Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : KPK Tangkap 25 Orang dalam 3 OTT di Banten, Bekasi, dan Kalsel
Advertisement . Scroll to see content

Peningkatan Integritas dan Kapasitas KPK dalam Pemberantasan Korupsi

Rabu, 17 Juli 2024 - 17:22:00 WIB
Peningkatan Integritas dan Kapasitas KPK dalam Pemberantasan Korupsi
Noor Ichwan Ichlas Ria Adha (Foto: Dok Pribadi)
Advertisement . Scroll to see content

Noor Ichwan Ichlas Ria Adha, SH, MH
Hakim Pengadilan Negeri Palembang Kelas I.A Khusus 

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang bersifat independen, didirikan untuk melanjutkan semangat reformasi tahun 1998. Tujuannya untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Seiring perkembangan zaman, KPK yang semula sangat diharapkan masyarakat bisa menjalankan tugas dengan baik, mereka justru pesimistis terhadap lembaga anti-rasuah tersebut. Untuk menjawab keraguan masyarakat, KPK sebagai lembaga negara harus memperbaiki diri, baik ke dalam agar pimpinan dan personel KPK diisi orang yang betul-betul amanah. Dan keluar, yakni dapat mencegah, menanggulangi, memberantas, serta mengembalikan uang negara.

Diharapkan marwah KPK tetap terjaga dengan baik karena diisi oleh para pimpinan dan personel yang benar-benar bertanggung jawab. 

Menjaga Marwah KPK

Untuk menjaga marwah lembaga, personel KPK, terutama pimpinan dan Dewan Pengawas, harus orang yang berintegritas. Mereka mempunyai komitmen tinggi untuk memberantas korupsi. Untuk menyapu kotoran haruslah dengan sapu yang bersih, apalagi kotoran tersebut sudah terlampau banyak.

KPK harus diisi oleh orang yang benar-benar berintegritas, takut kepada Allah Yang Maha Kuasa serta mengabdikan diri, bekerja untuk memberantas korupsi secara ikhlas.

Setiap agama di Indonesia melarang korupsi. Berikut pelarangan-pelarangan yang terkait dengan korupsi menurut agama-agama yang ada di Indonesia:

Islam

Allâh Azza wajalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

"Wahai manusia! makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu”. (Al-Baqarah/2:168).

Allah Azza Wajalla berfirman:

وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ

"Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allâh kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (Al-Maidah/5:88).

Dari hadist riwayat Ibnu Majah, hadist ke-2.227 yang artinya:
"Dari Jabir bin Abdullah RA, berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam mencari harta karena sesungguhnya jiwa manusia tidak akan puas/mati hingga terpenuhi rezekinya walaupun ia telah mampu mengendalikannya (mengekangnya), maka bertakwalah kepada Allah SWT dan berbuat baiklah dalam mencari harta, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram". (HR Ibnu Majah)

Dalam Al Qur’an dan  hadist di atas dijelaskan bahwa kita sebagai  manusia diharuskan mencari rezeki dengan cara yang halal dan tidak mencari dengan cara yang haram, jika memang ingin menjadi orang yang bertakwa. 

Penulis berpendapat, pelaku korupsi sudah berbuat dua kesalahan. Pertama mencari rezeki dengan yang cara yang tidak halal dan kedua merugikan negara dan rakyat.

Laknat Allah Azza Wajalla bagi Pemberi Suap dan Penerimanya 

Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasulullah bersabda, "Laknat Allah kepada pemberi suap dan penerima suap”. (HR Ahmad, No. 6984; Ibnu Majah, No. 2313. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Kemudian dalil-dalil yang mengharamkan hadiah adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hamid As-Saidi, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hadiah bagi para pekerja adalah pengkhianatan."

Diriwiyatkan dari Ibrahim Al-Harabi dalam Kitab Al-Hadaya dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, bahwa Nabi SAW bersabda, “Hadiah bagi para pemimpin adalah pengkhianatan."

Jelas dalam hadits-hadits di atas Islam melarang suap dan hadiah yang diberikan, baik kepada seorang pejabat maupun pegawai. 

