Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Filosofi Emas Trofi Soekarno Cup 2025: Simbol Gotong Royong dan Semangat Pemuda Indonesia
Advertisement . Scroll to see content

Republik yang Didirikan Pecinta Buku

Selasa, 27 Oktober 2020 - 23:59:00 WIB
Republik yang Didirikan Pecinta Buku
Republik Indonesia didirikan oleh para pecinta buku. Tak disangsikan lagi, Soekarno dan Mohammad Hatta adalah pembaca buku paling ambisius. (Foto: Perpusnas)
Advertisement . Scroll to see content

Dr Joko Santoso
Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Perpusnas RI

INDONESIA adalah republik yang didirikan oleh para pecinta buku. Bahkan, jika para pendiri republik ini bukan pecinta buku, barangkali kita tidak pernah merdeka. Mereka para perintis dan pejuang itu tidak hanya aktif dalam pergerakan, tetapi juga masif dalam menciptakan narasi kemerdekaan.

Tan Malaka dan buku blue print Republik Indonesia

Naar de Republiek Indonesia adalah karya terpenting Tan Malaka.  Karya ini mengukuhkan peran Tan Malaka sebagai konseptor pertama negara Republik Indonesia. Buku ini terbit pada tahun 1925, atau tiga tahun sebelum terjadi peristiwa Sumpah Pemuda 1928, yang berikrar tentang satu nusa, satu bangsa dan menjunjung bahasa persatuan Indonesia. Naar de Republiek Indonesia merupakan buku yang berisi tentang rancangan Republik Indonesia.

Dalam buku itu dibahas mengenai bentuk Negara, hingga struktur pemerintahan. Daya nalar Tan Malaka untuk merencanakan sebuah tata pemerintahan Indonesia  yang merdeka bahkan melampaui jamannya. Buku Naar de Republiek Indonesia terbit jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, 1945. Tulisan ini juga lebih awal dibanding karya Mohammad Hatta, yang berjudul Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka pada 1933. 

Jika pada buku Naar de Republik Indonesia, Tan Malaka telah menciptakan pijakan konsepsional bagi lahirnya Republik Indonesia yang merdeka. Segera di awal tahun 1926, menyusul buku Tan berikutnya, Masa Actie. Buku itu ditulis dan diterbitkan diam-diam dari tempat  persembunyiannya di Geylang Serai, Singapura. Buku sepanjang 129 halaman ini disambut penuh gairah oleh kalangan nasionalis. Situasi memang sedang panas saat itu, gerakan antikolonialisme menggeliat di Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya di Hindia Belanda.

Massa Actie adalah minyak tanah yang membuat percik-percik perlawanan pada kolonialisme makin berkobar. Massa actie ini semacam buku panduan yang mengungkap sejarah ringkas akan arti sebuah imaji kedaulatan bernama Indonesia. Di dalam Massa Actie, Tan membongkar takhayul bangsa jajahan dan mentalitas kuli. Tan Malaka menunjukkan kejahatan imperialisme, menyodorkan arti revolusi, dan membimbing bagaimana kekuatan rakyat bisa dimanfaatkan untuk mencapai tujuan besar.

Massa Actie adalah cetak biru revolusi massa menuju Indonesia merdeka. Bahkan Tan memperkenalkan kepada sesama rakyat di negeri terjajah akan pentingnya persatuan di bawah bendera Federasi Republik Indonesia, yang merupakan gabungan Indonesia Selatan, tempat bercokolnya Hindia Belanda, dan Indonesia Utara, alias Filipina, yang dijajah Amerika. Termasuk Semenanjung Malaka, yang ada di bawah kuasa Inggris.

”Mari kita satukan 100.000.000 yang tertindas dan mendiami pusat strategi dan lalu lintas seluruh benua Asia dan samuderanya,” Tan menulis.

