KPK Bisa Ambil Alih Kasus Jaksa Pinangki dari Kejaksaan Jika Syarat Ini Terpenuhi
JAKARTA, iNews.id - Sebagian pihak terus mendesak penanganan kasus dugaan gratifikasi dengan tersangka jaksa Pinangki Sirna Malasari yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) agar dilimpahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, KPK juga bisa mengambil alih kasus tersebut.
Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK bisa mengambil alih kasus tersebut jika memenuhi syarat yang diatur dalam Undang-Undang (UU). "KPK memahami harapan publik terkait dengan penyelesaian perkara tersebut. Namun, semua harus sesuai dengan mekanisme aturan main, yaitu UU," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Rabu (2/9/2020).
KPK, Ali memaparkan, akan mengambil alih kasus Pinangki jika salah satu syarat yang ditentukan dalam Pasal 10A UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK terpenuhi. Meski begitu, KPK tetap mendorong Kejagung transparan dan objektif dalam menangani kasus tersebut.
"Kembangkan jika ada fakta-fakta keterlibatan pihak lain karena bagaimanapun publik akan memberikan penilaian hasil kerjanya," katanya.
Dalam Pasal 10A UU Nomor 19 Tahun 2019 disebutkan, KPK berwenang mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
Pengambilalihan penyidikan dan/atau penuntutan dapat dilakukan oleh KPK dengan alasan laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti, penanganan tindak pidana korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungiawabkan, penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.
Selanjutnya, penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur tindak pidana korupsi, hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif dan keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Editor: Djibril Muhammad