Kristen/Katolik

“Suap janganlah kau terima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutar balikan perkara orang-orang yang benar.” (Keluaran 23:8).

“Siapa loba akan keuntungan gelap, mengacaukan rumah tangganya, tetapi siapa membenci suap akan hidup” (Amsal 15:27).

“Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar” (Ulangan 16:19).

Semua ayat-ayat di atas diambil dari Al-Kitab.

Hindu 

Korupsi dalam pandangan agama Hindu telah tertulis dalam kitab Suci Veda, yaitu:

satyam brhad rtam ugra diksa
tapo brahma yajnah
prtivim dharayanti
sa no bhutasya bhavyasya patrani
urum lokam prtivi nah krnoti
Atharvaveda XII.1.1

Kebenaran/kejujuran yang agung, hukum-hukum alam yang tidak bisa diubah, pengabdian diri (pengekangan diri) pengetahuan dan persembahan (yadnya) yang menopang bumi. Bumi senantiasa melindungi kita, semoga di (bumi) menyediakan ruangan yang luas untuk kita.

satyena-uttabhita bhumih
suryena-uttabhita dyauh
rtena-adityas tisthanti
divi somo adhi sritas
Atharvaveda XIV.1.1

Kebenaran/kejujuran menyangga bumi, matahari menyangga langit, hukum-hukum alam menyangga matahari, Tuhan Yang Maha Kuasa meresapi seluruh lapisan udara yang meliputi bumi (atmosfer).

Dari sabda Tuhan di atas jika kita cermati dengan saksama cukup jelas dan tegas bahwa hanya kebenaran dan kejujuran yang mampu menyangga hidup dan kehidupan ini. Perilaku korup tidak mendapatkan tempat di muka bumi ini karena sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dharma atau kebenaran, kejujuran, taat hukum, pengendalian (pengekangan) diri, pengetahuan, dan persembahan (yadnya) atau sedekah.

Jika ini yang terjadi maka cepat atau lambat kehancuran peradaban menjadi jawabannya. Jika peradaban hancur maka kita sebagai manusia yang paling berdosa atas kehancuran ini. Kita telah melecehkan pencipta diri kita, yaitu Tuhan dengan segala kecerdasan dan kesempurnaan-Nya.

Lalu apa sanksi yang paling adil bagi para pelaku kejahatan itu?, Hindu dengan salah satu dasar ajaranya yaitu panca cradha dengan arif dan bijaksana menyerahkan sanksinya berdasarkan konsep hukum karma phala (hukum sebab akibat) siapa berbuat apa pasti akan mendapatkan akibat yang setimpal dengan perbuatanya itu dan ini sangat adil dan tidak perlu disangsikan lagi.

Buddha

Dalam agama Buddha korupsi didasarkan oleh keserakahan dan berakar pada kebodohan batin. Jika seseorang memiliki pandangan benar tidak mungkin ia bertindak bodoh. Ia akan menyadari semua itu tidak kekal. Kemudian juga karena faktor lingkungan pergaulan yang kurang bagus sehingga mendukung munculnya perilaku korup.

Korupsi termasuk melanggar aturan-moralitas Buddhis (sila) kedua -mengambil barang yang tidak diberikan pemiliknya- dan akan mengondisikan seseorang melanggar aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-4 Buddhis (menahan diri dari ucapan yang tidak benar atau berbohong). Ini dikarenakan ketika seseorang melakukan korupsi, ia telah ‘mencuri’ dan akan mengondisikannya berbohong untuk menyembunyikan perbuatannya. Jadi korupsi bisa membuat seseorang melanggar aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-2 dan aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-4 dari lima aturan-moralitas Buddhis (panca-sila). Sehingga menurut Buddhisme, korupsi merupakan sesuatu yang sebaiknya tidak dilakukan karena telah melanggar aturan-moralitas Buddhis (sila).

