LPSK Terima 120 Permohonan Minta Perlindungan hingga Juni 2020
JAKARTA, iNews.id - Angka permohonan perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) setiap tahunnya terus menunjukkan tren kenaikan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat hingga bulan Juni 2020, laporan yang masuk sudah menyentuh angka 120 permohonan.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan, pada 2015 terdapat 46 permohonan, 117 permohonan pada 2017, dan 176 permohonan di tahun 2019. Dari jumlah 456 laporan, itu terdapat 704 korban TPPO yang mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK sejak 2015 hingga Juni 2020.
"Sebagian besar korbannya perempuan sebanyak 438 dan 266 laki-laki, di antara korban itu itu masih berusia anak. 126 dari 147 anak yang jadi korban adalah perempuan," kata Yogi dalam keterangannya, Senin (3/8/2020).
Dia menyebut, korban TPPO didominasi mereka yang berdomisili di Jawa Barat dengan angka 28,98 persen, diikuti DKI Jakarta 14, 77 persen, dan Nusa Tenggara Timur 8,24 persen. Beberapa dari mereka, kata Yogi memilih menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI).
"Mereka beralasan menjadi pekerja migran karena kurang mendapat kesempatan kerja di dalam negeri, upah yang lebih tinggi di luar negeri, dampak positif terhadap aspek sosial ekonomi rumah tangga, serta meningkatkan prospek kerja jangka panjang," ujarnya.
Lebih lanjut dia menuturkan, terkait kasus-kasus yang menimpa PMI, LPSK mencatat hanya 25 persen dari jumlah PMI itu yang diberangkatkan oleh agen resmi. Selebihnya, lanjut Yogi, bermasalah dimulai dari proses pengirimannya yang non prosedural.
"Pemalsuan dokumen seperti KTP, paspor dan buku pelayar umum dialami para korban perdagangan orang ini. Pemalsuan sertifikat pelaut yang terungkap oleh Polda Metro Jaya pada bulan Juni lalu membuktikan hal itu. Pemalsuan dokumen merupakan salah satu cara pelaku TPPO mempermudah para korban dipekerjakan," katanya.
Dia menuturkan, jumlah PMI berdasarkan permohonan perlindungan yang masuk kepada LPSK dari 2016 hingga Juni 2020 ada 288 korban. Menurutnya, sebanyak 153 korban adalah perempuan, sisanya pria, sementara korban usia anak perempuan sebanyak 8 orang dan 2 anak laki-laki.
"Bila merujuk pada negara tujuan dari para korban ini, kawasan Timur Tengah masih menjadi wilayah tujuan favorit, yang sebagian besarnya menuju ke Arab Saudi," katanya.
Yogi menjelaskan, terdapat fakta menarik dari kawasan Timur Tengah yaktu adanya korban TPPO yang dikirim ke negara konflik dan rawat perang, seperti Sudan dan Suriah. Para korban perbudakan modern tersebut, kata dia, umumnya mengalami kontrak kerja yang tidak jelas, upah yang tidak dibayarkan, dan waktu kerja yang tidak sesuai ketentuan.
Berdasarkan data dari Kantor Bank Dunia di Indonesia, pada 2016 setidaknya PMI telah menghasilkan devisa sebesar Rp118 triliun dalam bentuk remitansi. Hal ini, kaya Yogi, menegaskan besarnya kontribusi PMI sebagai penyumbang devisa negara terbesar kedua setelah sektor migas.
Dia menjelaskan, pemerintah Amerika Serikat sendiri telah melansir laporan tahunan yang berkenaan dengan kondisi penanganan TPPO di berbagai negara termasuk di Indonesia. Laporan tersebut menyatakan bahwa Indonesia mengalami stagnasi sejak 2013 sampai dengan 2020 yang masih menempati posisi Tier 2. Sehingga, tidak mengalami kenaikan selama tujuh tahun.
"Pemerintah Indonesia saat ini dianggap belum sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan tindak pidana perdagangan orang yang meliputi, aspek penuntutan dan penjatuhan hukuman mengalami penurunan, penghentian kasus, keterlibatan aparat yang tidak diproses secara hukum, pengurangan anggaran untuk perlindungan korban," ucapnya.
Editor: Muhammad Fida Ul Haq