Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Hary Tanoesoedibjo Minta DPW Partai Perindo Perkuat Organisasi hingga Tingkat RT
Advertisement . Scroll to see content

Pasang-Surut Lembaga Filantropi, Berkaca dari Kasus ACT

Jumat, 29 Juli 2022 - 07:39:00 WIB
Pasang-Surut Lembaga Filantropi, Berkaca dari Kasus ACT
Zainal Abidin (Foto: Istimewa)
Advertisement . Scroll to see content

Zainal Abidin
Pegiat Kemandirian Dompet Dhuafa, Akademisi Sekolah Bisnis Prasetiya Mulya

AKTIVITAS awal lembaga yang tercetus tanpa rencana matang biasanya dibiayai secara swadaya. Dengan dana awal seadanya serta pengetahuan yang juga ala kadarnya, aktivitas filantropi dimulai. Satu-dua aktivitas mulai dilakukan walau minim anggaran. Dasarnya hanya kerelawanan, dengan keinginan kuat untuk membantu mereka yang membutuhkan.

Nyaris belum terpikirkan untuk memutar organisasi secara terstruktur. Jangankan profesional, para aktivis pendahulu itu seringkali tidak terlalu memikirkan upah bagi tenaga dan pikiran yang mereka curahkan. Bahkan ongkos wira-wiri bisa jadi didapat dari mengorek kocek sendiri. Aspek legalitas mungkin saja luput dari perhatian.

Kepercayaan publik semakin meningkat, lalu lembaga ini mulai menata barisan. Jumlah personel bertambah seiring perkembangan. Pembagian tugas pun sudah mulai dijalankan. Aliran dana mulai masuk lebih teratur, membutuhkan sistem pelaporan yang lebih rinci. Bahkan, audit eksternal merupakan salah satu kegiatan yang penting dilaksanakan untuk terus meningkatkan kepercayaan publik. Sayangnya, hanya segelintir lembaga saja yang menaruh perhatian pada hal penting ini.

Legalitas pun mulai diberesi satu per satu. Aktivitas lembaga juga mulai terprogram dan semakin banyak. Sebaran penyaluran dana mulai meluas. Konsekuensinya, biaya penyalurannya meningkat. Godaan, biasanya muncul di sini. Aliran dana yang semakin banyak masuk ke kocek lembaga, sedikit-banyak mengubah perilaku pengelola. Beberapa tahun lalu mencuat berita, sebuah lembaga filantropi yang mengaku belum menyalurkan donasi dari masyarakat sebesar Rp1,2 miliar dan membelanjakan sebagian dananya untuk membeli mobil Fortuner dan iPhone edisi terbaru. Masalah ini dianggap selesai setelah sang pengelola berjumpa dengan Menteri Sosial saat itu dan menyerahkan sisa dana yang belum disalurkan kepada lembaga sejenis yang lebih besar.

Perubahan terus terjadi di berbagai sektor. Pembiayaan kegiatan yang semula swadaya, mulai mengalami pergeseran. Beberapa komponen biaya, diambil dari dana terhimpun.  Administrasi dan transportasi adalah dua hal yang semakin butuh anggaran karena sudah tidak mungkin lagi dibiayai dari kocek pribadi. Itu memang dibenarkan secara hukum (negara dan atau agama).

Komponen biaya lain yang bisa diambil dari dana terhimpun adalah untuk gaji para aktivis lembaga, sehingga mereka layak disebut karyawan. Selain itu, ada juga pengeluaran lembaga untuk iklan di media (cetak, elektronik dan atau sosial media), serta berbagai keperluan, antara lain program rekrutmen karyawan, sosialisasi program maupun publikasi laporan keuangan.

Perkembangan lembaga, dari sebuah organisasi kecil berbasis kerelawanan menjadi organisasi modern yang tertata secara struktural, ternyata menyisakan riak-riak masalah yang jika tidak segera diselesaikan akan semakin menggulung bagaikan bola salju. Salah satu masalah itu adalah inefisiensi.

Berbagai program yang dilaksanakan, membutuhkan penanganan sumber daya manusia yang intens. Keberadaan mereka, jika tidak terintegrasi cenderung menyebabkan inefisiensi yang cukup parah. Beban kerja setiap orang seringkali tidak bisa diperhitungkan sejak awal. Akibatnya, anggaran setiap program membengkak untuk biaya sumber daya manusia, baik yang dilakukan secara legal maupun tidak. Godaan keserakahan juga kerap muncul di sini.

Seperdelapan dana amil dari penghimpunan dana keagamaan atau 10 persen dana sosial, yang memang diperuntukkan bagi operasional lembaga, mulai kedodoran dan pada gilirannya akan menggerus dana lainnya. Banyak lembaga menyiasatinya dengan berbisnis. Sayangnya, bisnis memang tidak mudah. Jika tidak beres mengelolanya, justru pemborosan bisa semakin parah. Dari mana lagi menutupinya, selain dari dana penghimpunan? Akibatnya, dana program pun digerogoti.

Pada kasus ACT yang mencuat baru-baru ini, laporan resminya menyebutkan potongan sebesar 13,7 persen, melampaui aturan yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 29 Tahun 1980 soal besaran pemotongan oleh lembaga sosial, sebanyak-banyaknya 10 persen. Laporan resmi itu juga berbeda dari laporan Tempo, yang menyebut angka mencapai 30 persen.

Sebagai pengamat sekaligus aktivis di dunia yang sama, saya concern pada dua hal, transparansi dan akuntabilitas. Sebagian besar lembaga biasanya sudah melakukan beberapa hal untuk menunjukkan transparansinya, tapi belum banyak menutup lubang akuntabilitasnya. Ini yang seharusnya menjadi perhatian utama dari pemegang regulasi, baik Kementerian Sosial maupun Kementerian Agama.

Persoalan ACT memang puncak dari sebuah gunung es. Kepercayaan masyarakat pada lembaga filantropi bisa menurun drastis mengingat dana yang diduga telah disalahgunakan sangat besar. Penyelesaian secara hukum dengan mengungkap fakta-fakta yang terjadi sesungguhnya perlu dilakukan.

Jika tidak ditangani serius, pemerintah akan mengalami kesulitan dalam berbagai penanganan masalah-masalah sosial di Indonesia, yang selama ini banyak dibantu lembaga-lembaga filantropi bencana ini.

Akankah kita siap berubah, atau terpuruk sampai level terbawah?

Editor: Anton Suhartono

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut