Pola Kebijakan Pemeriksaan Saksi, Pimpinan KPK Tetap Dalam Koridor Hukum
JAKARTA, iNews.id - Rencana pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengubah kebijakan pemeriksaan saksi mengundang pro dan kontra. Sebagian kalangan mengkritik langkah itu karena dianggap menyalahi kewenangan pimpinan. Benarkah demikian?
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji berpandangan sebaliknya. Indriyanto menegaskan, secara hukum pimpinan KPK tetap penanggung jawab tertinggi atas kebijakan penegakan hukum di bidang penindakan korupsi, termasuk kebijakan prosesual di bidang penyidikan dan penuntutan yang di dalamnya mencakup tupoksi pemeriksaan saksi.
Indriyanto menuturkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK (UU KPK yang baru), pimpinan KPK tetap sebagai penyidik dan penuntut umum.
"Ada pihak yang memahami kekeliruan artifisial tentang hilangnya Pasal 21 ayat 4 UU KPK lama (Pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum). Dampaknya pemahaman ini terkesan menyesatkan pemahaman publik atas peran KPK dalam pemberantasan korupsi," kata Indriyanto, Rabu (29/1/2020).
Dia mengingatkan, eksistensi pimpinan KPK sebagai penyidik/penuntut umum sebaiknya dipahami secara bijak dan seutuhnya. Eksistensi itu jangan malah dimaknai secara parsial sehingga bisa terkesan provokatif .
"Memahami UU KPK Baru ini facet antara Hukum Pidana dengan Hukum Administrasi Negara, juga dengan Hukum Tata Negara. Jadi tidak bisa dibaca secara artifisial dan parsial saja, tetapi harus dimaknai dengan pemahaman seutuhnya karena pasal-pasal ini saling berkaitan pemaknaannya secara interdisipliner keilmuan," ucap Guru Besar Hukum Universitas Krisnadwipayana ini.
Indriyanto menjelaskan, dari sisi filosofi yuridis, pemahaman mengenai isu interdisipliner sebagai facet antara Hukum Pidana dengan Hukum Administrasi Negara (HAN) berarti pimpinan adalah pengendali dan penanggung jawab tertinggi atas kebijakan penegakan hukum dalam lingkup tupoksi di bidang penindakan pemberantasan korupsi.
Begitu pula karena itu jabatan Deputi Penindakan KPK berikut penyidik di bawahnya harus dimaknai sebagai pelaksana teknis atas pengendali kebijakan penegakan Hukum, dalam lingkup tupoksi di bidang penindakan pemberantasan korupsi.
Sebagai contoh disebutkan dalam Pasal 21 UU KPK Baru, komposisi KPK meliputi Dewan Pengawas, Pimpinan KPK dan Pegawai KPK.
"Memang benar tidak ada pasal yang menyebutkan bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan PU (penuntut umum), namun Pasal 6 huruf e dan f menyatakan KPK (salah satu komposisi KPK adalah pimpinan) bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi. Dalam pemahaman ini, Pimpinan KPK adalah Penyidik, Penuntut, dan Pelaksana Eksekusi," kata Indriyanto.
Dia melanjutkan, dilihat dari sisi kompetensi, tidak mungkin pimpinan KPK (yang bukan dari unsur Polri/Kejaksaan) berposisi sebagai penyidik, karena apabila sebagai penyidik, maka pimpinan KPK harus mengikuti persyaratan ikut dan lulus pendidikan di bidang penyidikan yang diselenggarakan oleh KPK bekerja sama dengan kepolisian dan/atau kejaksaan (Pasal 45A revisi) sehingga tidak sesuai atau memang dieksepsionalkan dengan levelitas pimpinan secara organisatoris.
Dengan demikian, kata dia, pimpinan KPK, walau tidak tercantum eksplisit, tetap sebagai pengendali dan penanggung jawab tertinggi atas kebijakan penegakan hukum yang harus diartikan secara Hukum Administrasi Negara bahwa secara ex officio, status pimpinan KPK tetap sebagai penyidik dan penuntut umum.
"Karenanya, kebijakan penindakan hukum termasuk kebijakan prosesual pemeriksaan saksi menjadi domain pimpinan KPK," ucapnya.
Menurut Indriyanto, dengan pemahaman tersebut, kewenangan pimpinan tetap yang menentukan dapat tidaknya laporan masyarakat berstatus sebagai penyelidikan hingga penetapan tersangka.
Artinya, kata Indriyanto, pimpinan KPK tetap berhak menandatangani surat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi dalam bentuk administrasi penindakan hukum. Inilah makna facet Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara dalam menjawab polemik tersebut.
Dia menyadari ada mis-interpretasi atas pemahaman pasal per pasal UU KPK yang baru. Namun, terpenting jangan sampai pasal-pasal yang ada diartikan secara a contrario sehingga mengandung pemahaman yang tidak perspektif, tendensius dan justru menimbulkan misleading opinion,
Justru, dengan adanya UU KPK Baru, pimpinan KPK tetap memiliki legitimasi hukum sebagai pengendali dan penanggung jawab tertinggi dari marwah kewenangannya atas penyelidikan, penyidikan, penuntutan, bahkan pelaksana eksekusi penetapan/putusan pengadilan.
"Jadi sangat tidak benar pendapat yang katakan seolah pimpinan KPK kehilangan marwahnya, turut campur prosesual dan kehilangan kewenangannya sebagai penyidik/penuntut umum. Operasionalisasi pimpinan KPK dalam status dan eksistensi sama dengan UU KPK yang lama," ujarnya.
Untuk diketahui, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan, pimpinan jilid V akan mengubah sistem pemanggilan saksi terkait sebuah perkara atau kasus. Ke depan, penyidik harus meminta izin terlebih dahulu kepada pimpinan KPK untuk memanggil seseorang yang ingin diperiksa sebagai saksi.
Perubahan ini karena pimpinan KPK tidak mau ada praktik pemanggilan saksi yang hanya didasarkan dari pertimbangan penyidik, tapi pimpinan harus mengetahui dalam kapasitas apa seorang saksi dipanggil.
"Ini juga untuk menghindarkan adanya pertimbangan subjektif penyidik terkait pemanggilan saksi," kata Nawawi dalam rapat kerja (Raker) bersama Dewan Pengawas KPK dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (27/1/2020).
Editor: Zen Teguh