Polemik LHKPN dan Tes Psikologi Capim KPK, Ini Penjelasan Pansel
JAKARTA, iNews.id - Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memastikan seluruh proses seleksi capim KPK berjalan sesuai prosedur dan undang-undang yang berlaku. Mengenai tudingan adanya kelolosan capim yang tidak wajar, hal tersebut tidak benar dan sangat tidak rasional.
Penegasan tersebut disampaikan Wakil Ketua Pansel Capim KPK Indriyanto Senoadji merespons polemik tentang tes psikologi dan adanya capim KPK yang belum menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Mengenai tes psikologi atau psikotes, Indriyanto memastikan penilaian berdasarkan kecerdasan dan kepribadian calon.
”Uji psikotes ini dilakukan oleh outsourcing dan umumnya yang dilakukan penilaian soal kecerdasan dan kepribadian calon, sehingga jumlah kelolosan atau tidaknya sangat tergantung dengan hasil psikotest itu nanti. Jadi tidak bisa ditargetkan cutting lost-nya sebelum dilihat hasil akhir psikotes tersebut,” kata Indriyanto dalam keterangan tertulis, Selasa (30/7/2019).
Adapun mengenai LHKPN, Indriyanto yang pernah menjadi anggota pansel pertama Capim KPK dan tim perumus Undang-Undang KPK menjelaskan, secara prinsip LHKPN merupakan ketentuan UU KPK yang mengatur secara umum bagi semua penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaan mereka, bukan dan tidak terikat untuk non-penyelenggara negara.
Mengenai syarat capim pada Pasal 29 huruf k UU KPK yang terdapat makna “Mengumumkan”, ini harus diartikan laporan kekayaan itu wajib diumumkan oleh capim yang berasal dari penyelenggara negara maupun non-penyelenggara negara pada saat sudah ada penunjukan capim sebagai pimpinan definitif.
”Tidak mungkin pengumuman LHKPN pada tahap pendaftaran karena pasti melanggar prinsip diskriminatif dan equality bagi capim non-penyelenggara negara. Bahwa ada yg berpendapat lain dan berbeda adalah sesuatu yang wajar saja, sepanjang pendapat itu tidak vested interest,” ujarnya.
Sebaiknya, kata Indriyanto, pihak-pihak harus menyikapi secara elegan dan tidak menunjukkan sikap pro-kontra pendukungan capim dengan mendiskreditkan dan subyektif pada pihak-pihak tertentu dengan melempar wacana ke publik karena Pansel sudah menyediakan sarana masukan track record melalui media elektronik (website). Cara-cara skeptis seperti itu tidak elegan.
Indriyanto melanjutkan, dalam perspektif pengumuman setelah penunjukan definitif, Pansel dapat saja mempertimbangkan rekam jejak para calon, khususnya aspek integritas dan kepatuhan capim KPK yang sebelumnya menjabat sebagai penyelenggara negara maupun yang non- penyelenggara negara untuk melaporkan LHKPN. Namun alat uji primer juga menjadi pertimbangan Pansel dalam memutuskan sesuatu terkait capim.
”Selain itu, dalam praktek kontinuitas sejak Pansel Capim KPK periode 1 sampai dengan periode terakhir (2014), Pengumunan LHKPN sebagaimana Pasal 29 huruf k itu dilakukan oleh Capim KPK (yang berasal dari penyelenggara negara) saat capim ditunjuk sebagai pimpinan KPK secara definitif, bukan saat pendaftaran,” ujar Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia ini.
Saat pendaftaran, capim hanya membuat “Pernyataan Kesediaan untuk Mengumumkan Harta Kekayaan” yang tentunya akan dijalankan pada saat sudah ada penunjukan capim sebagai pimpinan definitif.
Indriyanto mengingatkan pada periode-periode pansel sebelumnya, masalah kapan pengumuman LHKPN tersebut tidak menjadi isu. Sebagai contoh pada periode Pansel 2014, hingga tahap akhir wawancara, Capim Saut Situmorang belum mendaftar LHKPN.
”Jadi isu pengumuman LHKPN sekarang ini sepertinya merupakan soal vested interest subyektif dari pihak-pihak tertentu saja,” ucapnya.
Indriyanto juga merespons tudingan tentang keppres dan tidak transparannya pansel. Menurut dia, tudingan itu bersifat relatif. Pada dasarnya, Pansel dengan tahapan-tahapan dan jadwal kegiatannya sudah memenuhi syarat dan mekanisme yang dimaknai oleh UU.
Sedangkan mengenai anggapan kelolosan capim yang tidak wajar, Indriyanto menilai pendapat itu tidak benar dan tidak rasional, karena soal lolos tidaknya capim itu akan menjadi pertimbangan dan penilaian objektif Pansel. Tetapi menjadi subjektif penilaian thd Pansel apabila kepentingan pihak-pihak tertentu tidak terakomodir oleh keputusan Pansel.
”Jadi memang ada pihak-pihak tertentu yang memilki vested interest yang tinggi dengan cara menebar isu secara silih berganti dan Pansel tetap fokus pada tugas dan tidak terpengaruh dengan penyebaran isu konvensional tersebut,” ucapnya.
Editor: Zen Teguh