Contoh Artikel Ilmiah Populer Singkat Tentang Kesehatan, Lengkap Berbagai Tema
JAKARTA, iNews.id - Contoh artikel ilmiah populer singkat tentang kesehatan, lengkap berbagai tema jadi hal menarik yang akan diulas berikut ini. Artikel ilmiah kerap kita jumpai di berbagai media cetak, seperti koran, majalah, dan tabloid.
Artikel ilmiah populer adalah sebuah bentuk karya yang ditulis menggunakan bahasa yang mudah dipahami banyak orang.
Menurut Suyitno (2011) pada bukunya yang berjudul Menulis Artikel Untuk Jurnal Ilmiah Terakreditasi, menjelaskan bahwa karya ilmiah merupakan sebuah karya tulis yang dikumpulkan pada suatu jurnal. Tata cara penulisannya yakni berdasarkan kaidah penulisan secara ilmiah.
Artikel ilmiah terdiri dari beberapa struktur, yakni judul, pendahuluan, isi, dan penutup. Sedangkan ciri-cirinya, meliputi menggunakan bahasa Indonesia yang mudah dipahami, disertai bukti-bukti ilmiah, serta adanya pendapat dari penulis.
Berbagai tema dapat dijadikan pembahasan pada artikel ilmiah populer, salah satunya tentang kesehatan. Beberapa hal perlu diperhatikan dan dipahami agar tulisan itu enak untuk dibaca.
Berikut ini contoh artikel ilmiah populer singkat tentang kesehatan, lengkap berbagai tema yang berhasil iNews.id kutip dari berbagai sumber, Jumat (20/10/2023).
1. Judul: WORLD MENTAL HEALTH DAY 2021 : Kabar Kesehatan jiwa dari Indonesia di tengah dunia yang tidak setara
Penulis: Diana Setiyawati, PhD, CPMH Psikologi UGM
Hari ini, dunia merayakan Hari Kesehatan Jiwa se-Dunia, 10 Oktober 2021. Tema yang diangkat oleh World Federation for Mental Health adalah ‘Mental Health in an Unequal World’ (Kesehatan Jiwa di tengah dunia yang tidak setara).
Lalu apa kabar dengan Kesehatan jiwa Indonesia?
Belum usai kita menata fondasi sistem kesehatan jiwa kita, pandemi melanda…
Pandemi membawa masalah pendidikan, masalah kemiskinan, dan juga mengakibatkan banyak anak-anak yang kehilangan ayah-ibunya. Dampak psikisnya mungkin belum terlihat sangat signifikan saat ini, meski tekanannya sangat terasa nyata.
Namun perubahan pola asuh karena perubahan konstelasi keluarga atau perubahan ekonomi keluarga, sangat berpotensi membawa dampak psikis jangka panjang. Para ahli perkembangan juga memprediksikan bahwa anak-anak dan remaja akan mengalami ‘the longest and the darkest effect of pandemic’ yang harus diantisipasi dan dikelola.
Siapkah sistem kesehatan jiwa kita?
Diperlukan pemetaan komprehensif tentang kondisi sistem kesehatan jiwa Bangsa, untuk rekomendasi prioritas pembangunan yang lebih tepat.
Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) bersama Centre for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM, dengan support dari UNICEF, membantu Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk memetakan kondisi sistem kesehatan jiwa Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan rekomendasi prioritas pembangunan. Penelitian masih berjalan, bekerjasama dengan Dinkes-Dinkes Kabupaten/Kota se-Indonesia. Beberapa hal yang dapat kita simpulkan dengan data sementara yang terkumpul, akan kita ceritakan di bawah ini.
Di negeri ini, ada faktor-faktor yang secara umum dapat memperbesar resiko pengembangan gangguan jiwa, antara lain: kemiskinan dan pendidikan yang rendah, atau lebih tepatnya literasi kesehatan jiwa yang rendah.
Hal ini erat berhubungan atau dapat mengakibatkan pola asuh orang tua yang tidak berorientasi pada kesejahteraan psikis anak. Kekerasan terhadap anak di rumah, menjadi salah satu resiko besar. Kekerasan antar remaja dan bullying di sekolah juga merupakan faktor risiko lainnya. Kemudian semua hal itu dapat berhubungan atau meninggikan resiko bunuh diri.
Lalu seperti apa wajah sistem Kesehatan jiwa di berbagai wilayah Indonesia?
Kesenjangan masih cukup kentara dalam literasi kesehatan mental antar orang-orang yang bergerak di sistem kesehatan di berbagai wilayah Indonesia.
Aturan dan distribusi bantuan terkait dukungan untuk tenaga kesehatan jiwa belum merata. Baik berupa pendanaan maupun fasilitas/infrastruktur (termasuk pemerataan RSJ).
