Pustakawan Aktif, Inisiatif dan Komunikatif dalam Bisnis Perpustakaan
Dr Agus Rusmana MA.
Dosen pada Program Studi Ilmu Perpustakaan Unpad;
Pengamat Pustakawan.
PERPUSTAKAAN sebagai sebuah lembaga hanyalah tempat menyimpan dan menyediakan bahan pustaka dalam berbagai format, mulai dari lembaran buku dan dokumen tercetak, sampai dengan ribuan jurnal elektronik. Walaupun semua itu sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, bahan pustaka itu hanyalah benda mati yang tidak bisa menunjukkan kebermanfaatannya.
Agar segala isi dan kelengkapannya memiliki guna dan manfaat, dibutuhkan seorang yang sangat ahli dan terampil serta berpengetahuan tinggi untuk mengelola semua bahan pustaka itu agar berguna untuk sumber pengetahuan dan sumber pengambilan keputusan. Seseorang itu adalah pustakawan. Pustakawanlah yang dengan banyak keterampilannya mampu menggerakan semua komponen perpustakaan untuk dapat memberikan layanan informasi dan ilmu pengetahuan kepada anggota masyarakat yang membutuhkan.
Pemberian layanan informasi dan ilmu pengetahuan hanyalah salah satu peran pustakawan sebagai seorang ahli dalam mengelola kepustakaan. Masih banyak peran penting lain yang yang dituntut untuk dilakukan, mulai dari melakukan kajian pemustaka, menghimpun dan menyeleksi bahan pustaka, menyediakan dan menyajikan bahan pustaka dalam berbagai format, sampai membuat lembaga perpustakaan menjadi “rumah kedua” bagi masyarakat.
Peran yang lebih besar dari itu yakni sebagai pengelola pengetahuan (knowledge manager) yang mempertemukan pemilik pengetahuan dengan pengguna pengetahuan, merekam pengetahuan dari gagasan pemikiran yang awalnya masih berada dalam kepala seorang individu atau kelompok. Ringkasnya pustakawan adalah penelusur, penghimpun, pengolah, pemelihara dan penyebar warisan budaya (dalam bentuk pengetahun) sebuah bangsa.
Karakter Ideal Pustakawan
Untuk dapat menjalankan peran-peran besar dan penting, pustakawan tidak cukup hanya memiliki keterampilan teknis mengelola bahan pustaka di perpustakaan tempat dia berkarya. Pustakawan harus memiliki karakter ideal, yaitu terbuka, kreatif, komunikatif, peduli, ingin maju, dan berpikir positif. Dengan karakter ideal ini akan ada jaminan bahwa lembaga perpustakaan yang dikelola akan mampu berperan sebagai pemelihara dan penerus kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Mengapa karakter ideal ini harus dimiliki? Bukankah pengelolaan perpustakaan hanyalah sebuah tindakan teknis dan operasional? Mengapa perpustakaan harus berkarakter aktif, inisiatif, komunikatif dan kreatif?
Pertanyaan ini selalu muncul ketika pustakawan menempatkan diri sebagai bagian dari sistem perpustakaan dengan penerjemahan filosofis “keliru” tentang perpustakaan sebagai lembaga sosial dan non-profit oriented, yang berarti bahwa perpustakaan tidak boleh mengambil keuntungan (terutama finansial) dari layanan pustaka yang diberikan kepada pengunjungnya.
Pertanyaan ini kemudian dilanjutkan oleh pertanyaan filosofis keliru lagi: Mengapa perpustakaan harus populer? Mengapa harus banyak pengunjungnya? Mengapa harus dipasarkan? Mengapa pemustaka harus dilayani dengan istimewa? Apa untungnya melakukan semua usaha ini?
Jika menggunakan dasar pengalaman dan pengamatan pada kondisi operasional perpustakaan di Indonesia yang selama ini dijalankan secara konvensional sebagai penyedia koleksi pustaka, pertanyaan ini wajar sekali muncul karena memang tidak pernah ada korelasi positif antara banyaknya kunjungan ke perpustakaan, banyaknya koleksi yang dibaca dan dipinjam, dengan besarnya dukungan finansial yang masuk ke perpustakaan, baik dana untuk belanja koleksi dan fasilitas, atau besarnya penghasilan seorang pustakawan.
Hampir tidak ada peristiwa manajemen sebuah perpustakaan menaikan gaji pustakawannya karena berhasil membuat pengunjungnya semakin banyak dan jumlah koleksi yang dipinjam semakin meningkat. Anggaran yang diberikan untuk pengelolaan perpustakaan tidak pernah didasari untuk membuat perpustakaan menjadi populer dan banyak dikunjungi, melainkan lebih didasari oleh sistem anggaran yang menempatkan perpustakaan sebagai sebuah kantor administrasi, dan bukan sebuah pusat layanan publik. Pemikiran filosofis konvensional ini akhirnya terinternalisasikan dalam pola pikir dan tindakan pustakawan yang berkarya secara konvesional.
Perpustakaan memang bukan lembaga berorientasi keuntungan finansial, tetapi tidak berarti perpustakaan boleh sunyi sepi. Perpustakaan harus populer dan banyak dikunjungi serta koleksinya banyak dibaca dan digunakan. Perpustakaan harus menjadi rumah kedua bagi masyarakat, yaitu masyarakat selalu menempatkan kunjungan ke perpustaakan pada prioritas ke dua setelah rumah dan sebelum kunjungan ke tempat lain.
Tingginya kunjungan ke perpustakaan dan tingginya akses pada koleksi pustaka bukan diusahakan demi keuntungan perpustakaan dan pustakawan tetapi karena karena tanggung jawab terbesar perpustakaan adalah membuat seluruh informasi dan ilmu pengetahuan (sebagai hasil kebudayaan) yang dimiliki perpustakaan, dapat tersebar dan terwariskan dengan lengkap dan meluas kepada anggota masyarakat (yang ini disebut amal ibadah).
Untuk itu pustakawan harus berusaha untuk membuat anggota masyarakat untuk dapat sebanyak mungkin memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan yang tersedia agar mereka mampu meningkatkan kualitas hidup melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan.
Pustakawan Aktif dan Inisiatif Komunikatif
Pustakawan harus memperlakukan perpustakaan sebagai “lembaga bisnis” dan memperlakukan pemustaka sebagai customers dengan cara aktif menawarkan produk dan layanan perpustakaan agar mereka secara loyal terus memanfaatkan semua produk yang dilayankan oleh perpustakaan.
Dengan pemikiran ini pustakawan dituntut aktif memperkenalkan perpustakaan tempatnya berkarya kepada masyarakat agar mereka kenal betul apa yang menjadi keistimewaan perpustakaan dan manfaat apa yang akan mereka peroleh (perubahan pada diri pelanggan) dengan memanfaatkan perpustakaan.
Pustakawan juga tidak boleh menunggu minat baca masyarakat tumbuh dengan sendirinya, tetapi berinisiatif menumbuhkan minat baca masyarakat. Karakter aktif dan inisiatif ini semakin dibutuhkan ketika perpustakaan harus bersaing dengan kehadiran media sosial yang dengan dukungan internet telah mampu menyediakan informasi terkini yang dinilai oleh masyarakat lebih mudah dan cepat digunakan yang menurut beberapa pengamatan, semakin menjauhkan masyarakat dari perpustakaan.
Sudah sejak lama tuntutan agar pustakawan menjadi sosok komunikatif dan menggunakan prinsip pemasaran, seperti yang disampaikan oleh David King dalam tulisannya tentang "transferring corporate service philosophy to a library setting" (Library and Information Science Research 1996) menyatakan, perpustakaan sudah saatnya menggunakan konsep layanan perusahaan di mana pelanggan dilayani dengan tepat agar merasa senang dan terus bersedia menggunakan jasa layanan seperti membeli dari perusahaan.
Prinsip “pembeli adalah raja” tidak lah tabu untuk diterapkan di perpustakaan karena kepuasan pengunjung perpustakaan menjadi tujuan utama dari seluruh aktivitas di perpustakaan. Tanpa ada orang yang memanfaatkan, semua koleksi dan layanan perpustakaan tidak akan bermakna apa-apa sama sekali.
Kemampuan komunikasi seorang pustakawan harus mencakup seluruh bentuk, yaitu komunikasi verbal berupa ucapan dan tulisan, dan komunikasi nonverbal berupa gerak tubuk (gesture), lambang yang bermakna, dan penampilan yang mampu memperlihatkan bahwa pustakawan itu cerdas. Dengan kemampuan komunikasi ini, kepercayaan pada pustakawan akan menjadi sangat tinggi sebagai orang yang akan mampu memberikan solusi untuk masalah mereka melalui penyediaan informasi dan ilmu pengetahuan.
Sebenarnya setiap pustakawan telah memiliki keterampilan berkomunikasi, namun dengan beberapa latihan tentang teknis berkomunikasi, keterampilan tersebut akan semakin terasah dan pada gilirannya keterampilan berkomunikasi ini bukan hanya akan menyenangkan pengunjung perpustakaan, tetapi juga akan meningkatkan rasa percaya diri pustakawan. Terpenting dari semua itu yakni berubahnya citra pustakawan dari sosok yang pendiam dan membosankan, menjadi sosok yang pandai bicara dan menyenangkan.
Pustakawan Kreatif Jadikan Perpustakaan Inspiratif
Seperti juga pustakawan, perpustakaan dinilai oleh sebagian besar masyarakat sebagai tempat yang tidak menarik, suram dan membosankan. Kondisi ini diduga menjadi salah satu penyebab rendahnya kunjungan ke perpustakaan. Kemudian juga perpustakaan tidak bisa memaksa siapapun untuk datang mengunjungi seperti halnya kantor kecamatan atau puskesmas, yang walaupun tidak menarik, dapat memaksa warga untuk datang karena ketergantungan pada layanan satu-satunya tersebut.
Perpustakaan harus diupayakan dengan keras agar dapat menarik dan menumbuhkan kebutuhan masyarakat sehingga mereka ingin datang berkunjung tanpa harus dipaksa. Kerja keras dan kreativitas pustakawan semakin dituntut ketika konsep transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial digulirkan, d imana perpustakaan harus mengubah diri agar dapat menjangkau seluruh lapisan dan jenis masyarakat pemustaka.
Kreativitas pustakawan masih sangat diperlukan untuk menciptakan perpustakaan sebagai pusat ilmu pengetahuan dan informasi yang menarik dan menyenangkan, bahkan seharusnya, membanggakan untuk dikunjungi. Pustakawan harus mampu membuat perpustakaan menjadi menjadi landmark, atau lebih hebat lagi, menjadi icon sebuah kota.
Dengan gambaran itu, pustakawan harus terus berkreasi membuat mebuat perpustakaan menjadi tempat yang mudah ditemukan dan dilihat (dengan aplikasi google, waze dan sejenisnya), meningkatkan popularitas dengan aktif memanfaatkan media sosial.
Dengan kreativitas dan kerjasama antar pustakawan karena usaha membuat perpustakaan berkualitas ini merupakan tanggung jawab bersama semua pustakawan, diharapkan perpustakaan dapat menjadi bagian hidup masyarakat dan mendapat positioning sebagai tempat ditemukannya ilmu, pengetahuan dan sumber informasi untuk pengambilan keputusan.
Editor: Zen Teguh