Paksakan RUU Penyiaran ke Paripurna Langkah Mundur Demokrasi
JAKARTA, iNews.id – Desakan pimpinan DPR agar RUU Penyiaran diputuskan dalam rapat paripurna tidak hanya melanggar sejumlah undang-undang. Keputusan itu bisa menjadi blunder. RUU Penyiaran sedang dalam tahap finalisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR sehingga seharusnya dihormati seluruh pihak.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menekankan, lamanya waktu pembahasan di Baleg DPR tidak serta merta menjadi alasan bagi wakil ketua DPR membuat keputusan.
”Proses UU Penyiaran ini tidak boleh dipaksakan. Kalau nanti diputuskan demikian (lewat paripurna), itu langkah mundur demokrasi kita,” kata Emrus, Kamis, 1 Februari 2018.
Dia mengingatkan, pembahasan mengenai RUU Penyiaran menyangkut orientasi penyiaran yang lebih baik di Indonesia. Dalam konteks ini, menurut Emrus, DPR mestinya mendorong multi mux yang akan diterapkan.
”Jika DPR meninjau dari segi kebebasan demokrasi dan kebebasan berpendapat, multi mux lah yang harus diikuti, bukan memperjuangkan single mux,” kata dia.
Emrus sebelumnya menyinggung bahwa konsep single mux akan memisahkan antara konten dengan teknologi dalam industri penyiaran. Padahal kedua poin itu menjadi kesatuan dalam sebuah pesan yang disalurkan melalui teknologi penyiaran.
“Konsep single mux pengelola dipusatkan di konsorsium, dengan demikian pengendalian frekuensi dan infrastruktur ada di tangan mereka. Sementara siaran tidak bisa dipisahkan dengan konten, meskipun DPR menyebut konten tidak termasuk, itu tidak dipisahkan dengan teknologi,” kata dia.
Seperti diketahui, RUU Penyiaran hingga saat ini belum mencapai titik temu. Salah satu yang menjadi perdebatan adalah mengenai konsep multiplekser tunggal (single mux) dan multiplekser jamak (multi mux). Kendati demikian, RUU Penyiaran sudah sampai di Baleg untuk tahap harmonisasi. Yang patut disayangkan, ketika RUU belum selesai Wakil Ketua DPR Agus Hermanto malah mendorong agar RUU ini dibawa ke paripurna untuk diputuskan.
Wakil Ketua Baleg DPR Firman Soebagyo mengatakan, meski Komisi I DPR menginginkan single mux, namun itu bisa menciptakan banyak masalah baru. Salah satunya bisa berdampak monopoli penyiaran oleh Pemerintah.
”Jika dipaksakan untuk direalisasikan akan terjadi kekacauan dalam dunia penyiaran,” kata dia. Firman juga menegaskan bahwa keinginan pimpinan DPR untuk membawa RUU Penyiaran ke rapat paripurna melanggar sejumlah undang-undang.
"Jangan sampai undang-undang dibuat untuk menggeser monopoli. Dan undang-undang harus bisa menjamin eksistensi pelaku usaha dimana dunia usaha sebagai pilar ekonomi nasional. Jangan sampai menimbulkan dampak pengangguran dan sebagainya," tegasnya.
Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) sebelumnya menyatakan bahwa multi mux menciptakan sistem penyiaran nasional yang sehat dan kompetitif. Dengan multi mux, lembaga penyiaran swasta (LPS) memiliki pilihan untuk memilih bergabung dengan multipleksing yang dikelola lembaga penyiaran publik (LPP) atau LPS yang sesuai dengan service level, layanan yang ditawarkan dan harga sewa.
Sebaliknya, single mux akan menciptakan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat karena terjadi posisi dominan. Tak hanya itu, dalam single mux, negara juga harus membayar kompensasi kepada LPS pemegang IPP multipleksing yang telah membangun infrastruktur multipleksing.
Editor: Zen Teguh