Pengamat Nilai Baliho Capres-Cawapres Bareng Jokowi Ganggu Netralitas Pemilu
JAKARTA, iNews.id - Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing, menilai maraknya baliho dan poster kontestan capres-cawapres dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengganggu netralitas Pemilu 2024. Pasalnya, presiden perlu menunjukkan sikap netral dalam pesta demokrasi.
“Ini bulan-bulan politik, harusnya foto tokoh politik, kontestasi politik yang bersama Presiden Jokowi, sekali pun foto lama harusnya diturunkan atau di-take down,” ujar Emrus dalam diskusi daring yang digelar Gogo Bangun Negeri, dikutip Minggu (19/11/2023).
Adapun sejumlah baliho kontestan Pemilu 2024 bersama Jokowi berseliweran di tengah masyarakat. Misalnya, baliho Partai Solidaritas Indonesia (PSI) selaku partai pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang menyertai foto Presiden Jokowi di belakangnya.
Kemudian, baliho bergambar Prabowo selaku Menteri Pertahanan (Menhan) bersama Presiden Jokowi. Menurut Emrus, foto-foto baliho yang ditampilkan bisa memengaruhi makna tertentu di peta kognisi khalayak.
“Para pendukung parpol bersama Prabowo-Gibran idealnya tidak mencantumkan foto Bapak Presiden,” katanya.
Padahal, kata Emrus, Jokowi sempat menunjukkan simbol netralitasnya terhadap kontestasi Pilpres 2024. Misalnya, ketika mengundang ketiga capres yakni Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto untuk makan siang ke Istana Negara.
Publik memberikan hal yang positif terkait netralitas, yaitu dengan makan siang dengan meja yang sama, menu serupa, dan tanpa moderator.
“Ini artinya egaliter. Harusnya hal serupa dilakukan ke kegiatan lainnya,” tuturnya.
Dia mencontohkan ketika Jokowi bertemu dengan relawannya, juga dilanjutkan ke seluruh relawan kontestan seperti Anies, Prabowo, maupun Ganjar.
“Supaya publik tidak memahami memberikan dukungan kepada salah satu kandidat,” tuturnya.
Emrus berharap para kontestan Pemilu 2024 mengedepankan kekuatan ideologis, politik moral, serta tidak semata menerapkan politik elektoral. Menurutnya ketika kekuatan ideologis bertemu dengan kekuatan elektoral, harus dimenangkan oleh politik ideologis.
Peristiwa tidak ideologis itu menurutnya terjadi ketika MK memutuskan kepala daerah umur di bawah 40 tahun dapat menjadi calon presiden atau wakil presiden. Setelah itu Gibran diumumkan menjadi Cawapres Prabowo.
Dia mengatakan, lebih tepat Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto yang menjadi cawapres Prabowo.
“Saya melihat secara komunikasi politik boleh jadi ada yang tersandera. Ketika Gibran menjadi Cawapres, menarik dilakukan penelitian untuk disertasi. Melakukan wawancara mendalam dengan Airlangga, Erick Thohir, hingga Yusril Ihza Mahendra, nanti akan terungkap ada apa di balik itu,” tuturnya.
Editor: Rizky Agustian