Akses bantuan ke Puskesmas terdekat bagi masyarakat, terkadang masih sulit dan mahal di beberapa wilayah di Indonesia. Begitupun, belum semua Puskesmas di wilayah Indonesia memiliki pelayanan kesehatan jiwa karena minimnya SDM yang terlatih dan kompeten dalam kesehatan jiwa.
Di sisi lain, pemasungan masih terjadi. Mengapa?
Keluarga dan komunitas tidak memahami deteksi dini. Keluarga dan komunitas juga tidak memahami manajemen ODGJ (Orang dengan gangguan jiwa) pasca treatment rumah sakit.
Di sisi lain, tidak kuatnya keluarga menjalani treatment, sulitnya akses pelayanan kesehatan jiwa dan stigma untuk ODGJ dan keluarga menambah faktor resiko pemasungan.
Secara umum ada kondisi yang tidak setara di Indonesia. Ketidaksetaraan terlihat dalam pemenuhan SDM antar Puskesmas se Indonesia. Terdapat Kabupaten dengan 35 psikolog klinis bekerja di seluruh Puskesmasnya yang berjumlah 25.
Memiliki SDM yang bertanggung jawab khusus dengan program Kesehatan jiwa, sehingga bervariasi pendekatan promosi, prevensi, kurasi dan rehabilitasi Kesehatan jiwanya.
Sementara di wilayah Indonesia yang lain, ada Kabupaten yang memiliki 11 Puskesmas, namun hanya 1 orang dokter umum yang pernah mendapatkan training Kesehatan jiwa, bertanggung jawab terhadap program kesehatan jiwa bersama seabrek beban kerja di bidang kesehatan lainnya.
Akibatnya, ada daerah tertentu dengan kondisi ekstrim tinggi: Promosi kesehatan jiwa sampai ke legislasi, literasi kesehatan jiwa yg tinggi, serta ranah program kesehatan jiwa yang variatif (keluarga, sekolah, komunitas). Namun masih banyak daerah dengan faktor resiko tinggi, tetapi belum memiliki program dan pelayanan dasar Kesehatan jiwa yang memadai.
Masih banyak PR yang harus kita lakukan bersama untuk membuat kondisi Indonesia setara di semua wilayah. Terwujudnya sistem kesehatan jiwa komprehensif, antara lain menuntut kondisi seperti:
Terpenuhinya SDM kesehatan jiwa
Sistem rujukan yang terjalin rapi antar potensi masyarakat dan sistem kesehatan
Orientasi program dari promosi, prevensi, kurasi dan rehabilitasi
Pendekatan dalam sistem harus sepanjang rentang kehidupan, bekerjasama dengan semua sektor masyarakat, seperti sekolah, organisasi kerja dan elemen masyarakat lain tempat nadi kehidupan masyarakat berjalan.
Pendekatan program harus mikro dan makro. Mikro berarti penguatan individu dan keluarga, makro berarti penguatan masyarakat hingga elemen pemerintah.
No health without mental health. Kesehatan jiwa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesehatan fisik. Kesehatan jiwa tidak hanya terkait masalah manajemen orang dengan gangguan jiwa.
Kesehatan jiwa berkaitan dengan kualitas hidup kita, produktivitas, dan wajah generasi masa depan anak Bangsa. Membangun sistem kesehatan jiwa, berarti mengupayakan kualitas hidup yang lebih baik, lebih maju dan produktif. Kesehatan jiwa adalah urusan semua jiwa. Mari kita bergandengan tangan mewujudkannya.
2. Judul: Pertolongan Pertama Psikologis: Langkah untuk Membantu Meredam Luka Batin Seseorang
Penulis: FKM UNAIR
Apabila terdapat istilah pertolongan pertama untuk penyakit-penyakit fisik pada umumnya, penyakit atau gangguan jiwa pun memiliki istilah yang serupa.
Pertolongan pertama psikologis, atau biasa yang disebut sebagai PFA (Psychological First Aid) merupakan serangkaian tindakan yang diberikan guna membantu menguatkan mental seseorang yang mengalami krisis (WHO, 2009).
Pengertian dari peristiwa krisis itu sendiri memiliki pandangan yang berbeda bagi setiap individu. Hal ini dikarenakan krisis merupakan insiden yang memberikan dampak tekanan dan pengalaman traumatis pada korbannya. Krisis terjadi berdasarkan penilaian masing-masing individu terhadap suatu peristiwa sehingga tidak bisa disamaratakan.
PFA tidak bisa diterapkan kepada seluruh orang yang mengalami krisis. Hal tersebut merupakan hasil dari bagaimana tiap individu menanggapi krisis yang mereka alami.
Sebagian memiliki reaksi yang cenderung ekstrem, namun sebagian juga memiliki reaksi sebaliknya. Sebagai penolong, sangatlah penting untuk memperhatikan kebutuhan masing-masing individu dengan tidak memaksakan kehendak mereka.
Adapun para penyintas yang memiliki reaksi ekstrem dan tergolong membutuhkan PFA seringkali menunjukkan perilaku dan perasaan yang sangat terpukul, mengalami cedera yang cukup serius, bahkan hingga tidak bisa mengurus diri sendiri.
