Mahfud MD: Islam Wasathiyah Paling Cocok di Negara Pancasila
JAKARTA, iNews.id - Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan pentingnya Islam Wasathiyah di Indonesia. Islam yang tidak condong terlalu ke kanan ataupun sebaliknya, terlalu ke kiri.
Hal tersebut diungkapkan Mahfud saat memberi sambutan pada launching Buku Fikih Kebangsaan Jilid III secara virtual yang disiarkan langsung dari Pondok Pesantren Lirboyo, Jawa Timur, Senin (17/8/2020).
Selain Menko Polhukam hadir secara virtual Mendagri Tito Karnavian, Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Rais Syuriah PCINU Australia dan New Zealand Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), Pengasuh Ponpes Lirboyo KH M Anwar Manshur dan KH A Kafabihi Mahrus dan sejumlah masayikh PBNU, serta tim penyusun buku.
"Alhamdulillah buku Fikih Kebangsaan seri III diluncurkan. Isi buku ini, memaparkan hubungan Islam dan negara. Memang perlu disebarluaskan wacana keilmuwan Islam Wasathiyah. Islam jalan tengah, yang tidak ekstrim ke kanan dan ke kiri. Ya inilah yang cocok bagi bangsa Indonesia," tutur Mahfud.
Murid sekaligus sahabat Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini menerangkan, Islam Wasathiyah paling cocok diterapkan di Indonesia. Sebab, sejak berdirinya republik, jalan tengah ini telah dirumuskan tokoh Islam yang tergabung dalam BPUPKI. Mereka menisbikan Islam di Indonesia adalah moderat, karenanya tidak memaksakan untuk mendirikan negara Islam.
Di luar itu, Islam dari waktu ke waktu mengalami kemajuan. Menurutnya, sebelum merdeka dan satu dasawarsa setelah merdeka, orang Islam masih disudutkan. Tidak banyak diberi peran.
Namun, lambat laun, Islam mulai mendapat tempat. Hingga kini, pemeluknya bebas mendapat hak yang setara dan bahkan menempati berbagai posisi penting di republik ini.
"Awal kemerdekaan, mau jadi tentara enggak boleh. Tapi sekarang, semua berubah. Makanya salah kalau orang menyebut ada islamophobi. Pak Tito (Mendagri) ngajinya pinter. Jadi imam kelasnya bukan qulhu (surat pendek). Surat panjang, beliau fasih. Tapi bisa jadi Kapolri, bisa jadi menteri," tutur dua.
Selain itu, kata Mahfud, perkembangan Islam juga maju pesat. Tak ada larangan kegiatan keagamaan. Di kabinet, kantor kementerian, BUMN, kantor pemerintahan, banyak musala dan acara kajian keagamaan yang tumbuh subur dan gampang ditemui.
"Di kantor polisi ada pengajian, Kapolresnya pintar ngaji, pintar dakwah. Di kantor TNI juga demikian. Di kampus-kampus, Islam sudah terang-terangan. Dulu sampai akhir 70-80 malu-malu. Pakai jilbab jarang. Sekarang semua pakai jilbab. Tidak ada sekali lagi islamplophobi saat ini. Kalau ada yang bilang, itu pihak yang kalah saja. Karena yang diserang mereka juga memperjuangkan Islam," ucap mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Sementara itu, Mendagri Tito Karnavian menyampaikan perembangan geopolitik dunia yang berubah sejak tahun 2.000-an.
Peristiwa dan aksi terorisme mengatasnamakan agama mulai muncul sejak aksi 11 September 2001. Inilah yang mengubah geopolitik dunia.
Amerika belum pernah diserang di jantungnya. Amerika membuat global war on terror. Indonesia pun beruntun dikejutkan peristiwa Bom Bali. Disusul berbagai peristiwa teror berikutnya.
Ternyata, kata Tito, ada perbedaan dalam akidah Islam. Hampir semua pelaku teror mengatakan sedang berjihad. Padahal, ini pemahaman yang keliru.
"Saya melihat ada satu set narasi yang sama dalam melakukan aksi kekerasan. Mereka banyak sekali menyitir dari satu sumber. Sumber-sumber dari Timur Tengah. Konsep jihad bagi mereka adalah jihad peperangan, qital, bahkan hukumnya wajib ain, bukan fardlu khifayah. Jihad ini bahkan seperti rukun Islam keenam. Bagi mereka, harus dilaksanakan," tuturnya.
Artinya, lanjut Tito, harus ada perang narasi. Mengubah dan meluruskan narasi jihad yang salah selama ini. Moderasi narasi atau counter narasi juga harus disertai ayat-ayat Alquran dan hadis.
"Buku Fikih Kebangsaan ini, ini sangat penting menjadi counter narasi untuk seluruh pihak. Buku ini, saya baca, saya lega. Ini yang ketiga dari Lirboyo. NU memang benteng NKRI, salah satu pendiri NKRI," ujarnya.
Jangan hanya Dibaca Orang NU
Gus Nadir menilai, buku Fiqih Kebangsaan III ini sangat penting karena dapat mengisi ruang kosong dalam fikih siyasah dan tema-tema khilafah. Buku ini bukan pesanan pemerintah, juga bukan dari orang liberal. Menurutnya, buku ini jelas murni dari Lirboyo. Rujukannya pun sangat komplet.
"Buku ini khas manhaj pesantren. Metodologi ini sangat kokoh dan solid. Ini luar biasa, mestinya dikaji dan dibaca juga oleh kelompok di luar pesantren dan kalangan NU. Harus dicetak, dimasukkan kurikilum baik pesantren maupun sekolah umum. Insyaallah bermanfaat," ucapnya
Serupa, Gus Mus pun sangat bergembira menyambut peluncuran buku ini. Gus Mus mengusulkan tiga edisi buku ini dijadikan satu dan disebarluaskan tidak hanya untuk kalangan pesantren nahdliyin.
Sebagai catatan, Gus Mus menambahkan pemahaman jihad yang kurang dalam buku ini. Menurut dia, perlu ditambahkan pemahaman jihad melawan kebodohan.
Sebab, sekarang ini, selain korupsi dan pandemi, yang paling harus dilakukan adalah jihad melawan kebodohan untuk menghilangkan kebodohan dan yang tak mau belajar yang tengah menyeruak sekarang ini.
"Banyak yang nggak ngerti tentang agama, bicara soal agama. Ini amat gawat. Padahal ini soal ruh. Bikin celaka banyak orang. Ini harus diluruskan, salah satunya dengan buku ini," ujar Gus Mus.
Ketua Umum Himpunan Alumni Ponpes Lirboyo KH A Kafabihi Mahrus menyatakan buku ini disusun oleh Lajnah Lembaga Bahtsul Masail Alumni Ponpes Lirboyo, Jatim. Dia berpandangan agama dan pemerintahan harus beriringan.
Posisi agama sebagai pondasi, ulama sebagai penjaga dari paham yang tidak baik. Pemerintah menjaga negara melanjutkan keberadaan NKRI.
“Kuseksesan sebuah bangsa tidak lepas dari para pendahulu, salah satunya ulama dan masayikh," ujarnya. Lirboyo, kata Kiai Kafabihi, terpanggil untuk ikut mengurusi masalah kebangsaan yang kini mendapat ancaman.
Editor: Zen Teguh