Sang Buddha menjelaskan dalam Majjhima Nikaya 117, bahwa mata pencaharian akan menjadi tidak benar ketika dimanfaatkan untuk:

1. Menipu (kuhana),
2. Membual (lapana),
3. Memeras (nemittakata),
4. Menggelapkan (nippesikata),
5. Merampok agar mendapat hasil yang banyak (labha)

Dalam perspektif luas, agama apa pun pasti melarang penganutnya melanggar sumpah atau janji, baik diucapkan atau ditandatangani seperti fakta integritas. Di samping itu semua agama pasti memerintahkan penganutnya untuk taat pada aturan atau hukum yang berlaku, baik aturan/hukum agamanya maupun negara. Dengan demikian semua ASN yang melakukan praktik korupsi, baik itu merugikan keuangan negara/daerah secara langsung maupun tidak langsung seperti suap, gratifikasi, dan lainnya telah melanggar hukum/aturan negara dan agamanya.

Di samping itu setiap ASN atau pejabat publik ketika dilantik pasti bersumpah menurut agama yang dianutnya untuk, "Tidak melakukan perbuatan yang berhubungan dengan korupsi dan tidak menerima gratifikasi dalam bentuk apa pun". 

Bagaimana mencari pimpinan KPK dan Dewan Pengawas yang berintegritas tinggi? Mencari orang pintar di Indonesia sangat banyak, tapi mencari yang berintegritas dan ikhlas bekerja agak sulit. Mencari orang pintar untuk pimpinan dan Dewan Pengawas KPK dapat dilakukan dengan cara-cara yang sudah biasa berjalan. Sementara untuk mencari orang-orang yang berintegritas, harus mengetahui bagaimana kehidupan sehari-hari calon pimpinan dan Dewan Pengawas tersebut. Biasanya orang yang hidup sederhana dan bersahaja tidak akan silau terhadap keduniaan. 

Yang kedua, lihat laporan kekayaan, bandingkan dengan pendapatannya. Audit dan lihat pula dari mana asal kekayaannya. 
Ketiga hasil audit kekayaan tersebut cermati apakah garis lurus dengan kehidupannya.

Pencegahan, Penanggulangan dan Mengembalikan Keuangan Negara

Semua bentuk tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga bisa merusak sendi-sendi perekonomian negara. Akibat korupsi, total potensi kerugian negara sebesar Rp28,4 triliun pada 2023, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 19 Mei 2024.

Uang negara yang hilang harus dapat dikembalikan. Pengembalian uang ini merupakan bentuk hak negara dalam melaksanakan kewajibannya, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama lembaga negara lain sesuai konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Pengembalian keuangan negara sekarang ini dilakukan hanya kepada orang yang dianggap melakukan tindak pidana saja. Diajukan ke ranah hukum sampai tingkat penjatuhan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap oleh lembaga peradilan/judikatif. 

Hal ini sudah pasti tidak bisa mengembalikan kerugian negara yang besar akibat praktik-praktik korupsi yang sistematik dan luas. 

Saat ini praktik korupsi yang bisa dijaring atau diajukan ke ranah hukum berupa yang merugikan keuangan negara serta suap dan gratifikasi, yaitu Pasal 2, 3, 5, 6, 11, 12, 12A, 12B, dan 13 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001. Sementara praktik korupsi lainnya sesuai dengan Pasal 7 perbuatan curang dan Pasal 8, 9, 10, 15, dan 16 tentang perbuatan khianat, sepertinya belum tersentuh atau sangat sedikit sekali dibawa sampai ke meja hijau. Padahal praktik perbuatan curang dan khianat justru merugikan keuangan negara cukup besar walaupun mungkin secara tidak langsung.

Misal pemborong bangunan yang mengerjakan proyek pembuatan gedung pemerintahan dengan anggaran misalnya Rp100 miliar, karena pemborong tersebut ingin mendapat untung dan bisa memberi fee kepada pejabat terkait, anggaran yang digunakan untuk pembangunan hanya dipakai sekitar 75 % saja atau Rp75 miliar. Sementara para oknum pejabat atau oknum ASN yang diam saja, walaupun tahu kecurangan dilakukan oleh pemborong tersebut, karena mendapat jatah dari proyek tersebut. 

Kehilangan keuangan negara yang sangat banyak ini hanya bisa dikembalikan sebagian kecil saja. Hal itu tidak boleh dibiarkan karena uang negara yang hilang akan semakin besar.

