Penjelasan Kejagung soal Tak Ada Kata Oplosan di Dakwaan Kasus Korupsi BBM Pertamina
JAKARTA, iNews.id - Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan tidak adanya istilah atau diksi oplosan dalam dakwaan kasus dugaan korupsi pengelolaan minyak mentah PT Pertamina. Diketahui, sejak awal pengungkapan kasus ini disebutkan adanya dugaan pengoplosan jenis BBM yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna menyampaikan istilah oplosan tidak digunakan dalam produksi BBM. Adapun, istilah yang dipakai adalah blending atau pencampuran komponen bahan bakar dengan kadar oktan (RON) yang berbeda.
"Jadi memang gini, tidak ada istilah oplosan sekarang sebetulnya, kan blending-an. Ibaratnya blending-an dari RON 88 atau RON 92 yang memang dijual dengan harga di bawah, ya bahkan price, ya kan di situ," kata Anang di Gedung Kejagung, Jakarta, Jumat (10/10/2025).
Kendati demikian, kata dia, berkaitan dengan kasus ini, proses pencampuran atau blending yang dimaksud diduga disalahgunakan hingga akhirnya menimbulkan kerugian negara.
"(Jadi) istilahnya bukan oplosan, blending-an dan memang secara teknis memang begitu. Tidak ada istilah oplosan, blending," ujarnya.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan merugikan negara mencapai Rp285 triliun. Kerugian itu terkait kasus dugaan korupsi tata kelola produk kilang minyak mentah pada PT Pertamina subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Surat dakwaan itu dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2025).
Jaksa menjelaskan, kerugian itu terdiri dari kerugian keuangan negara dan kerugian perekenomian negara yang disebabkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan Riva bersama dengan mantan Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusuma; dan mantan Manajer Impor dan Ekspor Produk Trading pada Trading and other business Direktorat Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Edward Cone.
Adapun perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa termasuk berkaitan dengan penyimpangan dalam pengadaan produk impor kilang atau BBM dan penjualan solar nonsubsidi. Nilainya yakni 2.732.816.820,63 dolar AS atau setara Rp45,33 triliun dan Rp25.439.881.674.368,30 (Rp25 triliun).
"Kerugian tersebut merupakan bagian kerugian keuangan negara seluruhnya sebesar USD2,732,816,820.63 dan Rp25.439.881.674.368,30," kata jaksa, Kamis (9/10/2025).
Selain merugikan keuangan negara, jaksa menyebut perbuatan Riva dan kawan-kawan juga merugikan perekonomian negara. JPU menilai perbuatan Riva cs merugikan negara sebesar Rp171.997.835.294.293 (Rp171 triliun) dan 2.617.683.340,41 dolar AS atau setara Rp43,3 triliun.
"Kerugian perekonomian negara sebesar Rp171.997.835.294.293,00 yang merupakan kemahalan dari harga pengadaan BBM yang berdampak pada beban ekonomi yang ditimbulkan dari harga tersebut dan illegal gain sebesar sebesar USD2,617,683,340.41 berupa Keuntungan ilegal didapat dari selisih antara harga perolehan impor BBM yang melebihi kuota dengan harga perolehan minyak mentah dan BBM dari pembelian yang bersumber di dalam negeri," ujar dia.
Adapun jika ditotal, maka nilai kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara yang disebabkan oleh perbuatan Riva dan kawan-kawan mencapai Rp285 triliun.
Editor: Rizky Agustian