Tak pelak, buku Massa Actie menjadi bacaan wajib Soekarno, Hatta, Sjahrir, Soekarni, Soebardjo, Hadidjojo Nitimihardjo dan para aktivis pendiri republik lainnya. Bahkan, seorang pemuda bertubuh ceking berwajah tirus bernama Wage Rudolf Supratman menggubah dan memainkan lagu Indonesia Raya terinspirasi dari bagian akhir buku Massa Actie. W.R. Supratman memasukkan kalimat ”Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk ”Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan antara lain menulis, ”Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri…. Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”

Sutan Sjahrir dan buku pinjaman yang tak kembali

Republik ini didirikan oleh para penggila buku. Pada 1930, Sjahrir menempuh pendidikan tinggi di Universitas Leiden, Belanda. Dia mengambil jurusan hukum adat Hindia. Di Leiden, Sjahrir kerap meminjam buku tentang kajian negeri Hindia (Indologi) kepada seniornya Joss Riekerk. Joss yang mengambil jurusan Indologi merupakan rekan Sjahrir di perkumpulan mahasiswa sosialis.

Beberapa tahun kemudian. Sjahrir pulang ke Indonesia dan menjadi aktivis pergerakan bersama Hatta. Ketika Sjahrir berada dalam pengasingan di Banda Neira, Joss sudah bertugas di Pulau Sumba sebagai pegawai kolonial. Saat itulah Joss dibuat repot oleh ulah Sjahrir. “Saya masih terus disibukkan dengan nota-nota, surat-surat dari Perpustakaan Leiden yang meminta agar saya mengembalikan buku-buku itu, atau membayar dendanya,” ujar Joss Riekerk kepada Mrazek dalam wawancara pada 15 Oktober 1983.  Rudolf Mrazek menuangkan hal itu dalam biografi Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, 1996.

Sejak menempuh pendidikan MULO di Medan, Sjahrir menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan. Sebagai pembaca buku yang bersemangat, dia tentu saja membaca banyak sekali buku saat itu. Tapi dia juga gemar kegiatan-kegiatan rekreasi, dari mulai musik dan terutama sepakbola. Saat hijrah ke Bandung pada 1926, meneruskan sekolah di AMS, Sjahrir kembali melanjutkan hobinya bermain bola.

Selain menempa diri di bidang organisasi dan mulai meniti pengalaman di bidang politik, hari-hari Sjahrir di Bandung juga diwarnai dengan aktivitas bermain bola. Si Bung Ketjil di Bandung menghidupi dirinya sendiri dalam berkegiatan. Sjahrir dan kawan-kawannya membuka semacam toko koperasi yang menjual barang kerajinan yang hasilnya digunakan untuk membiayai perpustakaan, teater dan tentu saja klub sepakbola.

Setelah kemerdekaan, Sjahrir menjadi Perdana Menteri pertama Republik Indonesia. Hal ini diungkapkan Rudolf Mazrek, dalam buku Politics and Exile in Indonesia, 1994.

Soekarno pelahap karya besar pujangga dunia

Republik ini didirikan oleh para pecinta buku. Tak disangsikan lagi, Soekarno adalah pembaca buku paling ambisius. Soekarno, pada usia 16 tahun telah melahap habis berbagai karya besar dunia. Dia mengagumi Thomas Jefferson dengan Declaration of Independence yang ditulis tahun 1776. Di usia belia tersebut, Ia telah paham betul gagasan George Washington, Paul Revere, hingga Abraham Lincon. Semuanya ia pelajari dari membaca. 

"Aku gemar sekali belajar, gemar membaca. Sampai, boleh dikatakan, aku kadang-kadang meninggalkan pelajaran-pelajaran di sekolah, waktunya aku pakai untuk membaca buku-buku politik, yang tidak diajarkan di sekolah kepada saya. Aku membaca sejarah dunia, aku membaca sejarah bangsa-bangsa, aku membaca kitab-kitab tentang gerakan kaum buruh, aku membaca tentang gerakan Islam. Jadi, aku ini gemar membaca, oleh karena aku anggap perlu untuk mengisi otakku, mengisi pikiranku, mengisi semangatku selebar-lebar mungkin. Jendela terbuka, ide-ide itu masuk di dalam ingatanku, pikiranku itu," ujar Bung Karno.

