Polemik Nikel di Raja Ampat, Greenpeace: Tak Boleh Ada Tambang di Pulau Kecil
JAKARTA, iNews.id - Greenpeace Indonesia menyoroti polemik tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Terbaru, pemerintah telah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan di wilayah tersebut.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas menuturkan, Pulau Manuran menjadi pulau yang kondisinya paling mengenaskan imbas aktivitas pertambangan.
"Kalau yang di Pulau Manuran itu udah hancur banget, kami menemukan video, itu limpasannya memang keliatan sekali karena itu pulau kecil. Jadi, limpasan airnya kalau musim hujan itu pasti ke pesisir," kata Arie dalam acara Interupsi yang ditayangkan di iNews, Kamis (12/6/2025).
Arie menuturkan, Kementerian Lingkungan Hidup (LH) juga menyebut pulau tersebut sulit untuk dipulihkan. Pasalnya, karakteristik nikel di Tanah Air berada di permukaan, dan jika tanah dikeruk, maka sulit untuk melakukan reklamasi.
"Jadi, kalau tanah diambil di pulau kecil itu tanah dari mana lagi untuk memulihkan? Makanya tambang berkelanjutan di pulau itu tidak mungkin, karena ore-nya diambil reklamasi mau diambil dari mana? Kalau ambil dari pulau lain gali pulau lain," tuturnya.
Dia menyebut, pemulihan Pulau Manuran membutuhkan waktu lama bahkan hingga ratusan tahun, meskipun deforestasi terbesar terjadi di Pulau Gag hingga mencapai 300 hektare dari total 500 hektare di wilayah Raja Ampat.
"Maka yang jadi persoalan sekarang pemulihannya itu Pulau Manuran bisa ratusan tahun. Deforestasi udah habis, udah gundul. Jadi, dari tiga pulau itu deforestasi ada sekitar 500 hektare ya, yang paling besar ada 300 hektare di Pulau Gag, kemudian Pulau Manuran dan yang sedang terjadi sekarang di Pulau Kawe," ucapnya.
"Lagi-lagi deforestasinya dibanding pulau besar itu mungkin berbeda, tapi deforestasi di pulau kecil itu makanya prinsip kehati-hatian sangat penting," tuturnya.
Editor: Aditya Pratama