Raffi Ahmad dan Urgensi Influencer dalam Komunikasi Publik
Arif Budiwinarto, MIKom
Dosen Ilmu Komunikasi STABN Sriwijaya Tangerang
PEMERINTAH Indonesia telah memulai program vaksinasi Covid-19 tahap pertama pada 13 Januari 2021. Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama yang disuntik vaksin Sinovac, diikuti sejumlah menteri dan tokoh-tokoh agama.
Acara yang berlangsung di Istana Merdeka, Jakarta, juga menghadirkan selebritas Raffi Ahmad. Keikutsertaan Raffi sebenarnya sudah diketahui publik melalui berita-berita di media massa nasional beberapa hari sebelumnya. Namun, tetap saja tidak sedikit yang mempertanyakan, “kenapa harus Raffi?”.
Raffi bukan selebritas pertama yang dilibatkan pemerintah dalam upaya mengomunikasikan pesan kepada publik mengenai suatu program. Pada Juni 2020, Presiden Joko Widodo pernah mengundang sejumlah musisi dan pelaku seni peran ke Istana Negara, meminta mereka ikut mengampayekan imbauan #tetapdirumah serta menjalankan protokol kesehatan di tengah pandemi.
Bila melihat fakta tersebut, tampak jelas pemerintah berupaya mendorong partisipasi publik menggunakan selebritas atau influencer. Dalam perspektif kajian komunikasi, celebrity endorsement merupakan praktik penggunaan figur-figur populer (artis, supermodel, dan lain-lain) untuk mempromosikan sebuah produk, merek, atau layanan tertentu (Schouten dkk, 2020). Berbagai penelitian menunjukkan, penggunaan figur-figur populer itu sangat efektif dalam penyampaian pesan promosi pada masyarakat luas.
Agendanya jelas, pemerintah berupaya mengatasi isu-isu liar memanfaatkan popularitas tokoh publik. Sebab, program vaksinasi bukan berarti tanpa polemik. Di awal kedatangan 1,2 juta vaksin Sinovac di Indonesia pada 6 Januari lalu, masyarakat hampir setiap hari dibanjiri informasi mengenai vaksin, mulai dari meragukan tingkat efikasi vaksin yang dibeli, bahan baku vaksin, sampai teori konspirasi yang menyebut vaksin sebagai alat pengendali populasi manusia oleh elite global.
Idealnya, pemerintah membutuhkan iklim yang positif--termasuk di dalamnya dukungan masyarakat Indonesia--agar program vaksinasi bisa berjalan sesuai rencana. Vaksinasi, berlangsung dalam empat tahap hingga Maret 2022, masuk dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diharapkan mampu mengerem laju infeksi Covid-19 di Indonesia yang terbilang tinggi. Menurut data yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan saat tulisan ini dibuat, lebih dari 920.000 orang Indonesia terinfeksi Covid-19 serta 25.690 meninggal dunia.
Memunculkan Masalah Baru
Ada sejumlah parameter yang menentukan kompatibilitas antara brand image dan selebritas seperti popularitas, daya tarik fisik, kredibilitas, prior endorsement, status user selebritas terkait brand, profesi, kesesuaian selebritas dengan citra brand, target audiens dari selebritas, nilai yang melekat pada selebritas, biaya, kecocokan produk dan risiko kontroversi (McCraken, 1987). Jika sejumlah parameter tersebut tak dapat terpenuhi secara proporsional, maka yang terjadi adalah kegagalan komunikasi serta berpotensi menimbulkan permasalahan baru.
Inilah yang kemudian terjadi pada Raffi Ahmad. Sehari selang setelah divaksin, foto-foto artis 33 tahun tengah berpesta tanpa memperhatikan protokol kesehatan viral di jagad media sosial. Media massa juga tak kelewatan menjadikannya pemberitaan.
Kesal dengan sikap Raffi yang dinilai memberikan contoh buruk, warganet ramai-ramai mengkritik di kolom komentar akun media sosialnya atau melalui tulisan di akun pribadi. Tindakan Raffi dikhawatirkan membentuk persepsi publik bahwa vaksin bisa mengembalikan kehidupan normal secara instan. Padahal, setelah divaksin masih harus tetap menjalankan protokol kesehatan sebagai instrumen pendukung menekan penyebaran Covid-19.
Data yang diperoleh dari Binokular menunjukkan di Twitter 94 persen sentimen yang mengemuka adalah negatif sepanjang 4-15 Januari, sedangkan 6 persen netral. Sentimen negatif kompak menyinggung, entah kealpaan atau ketidaktahuan Raffi, mengenai waktu efektif vaksin bekerja serta vaksin tidak menjamin seseorang bisa terhindar dari Covid-19. Padahal, Raffi masih harus mendapat suntikan kedua setelah 14 hari dari suntikan pertama.
Raffi memang sudah memberikan klarifikasi serta menyampaikan permintaan maaf, begitu juga Kantor Staf Presiden (KSP) sebagai pihak yang menggaet Raffi. Namun, langkah tersebut tak cukup membendung narasi-narasi hujatan dan sentimen pada pemerintah yang melibatkan influencer dalam program krusial seperti vaksinasi.
Jumlah berita mengenai kontroversial Raffi naik tajam menjadi 632 berita. Mayoritas dari media online. Sentimennya masih didominasi sentimen positif, namun tak menutup kemungkinan berita-berita tersebut bersifat false positive (judul/headline ber-tone positif sehingga salah dibaca oleh mesin). Lebih dari separuh berita daring bersentimen positif (59%). Berita positif diisi oleh liputan permohonan maaf yang dilakukan oleh Raffi Ahmad sedangkan berita negatif (35%) dan netral (6%) meliput dan mengkritik pesta Raffi dkk.
Yang terjadi kemudian adalah pesan utama program vaksinasi justru terdistraksi dengan pembahasan dan pemberitaan berputar pada sikap dan persona seorang Raffi Ahmad serta konsekuensinya.
Kualitas Hasil Mutu dan Pola Hubungan
Kasus di atas harusnya menjadi masukan dan bahan evaluasi pemerintah dalam melakukan komunikasi publik melibatkan selebritas. Citra diri seorang publik figur dalam hal ini selebritas memang menjanjikan sorotan luas, serta mampu mentransmisikan pesan kuat pada masyarakat, yang pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan partisipasi khalayak pada program-progam pemerintah, termasuk vaksinasi.
Namun, kontradiksinya seorang selebritas tetaplah manusia biasa, tentunya setiap perilakunya akan jadi perhatian bahkan tidak menutup kemungkinan memunculkan kontroversi.
Sebelum menggaet seorang influencer sebagai instrumen komunikasi publik, terlebih dalam upaya mengembalikan kepercayaan maupun menjaring partisipasi publik, pemerintah perlu memetakan dua poin yakni kualitas hasil mutu dan pola hubungan (Syarifuddin, 2016).
Kualitas hasil mutu erat kaitannya dengan integritas seorang influencer sebagai pembawa pesan komunikasi yang diembankan serta tanggung jawab sosial sebagai tokoh publik. Poin integritas memang aspek personal, namun pemerintah dalam hal ini user harus terlebih dulu perlu mengedukasi serta menentukan perimeter sikap dan perilaku seorang influencer dalam menjalankan perannya sebagai instrumen komunikasi publik pemerintah.
Sedangkan, aktivitas dan pola hubungan dengan individu, jaringan dan sumber daya di luar instansi dengan cara memperlihatkan tanggung jawab merupakan pola dasar yang perlu ditekankan dan melekat pada seorang influncer sebagai komunikator publik.
Editor: Zen Teguh