Uang negara yang hilang bisa dikembalikan dengan cara meminta secara sukarela atau secara paksa. Hal ini bisa dilakukan karena para ASN dan pejabat, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah melakukan kecurangan dalam dinas atau bekerja. Kerugian negara yang diambil oleh ASN atau pejabat dapat dibuktikan lewat audit kekayaan. 

Bila audit kekayaan yang bersangkutan dengan cara membandingkan gaji, tunjangan, dan pendapatan yang sah tidak sesuai, berarti mereka melakukan praktik korupsi. Praktik korupsi mempunyai empat bentuk, yaitu merugikan kekayaan negara, dengan cara suap atau gratifikasi, perbuatan curang atau khianat. Dengan demikian kekayaan ASN atau pejabat yang bersangkutan harus dikembalikan baik secara sukarela maupun dengan cara dipaksa.

Bagaimana Caranya?

Pengambilan uang hasil korupsi bisa dengan cara mengaudit kekayaan, membandingkan harta kekayaan dengan gaji dan tunjangan yang sah serta pendapatan lain. Setelah diaudit jika ternyata jumlah harta kekayaan lebih besar dari keseluruhan gaji dan tunjangan serta pendapatan lain, kelebihannya itu adalah harta kekayaan yang tidak sah.

Pengembalian harta kekayaan yang tidak sah dapat dilakukan secara sukarela oleh ASN atau pejabat bersangkutan dengan memberikan rumus cara mengaudit harta kekayaan tersebut oleh yang bersangkutan. Apabila didapati ada harta tidak sah, ASN atau pejabat tersebut cukup mengembalikan 30 % (tiga puluh persen) saja dari harta kekayaan yang tidak sah tersebut.

Cara pengembalian kedua dengan mengaudit secara regular/berkala oleh auditor dari KPK. Apabila hasil audit didapati ada harta kekayaan yang tidak sah maka harus diambil sebanyak 60 % (enam puluh persen).

Cara pengembalian yang ketiga adalah merampas seluruh harta kekayaan tidak sah yang bersangkutan, tentunya setelah diaudit, bila yang bersangkutan terbukti bersalah.

Selanjutnya ASN atau pejabat publik pensiun atau berhenti dari pekerjaan juga harus diaudit. Jika kedapatan ada harta yang tidak sah maka harus diambil sebanyak 80 % (delapan puluh persen).

Inilah yang dimaksud dengan pengambilan harta kekayaan yang tidak sah dari ASN atau pejabat publik secara berjenjang.

Lalu bagaimana mengambil uang negara yang ada pada perusahaan atau  pengusaha yang curang atau nakal? Caranya dengan menelusuri rekam jejak hubungan antara oknum ASN atau oknum pejabat publik dengan perusahaan atau pengusaha. Setelah didapati perusahaan-perusahaan atau pengusaha-pengusaha yang curang atau nakal kemudian dilakukan audit forensic proyek-proyek apa saja atau usaha-usaha curang apa saja yang dilakukan. Kemudian dilakukan audit keuangan terhadap proyek-proyek yang telah dilakukannya. 

Setelah didapati nilai nominal dari praktik kecurangan tersebut maka negara akan merampas atau mengambil uang yang tidak sah tersebut seluruhnya. Namun apabila perusahaan atau pengusaha mau mengembalikannya secara sukarela tanpa diaudit lebih dulu, maka diperbolehkan mengembalikannya hanya 50 % (lima puluh persen) dari nilai nominal yang diambil secara tidak sah tersebut.

Apakah cara ini melanggar hukum atau melanggar hak asasi manusia? Tidak. Harta pejabat atau ASN pelaku korupsi yang diambil adalah kekayaan setelah diaudit. Bila hasil audit ternyata tidak sesuai atau melebihi gaji, tunjangan, atau penerimaan lain yang sah, maka dipastikan hasil korupsi. 

Cara-cara ini adalah bentuk dari pencegahan agar tidak terjadi korupsi, karena setiap pejabat/ASN yang akan dilantik harus melaporkan dulu kekayaannya dan akan diaudit kekayaannya secara pribadi dan berkala. Pada akhir menjabat pun akan diaudit. 

Editor: Anton Suhartono

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut