. ”Yang paling penting adalah membangun kepercayaan, ujarnya.
ABC menggambarkan, lokasi sekolah sangat rahasia. Beberapa penjaga berpatroli di sekitarnya.

Sejauh ini 102 anak yang dianggap radikal telah datang ke sekolah ini. Sebagian besar dari mereka kini telah kembali ke komunitas mereka setelah mengalami pemulihan.
"Dengan kepercayaan ini, mereka mulai membuka diri, menuangkan hati mereka dan mengungkapkan masalah mereka kepada pekerja sosial," kata Neneng.
Setelah kepercayaan terbentuk, anak-anak didorong untuk mendengarkan musik, bermain game dan berteman, kegiatan yang sering ditolak oleh keluarga mereka.
"Kami mengajari mereka fakta tentang Indonesia, yang terdiri atas banyak suku, banyak agama, kita harus menolerir orang lain meskipun agama mereka berbeda. Kita tidak bisa memaksa kehendak kita ke orang lain," timpal Sri.
Neneng menganggap fakta dari banyaknya guru di sekolah itu merupakan perempuan sebagai kebetulan yang menguntungkan. Ini karena anak-anak melihat mereka sebagai figur keibuan.
"Kita harus menciptakan suasana yang hidup. (Ajarkan mereka) untuk mencintai kehidupan dan pergi ke surga tidak berarti harus bunuh diri," katanya.
Hanya dalam waktu dua bulan, program ini tampaknya bekerja untuk Ayu, anak dari bomber Mapolrestabes Surabaya.
"Ketika dia ditanya, pertama kalinya ( dia datang ke sini), dia bilang dia ingin menjadi seorang martir (pelaku bom bunuh diri),” kata Sri.
”(Sekarang) dia ingin menjadi seorang guru," ujarnya.
Editor: Zen Teguh