Polemik Gas Elpiji 3 Kg: Komunikasi Kebijakan yang Prematur
Febi Ramadhani Rusdin, S.Sos, MI.Kom
Dosen Sains Komunikasi MNC University
PERUBAHAN kebijakan sering kali bukan sekadar soal teknokratis, tetapi juga menyangkut bagaimana kebijakan itu dikomunikasikan. Seperti yang kita lihat dalam polemik terbaru mengenai distribusi gas elpiji 3 kg, permasalahannya bukan hanya pada substansi kebijakan, tetapi juga pada cara penyampaiannya kepada publik.
Pemerintah melalui Kementerian ESDM mengubah mekanisme distribusi gas elpiji 3 kg dengan melarang penjualan di tingkat pengecer. Kebijakan ini sebenarnya bertujuan baik, namun diumumkan tanpa kesiapan yang memadai. Polemik ini bermula sejak ditemukannya harga gas elpiji 3 Kg yang dijual di atas harga semestinya.
Secara ekonomi, langkah ini masuk akal: subsidi yang selama ini digelontorkan oleh pemerintah memiliki dampak yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga mengantisipasi permasalahan gas elpiji 3 kg cenderung dinikmati kelompok yang tidak berhak.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen subsidi energi justru dinikmati kelompok ekonomi menengah ke atas. Jika subsidi ini bisa diarahkan dengan lebih baik, anggaran negara akan lebih efisien dan bisa dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih mendesak seperti pendidikan dan kesehatan.
Komunikasi Kebijakan yang Prematur
Kisruh gas elpiji 3 kg yang terjadi di berbagai daerah bukan sekadar masalah distribusi dan regulasi, tetapi juga permasalahan komunikasi kebijakan. Kebijakan pembatasan penjualan gas bersubsidi di tingkat pengecer sejak 1 Februari 2025 seharusnya tidak hanya difokuskan pada aspek teknis distribusi, tetapi juga bagaimana pemerintah mengelola persepsi publik terhadap kebijakan tersebut.