Menakar Peluang Duet Anies-Ahok di Pilgub DKI 2024, Mungkinkah?
JAKARTA, iNews.id - Wacana duet Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2024 santer dibicarakan. Sejumlah pihak pun telah menakar peluang duet keduanya untuk menduduki kursi tertinggi di Jakarta itu yang hanya tinggal lima bulan lagi.
Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini pun ikut merespons terkait peluang duet Anies-Ahok di Pilgub 2024 mendatang. Didik menyinggung pertarungan Anies-Ahok pada Pilgub 2017 lalu.
Dia mengatakan politik sebenarnya hanya citra (image), persepsi dan bukan yang sebenarnya atau bukan sebenar-benarnya. Dalam politik praktis dan proses politik di lapangan, persepsi baik atau buruk, persepsi toleran atau radikal, persepsi apa saja bisa dibentuk dengan gampang dan dengan berbagai cara dan metode.
“Pertarungan politik Anies dan Ahok di Jakarta beberapa tahun lalu dalam pertarungan persepsi yang menjadi kenyataan dalam sekejap tetapi kemudian lenyap dalam sekejap berikutnya. Banyak pihak yang takut kemenangan Anies di Jakarta akan menjadi monster politik radikal, yang tidak akan toleran terhadap keberagaman. Pilgub Jakarta adalah pilgub paling brutal dan jangan diulangi lagi,” ujar Didik dalam keterangan yang diterima, Jumat (10/5/2024).
Didik mengatakan citra dan persepsi itu hanya dalam beberapa tahun lenyap ketika Anies hadir dalam pilpres dengan partai pendukung dari partai-partai nasionalis. Tim pemenangan di kanan kirinya juga datang dari kaum nasionalis, dengan latar belakang agama yang lengkap.
Dalam Pilpres ini tidak ada lagi pertarungan citra radikal agama dan radikal sekuler, anti-NKRI, dan rasisme.
“Politik dan demokrasi yang terbuka seperti sekarang ini adalah pertanda baik, paling tidak dilihat dari sisi persepsi citra seperti ini - kecuali masalah etika dan nepotisme Jokowi,” kata Didik.
Oleh karena itu, Didik mengatakan gagasan politik menyatukan Anies dan Ahok di Jakarta adalah eksperimen yang baik dan berani untuk membersihkan pencitraan politik menuju polarisasi radikal agama atau radikal sekuler. Radikal sekuler di sini mirip-mirip radikal kiri yang antiagama.
Didik juga mengatakan peluang Anies dan Ahok bersatu sangat mungkin karena beberapa faktor. Pertama, Anies sejatinya seorang yang religius tetapi tidak radikal seperti yang dipersepsikan ketika hadir dalam Pilgub DKI dulu.
Kedua, Ahok memang temperamental, yang kadang-kadang tabu di dalam politik. Namun, sesungguhnya Ahok adalah seorang yang nasionalis dilihat dari sejarah karier politiknya.
Ketiga, tidak ada lagi faktor pendorong keduanya ke arah radikal karena Anies sudah bisa tampil di dalam pilpres dengan citra nasionalis religius biasa. Keempat, Ahok juga akan bisa diterima publik.
Lebih lanjut, Didik mengatakan bahwa Anies dan Ahok pasti berpikir positif jika paham gagasan seperti ini dari berbagai pihak yang hendak menjadikannya simbol kesatuan dari keduanya.
“Anies masuk Jakarta mempunyai peluang menang sangat besar jika tidak kita katakan hampir 100 persen. Anies punya prestasi di Jakarta, meskipun banyak kritik juga. Jakarta Indah dan banyak hal diselesaikan, juga bagian dari prestasinya. Dan juga Anies semakin populer ketika menjadi capres,” ungkap Didik.
“Jika Anies tidak masuk politik dalam dalam 5 tahun ke depan maka namanya hilang dari peredaran. Anies bukan pemimpin partai politik seperti Prabowo Subianto atau JK pada masanya. Karena itu, masuk ke dalam politik di Jakarta adalah peluang yang baik tidak hanya bagi karir dirinya tetapi juga untuk bangsa untuk 2029 nanti,” pungkasnya.
Editor: Faieq Hidayat