LaNyalla Tegaskan Partai Politik Bukan Satu-satunya Pemegang Mandat Kedaulatan Rakyat
JAKARTA, iNews.id - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengingatkan hakikat sejarah awal pendirian partai politik pada masa awal kemerdekaan. Menurutnya, jika dikupas dari hal tersebut, partai politik memiliki kewajiban moral dan konstitusi.
Hal tersebut disampaikan LaNyalla saat menyampaikan keynote speech secara virtual diskusi politik Outlook Politik Indonesia 2024 bertemakan Nasib Demokrasi di Antara Pusaran PT 20 persen atau 0 persen, Sabtu (22/1/2022).
Dia menjelaskan, sejarah eksistensi partai politik di dalam struktur pemerintahan Indonesia dimulai saat Wakil Presiden pertama, Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat X pada tanggal 3 November 1945.
Bunyi dari maklumat tersebut adalah; "Negara memberikan kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya untuk mendirikan partai-partai politik, dengan restriksi bahwa partai-partai politik itu hendaknya memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan rakyat".
"Di dalam maklumat tersebut terdapat kata “restriksi” yang diberi garis bawah. Artinya, dengan penekanan dan pembatasan khusus, bahwa partai-partai politik tersebut wajib memperkuat perjuangan kemerdekaan dan menjaga keamanan rakyat," kata LaNyalla.
"Artinya, partai politik memiliki kewajiban moral sekaligus kewajiban konstitusi untuk melaksanakan Maklumat tersebut. Sehingga dalam menjalankan roda organisasi partai, mereka harus memahami spirit dari Maklumat tersebut. Termasuk di dalamnya kewajiban untuk menjaga keamanan rakyat," katanya.
LaNyalla menegaskan, partai politik bukanlah satu-satunya pemegang mandat kedaulatan rakyat. Karena, sebelum Amandemen 20 tahun yang lalu, kedaulatan rakyat berada di lembaga tertinggi Negara, yang terdiri dari representasi partai politik, utusan daerah dan utusan golongan.
"Tetapi seperti kita tahu, setelah amandemen, kedaulatan rakyat diserahkan melalui pemilihan langsung di dua kutub, yakni di parlemen kepada partai politik dan perorangan peserta pemilu, yaitu anggota DPD RI, lalu kepada pasangan presiden dan wakil presiden yang juga dipilih langsung," kata LaNyalla.
Dengan demikian, DPR RI, DPD RI dan Presiden menjadi sejajar. Tetapi ironisnya, kewenangan DPD RI menjadi sangat terbatas, bila dibandingkan dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan di masa lalu. Di mana mereka memiliki kewenangan untuk mengusung dan memilih calon presiden di forum MPR.
"Saat ini, partai politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden yang disodorkan kepada rakyat untuk dipilih," ujar LaNyalla.
Dia mengatakan, kekuasaan yang begitu besar yang dimiliki partai politik, seolah menjadikan partai politik melalui fraksi di DPR RI, adalah satu-satunya penentu wajah dan arah perjalanan bangsa ini.
"Dengan kekuasaan itu, salah satunya adalah inisiatif DPR untuk membentuk Undang-Undang Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden.
Dari sinilah persoalan bangsa ini semakin kompleks, karena Presidential Threshold memiliki tiga persoalan mendasar," tegas LaNyala. Karena, lanjut dia, terbukti ambang batas tersebut lebih banyak mudaratnya, ketimbang manfaatnya bagi bangsa dan negara.
Selain membatasi calon-calon pemimpin bangsa, juga tidak derivatif dari konstitusi. Dan lebih parah, terbukti membelah masyarakat dan tidak sejalan dengan aspirasi rakyat.
Editor: Ahmad Antoni