Komisi III DPR Usulkan Revisi UU Kejaksaan
JAKARTA, iNew.id – Komisi III DPR mengusulkan revisi UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan. Revisi tersebut telah selesai disusun Komisi III DPR dan akan memasuki tahapan harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh mengatakan, dalam revisi tersebut Komisi III mengimpun sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tugas, fungsi dan wewenang kejaksaan.
"Kejaksaan diatur secara khusus melalui UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan RI yang mencabut UU 5/1991 tentang Kejaksaan RI. Dalam perjalanannya, UU Kejaksaan telah diajukan beberapa kali judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK)," katanya di Ruang Rapat Baleg DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (31/8/2020).
Beberapa putusan MK tersebut, Khairul menuturkan, mempengaruhi tugas Jaksa. Seperti, Putusan MK 6-13-2020/PUU/VIII/2010 tertanggal 13 Oktober 2010 yang membuat kewenangan jaksa untuk menarik barang cetakan dalam rangka pengawasan harus melalui pengujian di sidang pengadilan.
Kemudian, putusan MK 130/PUU-XIII/2015 tertanggal 11 Januari 2017, penyidik wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum dalam waktu 7 hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan. "Putusan ini mencerminkan penegasan Asas Dominus Litis yang hanya dimiliki oleh Jaksa," ujarnya.
Politikus PAN ini memaparkan, telah terjadi pergeseran paradigma dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif. Hal ini tergambar dengan munculnya peraturan perundang-undangan yang mengedepankan paradigma tersebut seperti UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU Pencucian Uang yang diubah melalui UU 8/2010. Dalam UU tersebut, Kejaksaan diberi peran untuk menggunakan dan mengedepankan keadilan restoratif.
"Rasa keadilan masyarakat saat ini menghendaki penanganan kasus-kasus yang relatif ringan dan beraspek menuntut atau bersikap dengan berpedoman kepada keadilan restoratif," kata Khairul.
"Perkembangan lain adalah bahwa penegakan hukum tidak hanya menggunakan pendekatan preventif-represif, namun juga dapat diambil pendekatan lainnya seperti Penyelesaian Sengketa Alternatif sebagaimana halnya mediasi penal. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan dari diskresi penuntutan (prosecutorial discretionary," tuturnya.
Sebagai bagian dari komunitas global, kata Khairul, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi seperti United Nations Against Transnational Organized Crime (UNTOC), United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC). Hal itu membuat Indonesia harus menjalankan norma-norma dalam konvensi sebagai suatu ketaatan. Norma-norma baru yang ada tersebut juga mempengaruhi kewenangan, tugas dan fungsi Kejaksaan.
"Ketentuan tersebut menjadi alasan perubahan UU Kejaksaan utamanya hal-hal yang berkaitan dengan independensi dalam penuntutan, akuntabilitas penanganan perkara, standar profesionalitas dan perlindungan bagi para jaksa," ujarnya.
Hal lain yang menjadi penting dalam menguatkan kedudukan jaksa dalam sistem pemerintahan, menurut Khairul, yakni jabatan jaksa sebagai kekhususan di dalam ASN sebagaimana pegawai di TNI dan Polri. "Karakteristik Jaksa Agung, Kejaksaan dan Jaksa sebagai suatu profesi harus diwadahi dalam suatu bentuk pengaturan kepegawaian secara khusus," katanya.
Perubahan tersebut juga menghimpun beberapa kewenangan Jaksa Agung, Kejaksaan, dan Jaksa yang tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan untuk dapat melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sehingga lebih optimal. Seperti, kewenangan menyidik tindak pidana korupsi, perusakan hutan, pencucian uang dan tindak pidana lainnya.
"Hal ini sejalan dengan semangat penyederhanaan legislasi sehingga dengan perubahan ini UU Kejaksaan akan lebih komprehensif dan terpadu. Dengan demikian, perubahan UU Kejaksaan Nomor 16/2004 merupakan suatu hal yang penting agar sistem peradilan pidana dapat berjalan secara optimal," ujarnya.
Editor: Djibril Muhammad