Perempuan: Melawan Stereotip dan Narasi yang Belum Usai
Narasi yang Tak Berujung
Hal-hal yang tak berujung bukan melulu soal kesedihan seperti lagu mendiang Glenn Fredly. Tetapi juga terkait narasi perjuangan perempuan akan kesetaraan, pemberdayaan, serta perlawanan terhadap kekerasan baik di ruang publik maupun di koridor domestik. Bagian ini bukanlah sekadar rangkaian bab dalam sejarah peradaban manusia yang suatu hari nanti akan diakhiri dengan epilog yang memuaskan, tetapi ini adalah narasi yang akan terus bergulir bahkan mungkin tidak berujung. Meski kemajuan-kemajuan kecil telah dicapai, kita harus menyadari bahwa akan selalu ada resistensi yang tidak kalah keras dan terus membuntuti.
Kesetaraan gender, sebagai cita-cita, sering dianggap sebagai tujuan yang bisa dicapai melalui reformasi hukum atau perubahan kebijakan, namun, realitasnya lebih kompleks. Kesetaraan bukan hanya tentang hak-hak yang diakui di atas kertas, tetapi juga tentang transformasi budaya, pola pikir, dan struktur sosial yang telah berabad-abad meminggirkan perempuan.
Di sini, kita berhadapan dengan tantangan yang lebih dalam, bagaimana mengubah narasi dominan yang telah mengakar dalam masyarakat, yang sering kali memposisikan perempuan sebagai subordinat, pelengkap, bahkan objek atau dalam bahasa Beauvoir yaitu "the Other".
Kekerasan terhadap perempuan, baik fisik, seksual, maupun psikologis, adalah manifestasi paling brutal dari ketidaksetaraan ini. Ia bukan hanya tindakan individu, tetapi juga produk dari sistem yang membiarkan, bahkan melanggengkan, kekerasan tersebut.
Perlawanan terhadap kekerasan ini tidak bisa hanya mengandalkan hukum yang lebih ketat atau hukuman yang lebih berat. Ia memerlukan dekonstruksi terhadap norma-norma sosial yang menormalisasi kekerasan, serta upaya kolektif untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan untuk bersuara dan bertindak.
Pemberdayaan perempuan, di sisi lain, sering kali dianggap sebagai solusi ajaib. Namun, pemberdayaan sejati bukan sekedar memberikan akses pendidikan atau membuka lapangan kerja, tetapi harus mencakup upaya dalam membongkar struktur kekuasaan yang mengekang. Perempuan tidak hanya butuh alat, tetapi juga kekuatan.
Akhirnya, perjuangan perempuan adalah perjuangan kemanusiaan itu sendiri. Ia adalah cermin dari bagaimana kita, sebagai masyarakat, menghargai martabat dan hak setiap individu. Dan seperti halnya kemanusiaan, perjuangan ini tidak akan pernah benar-benar usai. Ia akan terus bergulir, mengalir dan berdetak bersama denyut nadi zaman.
Editor: Anton Suhartono