Memahami Bahaya Rokok Ilegal
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
KENAIKAN tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) kembali menyapa menapaki langkah baru memasuki 2024. Sejak Januari 2024, pemerintah telah melanjutkan pemberlakuan kenaikan tarif cukai rokok yang tertuang dalam dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.010/2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.
Peraturan tersebut menegaskan bahwa harga rokok di Indonesia saat ini kembali mengalami kenaikan harga dengan rata-rata kenaikan 10 persen bagi rokok konvensional, diikuti kenaikan tarif CHT bagi rokok elektronik rata-rata sebesar 15 persen, dan hasil pengolahan tembakau lain rata-rata 6 persen.
Fenomena kenaikan tarif CHT kerap menjadi polemik hampir setiap tahun, kecuali dalam masa pandemi. Pasalnya, produk tembakau memanglah tak pernah lepas dari kontroversi dalam setiap kebijakannya karena bagai pisau bermata dua. Rokok yang merupakan produk hasil tembakau memiliki dua fenomena yang berbeda dan memiliki pertentangan value (nilai).
Pada satu sisi, tembakau muncul sebagai tulang punggung ekonomi, yakni menjadi sumber pendapatan bagi jutaan masyarakat hingga negara, sekaligus menjadi mata pencaharian ribuan petani dan menjadi tempat bekerja baik industri maupun mata rantai perdagangannya. Akan tetapi, di balik gemerlapnya kesejahteraan ekonomi yang dihasilkan, terdapat pula sisi kesehatan sebagai dampak negatif yang ditimbulkan dari produk tembakau yang memang sepatutnya juga perlu diperhatikan.
Alhasil, dualisme kepentingan ekonomi dan kesehatan yang kerap bertolak belakang tersebut kerap tak habis dikupas.
Pradoks Kenaikan Harga Rokok
Selama ini, pemerintah di dalam menentukan kebijakan cukai berupaya untuk bersandar pada empat pilar kebijakan, meliputi pengendalian konsumsi, keberlangsuangan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan negara, dan peredaran rokok ilegal.
Terkait pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara, pemerintah masih bertumpu pada mekanisme harga, sehingga kebijakan kenaikan tarif cukai dilakukan setiap tahun. Faktanya, data menunjukkan bahwsa indikator prevelansi perokok usia ≥ 15 tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan selama hampir 15 tahun sejak 2007.
Hal ini menjadi indikasi bahwa kebijakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif. Hasil Kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) pada tahun 2021, menunjukkan bahwa kebijakan harga tidak selalu serta merta membuat perokok untuk berhenti merokok.
Hasil survei tersebut semakin memperkuat argumen bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok (usia 15 tahun keatas) karena variabel harga rokok bukanlah faktor utama yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok.
Di sisi lain, ketika konsumen rokok tidak mengalami penurunan secara signifikan akibat kenaikan tarif cukai yang terus terjadi di setiap tahunnya, justru yang telah mengalami dampak secara langsung adalah keberlangsungan produsen produk tembakau.
Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2021) menunjukkan bahwa sejak 2014 volume produksi Industri Hasil Tembakau (IHT) terus mengalami penurunan dramatis dan diikuti dengan makin banyaknya pabrikan rokok yang gulung tikar. Berdasarkan data Gappri (2022) jumlah pabrikan rokok mengalami penurunan signifikan dari 4.609 perusahaan di tahun 2007 menjadi hanya tersisa 1.200 perusahaan di tahun 2022.
Ironisnya, kenaikan tarif cukai justru telah sukses mendorong terjadinya peningkatan perederan rokok ilegal. Data DJBC (2020) mencatat bahwa kenaikan tarif cukai, terutama pada kenaikan tarif yang cukup tinggi yang terjadi di tahun 2020 sebesar 23 persen dan HJE meningkat 35 persen (PMK 152/2019), telah memicu peningkatan peredaran rokok ilegal menjadi 4,8 persen di tengah terjadinya penurunan jumlah volume produksi rokok legal yang drastis.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pergeseran konsumsi rokok atas harga yang lebih murah nyata adanya. Penelitian yang dilakukan oleh Schafferer et al. (2018) menjelaskan perokok dari kelompok dispossible income yang lebih rendah memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk membeli rokok ilegal sebagai kompensasi kenaikan harga rokok dibandingkan perokok dengan dispossible income yang lebih tinggi.