Demikian gandrungnya Bung Karno dengan dunia ide melalui buku-buku bacaan. Pikiran-pikiran besarnya bersumber dari buku-buku yang dibacanya. Dan itu telah mengantarnya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Suatu ketika, pada tahun 1950-an, sewaktu baru pindah ke Yogyakarta, anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) bertugas mengambil koran supaya tidak terlambat dibaca Bung Karno. Di kemudian hari pengiriman koran berjalan cukup lancar, sehingga anggota DKP cukup memeriksa jumlah koran supaya tidak kurang. Kalau kurang, Bung Karno pasti menanyakan.

Koran yang dibaca Sukarno, antara lain, Merdeka, Suluh Indonesia, Duta Masyarakat, Pedoman, Indonesia Raya, Sinpo, juga buletin dari kantor berita Antara. Pagi-pagi sekali, surat kabar tersebut harus sudah ada di atas meja Bung Karno. Bahkan, bila Bung Karno sedang pergi ke kamar kecil sebagian koran-koran itu dibawa serta. Demikkan dituturkan Mangil Martowidjojo, bekas komandan DKP, dalam buku Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967. Nampaknya, melalui koran Bung Karno mencermati dinamika sehari-hari yang sedang terjadi di masyarakat.

Mohammad Hatta istri pertamanya buku 

Republik ini didirikan oleh para pecinta buku. Mohammad Hatta mulai mengoleksi buku sejak masuk sekolah dagang menengah Prins Hendrik School (PHS) di Batavia tahun 1919. Ketika itu ia diajak pamannya, Mak Etek Ayub, singgah di sebuah toko buku antiquariat di daerah Harmoni.

Mak Etek Ayub menunjukkan kepada Hatta beberapa buku yang dianggapnya penting untuk dibaca. Buku-buku tersebut adalah Staathuishoudkunde (Ekonomi Negara) dua jilid karya NG Pierson, De Socialisten (Kaum Sosialis) enam jilid yang ditulis HP Quack, serta karya Bellamy berjudul Het Jaar 2000.

Menurut Hatta, "Inilah buku-buku yang bermula kumiliki yang menjadi dasar perpustakaanku." Kegandrungan kepada buku diperlihatkannya dengan membawa pulang 16 peti berisi buku-buku dan hanya satu koper pakaian, saat tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, setelah 11 tahun tinggal di Belanda.

Begitu banyak jumlah buku yang dibawa pulang, menghabiskan waktu selama tiga hari untuk menyusunnya pada tempat tinggal barunya di Batavia, tahun 1932. Setelah kemerdekaan, koleksi buku-buku pribadinya mencapai lebih dari 10.000 judul dalam bahasa Jerman, Belanda, Perancis, Inggris dan Indonesia. Ribuan buku tersebut berjajar di rak-rak tinggi hampir mencapai langit-langit, merapat dinding lantai satu rumahnya di Jalan Diponegoro 57, Jakarta. Ratusan lainnya memenuhi sejumlah lemari kaca di ruang kerja Bung Hatta di lantai dasar.

Hatta dikenal sebagai orang yang zakelijk, luar biasa disiplin, dan pecinta buku kelas berat. Soal buku-buku itu pula yang sering menjadi parodi tentang Hatta yang paling kerap diulang. Apalagi kalau bukan soal 16 peti buku koleksinya yang ia bawa dari Belanda, lalu ke Batavia, diangkut lagi ke Boven Digul ketika dibuang ke sana, masih tak lekang dibawa ketika dipindah-buangkan ke Banda Neira, kembali lagi ke Batavia, dan kemudian ke Bangka. Bayangkan16 peti.

Saking banyaknya, ketika baru tiba di Digul, teman sesama buangan, Moh. Bondan namanya, sampai tak tahan berseru; “Anda ke sini dibuang apa mau buka toko buku?”

