Pengamat: Rekonsiliasi Bukan Bagi-Bagi Kursi
JAKARTA, iNews.id - Rekonsiliasi nasional dinilai menjadi kebutuhan mendesak setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan penetapan pemenang pilres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun rekonsiliasi bukan berarti Jokowi membagi kursi kepada kubu Prabowo-Sandi masuk koalisi.
Pengamat komunikasi politik Lely Arrianie Napitupulu mengakan, secara kualitatif dan kuantitatif koalisi pemenang pilpres cukup besar mencapai 60%. Dia khawatir pemerintahan periode kedua Jokowi tidak efektif jika merangkul kubu Prabowo-Sandi masuk ke dalam koalisi.
“Kalau berkaca pada Pemerintahan SBY periode kedua terutama dengan didukung 62% partai koalisi ternyata tidak efektif karena yang banyak nyeleneh itu Golkar dan PKS,” ujar Lely Napitupulu dalam acara Pers Comference Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi UNPAD di Sekretariat IDIK UNPAD (kantor PT Pertja) Jalan Rawa Gelam III Nomor 4, Kawasan Industri Pulagadung, Jakarta Timur, Kamis (4/7/2019).
Doktor Ilmu Komunikasi UNPAD itu mengakui, rekonsiliasi penting untuk merajut semua kelompok sosial politik yang terbelah akibat dukung mendukung politik di Pilpres 2019. Tetapi rekonsialiasi bukan dalam bentuk membagi kekuasaan dari kubu Jokowi kepada kubu Prabowo.
“Rekonsiliasi itu penting menurut saya, tetapi rekonsiliasi dalam bentuk silaturahmi. Sehingga semuanya dapat menjaga entitas yang memang berasal dari bdari keberpihakan kepada merreka,” ucapnya.
Menurutnya, rekonsiliasi nasional dapat dirajut oleh kedua kubu ketika proses pemerintahan sedang berajalan. Misalnya, kubu Prabowo-Sandi tidak perlu harus masuk di dalam koalisi untuk mendukung propgram pemerintah yang dinilai mereka sejalan dengan kepentingan rakyat dan bangsa. Mereka juga memiliki energi untuk mengkritik pelaksanaan pemerintah bila keluar dari program kampanye politik pemenenang pilpres.
“Kalau seandainya program pemerintah itu layak didukung, ya mereka harus mendukung tanpa harus masuk dalam kekuasaan pemerintahan. Toh selama ini, kalau mereka bicara didepan TV mereka berantem, di belakang mereka cipika-cipiki, peluk-pelukan sayang-sayangan, apa lagi kalau politisi cewek dan cowok terlihat banget itu mesranya,” jelas Lely Napitulu.
Dia mengingatkan, sampai saat ini proses rekonsiliasi yang digulirkan terkesan semu dan diragukan ketulusannya terutama dari pihak yang kalah. Kubu Prabowo-Sandi dinilai belum menerima hasil pilpres.
Diksi, pemilu curang, kata dia masih terdengar dalam wacana publik digulilrkan oleh kubu Prabowo-Sandi. Padahal, rekonsiliasi nasional dapat dibangun oleh semua pihak apabila kedua kubu sudah menyatakan proses pilpres selesai. Kalau masih ada pihak yang masih mempersoalkan hasil pilpres maka proses rekonsialsi tidak akan mungkin dapat dirajut.
“Rekonsiliasi yang akan terjadi ini nampaknya semu, selama elit tidak menggagas kosa kata politik yang menunjukkan bahwa mereka itu betul-betul soal pilpres itu sudah selesai," katanya.
Dia menambahkan, publik menyaksikan bahwa Partai Amanat Nasional (PAN) dan Demokrat sudah dipastikan keluar dari dukungan terhadap koalisi Prabowo-Sandi. Meskipun menurutnya, panggung politik depan itu merupakan wilayah politik di mana perilaku politik tidak layak dan tidak boleh muncul di panggdung depan.
“Dia harus steril dari penonton di panggung depan. Sekarang justru terbalik, kelakuan di panggung belakang dimunculkan di panggung depan, kelakuan dipanggung depan di simpan di panggung belakang,” ucapnya.
Editor: Kurnia Illahi