Pada dasarnya, pertolongan pertama psikologis dilakukan spesifik untuk mengobati luka-luka batin yang membekas pada orang-orang yang baru saja mengalami pengalaman traumatis.
Hal ini diterapkan untuk dapat meringankan beban para penyintas dengan mengurangi dampak-dampak psikologis yang dirasakan seperti rasa stress dan tertekan.
PFA dilakukan untuk membantu individu mengembangkan koping fungsional dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang diakibatkan oleh stres yang mereka rasakan (National Child Traumatic Stress Network and National Center for PTSD, 2006).
PFA juga turut memainkan peran untuk menumbuhkan harapan dalam diri penyintas dengan merasa lebih tenang, aman dan terhubung. Penolong tentunya harus memastikan bahwa seluruh penyintas yang ditolong memiliki akses terhadap dukungan sosial, emosional, juga fisik yang memadai.
PFA diberikan ketika penolong pertama kali melakukan kontak dengan penyintas yang baru saja mengalami peristiwa traumatis. Adapun waktu pemberiannya beragam; beberapa memilih untuk langsung menolong, namun PFA juga bisa diberikan beberapa hari atau minggu setelah krisis berlangsung.
Pemberian PFA akan bergantung pada tingkat keparahan serta lamanya krisis terjadi. Dalam pelaksanaannya, PFA memiliki tiga prinsip yang berupa proses jalannya pertolongan pertama itu sendiri. Prinsip tersebut terdiri dari:
Look (Amati)
Prinsip pertama mencakup bagaimana penolong mengamati lingkungan serta kondisi yang mengelilingi para penyintas. Di sini, akan lebih baik untuk penolong untuk bisa lebih sensitif terhadap penyintas dengan reaksi yang cukup serius.
Listen (Dengar)
Mendengarkan aktif merupakan komponen utama dalam prinsip ini. Di proses kedua, penolong mendekati para penyintas dengan membangun rapport dan mengembangkan kemampuan mendengarkan aktif untuk memahami apa yang mereka rasakan. Dengan mendengarkan aktif, penolong juga dapat lebih mendalami hal-hal yang menjadi kebutuhan utama bagi para penyintas.
Link (Hubungkan)
Prinsip terakhir ini merupakan penerapan dari prinsip sebelumnya, dimana penolong akan membantu penyintas untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar serta mengatasi permasalahan yang mereka alami.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, penolong juga dapat memberikan informasi yang mereka ketahui dan mencoba menghubungkan penyintas dengan keluarga mereka maupun pihak-pihak terkait yang memiliki bantuan yang dibutuhkan oleh penyintas.
Ketiga prinsip diatas merupakan langkah-langkah yang membantu penolong dalam mengaplikasikan PFA kepada para penyintas. Namun, masih terdapat beberapa hal lain yang yang perlu diperhatikan dalam memberikan pertolongan pertama psikologis, diantaranya adalah (National Child Traumatic Stress Network and National Center for PTSD, 2006; WHO, 2009):
PFA bukan merupakan terapi.
PFA bisa diberikan oleh siapa saja yang sudah memahami makna serta prinsip-prinsip yang tertera dalam PFA, terutama melalui pelatihan yang diberikan oleh tenaga kesehatan mental profesional.
Sangat penting bagi para penolong untuk menjaga diri sendiri terlebih dahulu sebelum menolong yang lain. Pada saat memberikan pertolongan, menjaga kesehatan mental diri sendiri sebagai penolong merupakan hal yang utama.
Mendengarkan aktif merupakan kunci utama penolong agar dapat memberikan PFA dengan lancar. Salah satu upayanya adalah dengan tidak memaksakan kehendak penyintas untuk menceritakan seluruh peristiwa yang mereka alami.
Merupakan hal yang wajar apabila terdapat penyintas berasal dari budaya yang berbeda dengan penolong. Untuk itu, penolong harus bisa menyesuaikan perilaku sesuai dengan budaya yang dianut penyintas atau dengan penolong lainnya.
Salah satu perilaku yang dapat dihindari adalah dengan tidak membuat asumsi terhadap apa yang para penyintas telah alami.
Elemen utama dalam PFA adalah untuk membantu penyintas mengatasi permasalahan yang dialami sehingga sangat penting untuk membuat penyintas lebih berdaya dan tidak bergantung pada penolong.
PFA atau psychological first aid hadir untuk membantu individu yang sedang mengalami musibah dalam hidup. Tentunya, luka batin yang dialami tidak bisa dibiarkan terus mengendap dan mengarah pada tindakan-tindakan negatif.
Oleh karena itu, sangat krusial bagi penolong untuk bisa membantu mengenali potensi yang dimiliki penyintas agar dapat meningkatkan daya mereka dalam mengatasi permasalahan yang akan datang.