Selepas dibuang ke Bovem Digul oleh pemerintah kolonial Belanda, Hatta dibuang ke Banda Neira. Sewaktu akan kembali ke Batavia, Sjahrir ingin mereka membawa serta anak-anak angkat mereka, adik-beradik Des Alwi yang jumahnya 6 orang. Tapi pesawat mereka rupanya tidak kuat membawa setengah lusin anak dan 16 peti buku. Harus pilih salah satu untuk ditinggalkan.

Sjahrir ngotot bawa anak, Hatta sendiri bisa ditebak, tentu saja pilih buku yang sudah melanglang dua pertiga luas dunia itu. Walau akhirnya Hatta mengalah, syaratnya sungguh mengesalkan, Des Alwi tidak jadi diajak agar bisa menjaga buku-buku itu sampai semuanya tuntas dikirim ke Batavia.

Buku juga mahar perkawinan Mohammad Hatta dengan Rahmi Rahim. Bertempat di sebuah Villa di kawasan Megamendung Bogor pada 18 November 1945. Bung Hatta resmi menikahi Rahmi Rahim. Kala itu usia mereka terpaut cukup jauh, Bung Hatta berusia 43 tahun sementara Rahmi 19 tahun.

Tidak seperti pernikahan lainnya, sang Proklamator ini menjadikan buku filsafat karyanya, berjudul Alam Pikiran Yunani sebagai mas kawin. Pilihan mas kawin ala Bung Hatta tidak terlepas dari kecintaannya terhadap buku dan pengetahuan. Ia menganggap mas kawin berupa sebuah buku hasil pemikirannya sendiri, jauh lebih berharga dibandingkan dengan harta benda lainnya.  Bahkan di antara rekan sejawatnya, Bung Hatta kerap mendapat olokan bahwa buku adalah “istri pertama” sedangkan Rahmi “istri kedua”.

Muhammad Yamin penyair, penulis dan kongres pemuda

Republik ini didirikan oleh para pecinta buku. Semangat ke-Indonesiaan kuat disuarakan sejak Kongres Pemuda I pada 30 April-2 Mei 1926. Saat itu, pada hari akhir Kongres Pemuda II, Mr Sunario, wakil dari Kepanduan, tengah berpidato di podium. Yamin, yang menjabat sekretaris Kongres duduk bersebalahan dengan Soegondo Djojopoespito, ketua kongres.

Ketika itulah Yamin memberikan secarik kertas kepada Soegondo yang membaca serius isinya dan kemudian menyerahkannya kepada Amir Sjarifuddin, wakil dari Jong Bataks Bond.

“Saya setuju,” kata Soegondo sambil memberi paraf kertas yang disodorkan Yamin. Amir kemudian juga melakukan hal sama. Alhasil, peserta kongres pada 28 Oktober 1928 kemudian sepakat dengan rancangan Yamin yang kemudian dikenal dengan nama “Sumpah Pemuda”.

M Yamin termasuk salah satu pakar hukum dan juga merupakan penyair terkemuka angkatan pujangga baru. Ia banyak menghasilkan karya tulis pada dekade 1920 yang sebagian dari karyanya menggunakan bahasa melayu.

Karya-karya tulis M Yamin diterbitkan dalam jurnal Jong Sumatra. Dia juga merupakan salah satu pelopor puisi modern. M Yamin banyak menulis buku sejarah dan sastra yang cukup di kenal yaitu  Gajah Mada (1945), Sejarah Peperangan Diponegoro, Tan Malaka (1945) Tanah Air (1922), Indonesia Tumpah Darah (1928), Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Revolusi Amerika, (1951).

Muhammad Yamin dalam perkembangan sastra Indonesia adalah sosok yang pertama kali mengenalkan bentuk soneta dalam sajak. Soneta adalah bentuk sajak yang lahir di Italia abad ke-12 dan berkembang hingga sekarang. Padahal saat itu penyair di tanah air sedang gandrung dengan gaya sastrawan India, Rabindranath Tagore. Yamin tak hanya pembaharu sastra, ia juga memelopori penulisan sejarah dari perspektif Indonesia.

