Mafindo Temukan 2.330 Hoaks jelang Pemilu 2024, Capres-Cawapres Jadi Sasaran
JAKARTA, iNews.id - Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) menemukan 2.330 hoaks sepanjang 2023. Sebanyak 1.292 di antaranya merupakan hoaks politik dan 645 lainnya terkait Pemilu 2024.
Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho mengatakan seluruh capres-cawapres menjadi sasaran utama hoaks politik. Hoaks itu bernada positif atau melebih-lebihkan kandidat, dan negatif atau menyerang kandidat.
"Anies Baswedan menjadi kandidat yang paling banyak disebut dalam narasi hoaks, sebanyak 206 bernada positif, dan 116 bernada negatif. Selanjutnya Ganjar Pranowo (63 positif, 73 negatif), Gibran Rakabuming Raka (12 positif, 74 negatif), Prabowo Subianto (28 positif, 66 negatif), Moh Mahfud MD (44 positif, 5 negatif), dan Muhaimin Iskandar (17 positif, 5 negatif)," ujar Septiaji dalam keterangannya, Kamis (1/2/2024).
Septiaji mengatakan, konten hoaks politik masih didominasi saling serang antarpendukung kandidat. Sedangkan tingkat polarisasi dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjelang Pemilu 2024 ini tidak setinggi dibandingkan Pemilu 2019 dengan capres head-to-head Joko Widodo dan
Prabowo.
“Namun, jika pilpres masuk ke putaran kedua, perlu diwaspadai peningkatan hoaks dan ujaran kebencian yang menggunakan isu SARA,” kata dia.
Dia menyebut, topik hoaks yang paling banyak ditemukan yakni dukungan terhadap kandidat (33,1 persen), isu korupsi (12,8 persen), penolakan terhadap kandidat (10,7 persen), dan gaya hidup kandidat (7,3 persen).
Sedangkan isu kecurangan pemilu sebesar 5 persen dan isu SARA 3,9 persen.
“Isu kecurangan pemilu harus disikapi dengan sangat serius oleh penyelenggara pemilu. Karena isu ini yang diprediksi meningkat tajam setelah hari H (14 Februari 2024), dan berpotensi membuat orang menolak hasil pemilu dan memantik keonaran. Kami sudah menemukan beberapa konten hoaks yang mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu seperti hoaks mobilisasi ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), hoaks sistem teknologi informasi (TI) KPU, dan isu keberpihakan penyelenggara pemilu,” tutur Septiaji.