Dia menulis buku Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara dan melukis sketsa wajah sang Mahapatih Majapahit. Yamin telah menulis tujuh judul buku tentang tata negara kerajaan Majapahit dengan memanfaatkan sejumlah prasasti kuno, meskipun banyak kekurangan di sana-sini, tak pelak buku itu menjadi rujukan hingga kini. (Baskoro, L.R. dkk. Muhammad Yamin: Penggagas Indonesia yang dihujat dan dipuji. Jakarta: KPG, 2018).

Di atas adalah beberapa tokoh pendiri republik yang semangat membaca, di antara banyak tokoh pendiri republik lainnya yang tak kalah semangat dalam membaca. Hal ini menjadi bukti nyata korelasi antara membaca dan wacana kejuangan dan kemerdekaan sejak mula. 

Setelah 74 tahun merdeka Republik ini masih sangat membutuhkan buku

Republik ini didirikan oleh para pecinta buku. Tepat kiranya kini ada Perpustakaan Proklamator Bung Karno di Blitar, Jawa Timur dan Perpustakaan Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi, Sumatera Barat yang berada di bawah naungan Perpustakaan Nasional, agar harta karun pengetahuan dan api semangat kejuangan terus dapat disemaikan di republik ini. Tetapi, setelah 74 tahun merdeka, Republik ini masih sangat membutuhkan semangat membaca, bahkan masih sangat membutuhkan buku.

Survei Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018 melibatkan 600 ribu anak berusia 15 tahun dari 79 negara. Survei ini dilakukan setiap tiga tahun sekali. Hasil survey PISA tahun 2018, menunjukkan bahwa 70% siswa di Indonesia memiliki kemampuan baca rendah, di bawah Level 2 dalam skala PISA. Artinya, siswa Indonesia bahkan tidak mampu sekadar menemukan gagasan utama maupun informasi penting di dalam suatu teks pendek. Tercatat skor membaca Indonesia sebesar 371 pada 2018. Angka ini merupakan titik terendah sejak tahun 2000. Bahkan, peringkat membaca Indonesia turun dari peringkat 64 menjadi 74 di antara negara-negara peserta.

Pada sisi berbeda, survei yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional tahun 2019 di 102 kabupaten/kota pada 34 provinsi dengan 3 parameter; (1). Frekuensi membaca per minggu (kali); (2). Durasi/intensitas membaca dalam sehari (jam); (3). Banyaknya bacaan telah dibaca selama 3 bulan terakhir (judul), menunjukkan indeks kegemaran membaca masyarakat Indonesia pada level sedang dengan nilai 53.84 dari rentang skor 0-100. Angka ini menunjukkan kenaikan tidak signifikan dari tahun sebelumnya (2018) dengan indeks 52.92 (sedang). Namun, perolehan ini naik signifikan dibanding tahun 2018, yaitu 36.48 (rendah).

Padahal, selama hampir 15 tahun, pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan nasional untuk mengatasi krisis literasi ini. Namun, alih-alih membaik, skor rata-rata membaca siswa di Indonesia pada PISA 2018 masih sama persis dengan hasil tahun 2000 ketika Indonesia pertama kali mengikuti PISA. Kegagalan ini terkait terbatasnya akses siswa di Indonesia terhadap bahan bacaan - yakni betapa sedikitnya buku bacaan berkualitas yang tersedia.

Kekurangan bahan bacaan pada masyarakat sangat erat kaitannya dengan jumlah produksi bahan bacaan per tahun. IKAPI sebagai asosiasi penerbit Indonesia mencatat, angka penerbitan Indonesia per tahun tidak jauh dari kisaran 30.000 judul buku per tahun. Jika IKAPI mencatat data penerbitan komersial, ini bisa dibandingkan dengan data dari Perpustakaan Nasional yang mendaftar ISBN bagi penerbitan komersial dan nonkomersial, rata-rata per tahun 75.016 judul atau 375.082 judul pada kurun waktu 2015--2019. Dengan demikian, penerbitan Indonesia masih didominasi oleh penerbitan nonkomersial yang umumnya dari perguruan tinggi dan lembaga pemerintah yang peredaran bukunya terbatas pada kalangan tertentu.

Sedang, jika ditilik dari jumlah perpustakaan sebagai representasi pusat pengetahuan dan pembelajaran masyarakat, jumlah perpustakaan di Indonesia  berdasarkan data Sensus Perpustakaan tahun 2018 yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional berjumlah 164.610 perpustakaan. Jumlah ini bahkan tercatat oleh Library of Congress Amerika Serikat sebagai yang terbanyak di dunia setelah India. Dengan demikian, dari sisi perpustakaan sebagai pusat diseminasi pengetahuan melalui  penyediaan bahan bacaan bagi masyarakat keberadaan perpustakaan memiliki nilai strategis. Dari jumlah di atas terinci dalam berbagai jenis perpustakaan, yakni perpustakaan umum berjumlah 42.460 yang tersebar dari ibu kota provinsi sampai dengan desa. Perpustakaan khusus yang dimiliki oleh lembaga pemerintah dan swasta berjumlah 6.552 perpustakaan. Perpustakaan sekolah jumlahnya paling besar yaitu 113.541 perpustakaan dari tingkat SD, SMP dan SMA. Sedang jumlah perpustakaan perguruan tinggi 2.057 perpustakaan. Di samping itu, saat ini juga telah tersedia 121 perpustakaan digital yang disediakan oleh Perpustakaan Nasional, 17 pemerintah provinsi, 22 pemerintah kota, 72 pemerintah kabupaten dan 9 kementerian/Lembaga, yang dapat diakses masyarakat melalui gawai dan menyediakan buku-buku digital secara gratis.

Namun, persoalannya bukan pada kurangnya jumlah perpustakaan, tetapi pada jumlah koleksi bahan bacaan. Berdasarkan Sensus Perpustakaan yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional tahun 2018 jumlah total koleksi perpustakaan di Indonesia hanya 16.077.296 eksemplar, atau hanya tersedia 6.213 buku tiap 100.000 penduduk. Jumlah ini tentu sangat tidak mencukupi kebutuhan bahan bacaan masyarakat. Sesuai dengan standard UNESCO rasio ketersediaan bahan bacaan dibanding jumlah penduduk minimal 1 : 2,  atau 2 buku untuk 1 penduduk. Dengan demikian, jika penduduk Indonesia 265 juta (Bappenas, 2018), maka Jumlah kebutuhan nyata bahan bacaan  yang masih harus disediakan adalah 513.922.704 eksemplar buku secara nasional. Secara parsial rasio ketersediaan buku paling tinggi berada pada provinsi Kalimantan Selatan yakni 25.950 buku per 100.000 penduduk, angka ini jika dibandingkan dengan jumlah penduduk sebenarnya masih kurang. Kekurangan buku paling parah terjadi di Papua Barat karena hanya ada 671 buku per 100.000 penduduk.   

Untuk itu, perlu berbagai terobosan dan kebijakan untuk mempersempit kesenjangan ketersediaan bahan bacaan di masyarakat. Penciptaan ekosistem masyarakat berbasis pengetahuan mutlak diperlukan untuk meninggikan ketersediaan bahan bacaan di masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan terus mempromosikan akses terbuka di antara perguruan tinggi, lembaga pemerintah dan swasta agar hasil riset dan berbagai terbitan tersedia dan dapat diakses secara gratis oleh masyarakat melalui berbagai perpustakaan digital, termasuk portal penjelajahan pengetahun Indonesia yang telah disediakan oleh Perpustakaan Nasional – Indonesia OneSearch (www.onesearch,id).

Di samping itu, perlu penguatan iklim penerbitan Indonesia dengan intervensi pemerintah melalui pengajuan hak cipta alih bahasa dari karya-karya penting terbaru dalam berbagai subjek ilmu pengetahuan. Promosi penerbitan digital harus terus diperkuat untuk mengundang para penulis novum agar makin kreatif dan tertantang untuk menulis berbagai karya dalam format digital dan disebarkan melalui berbagai perpustakaan digital. Termasuk dalam hal ini ialah penerbitan Kembali karya-karya penting dalam format digital, juga pengayaan karya dalam format multimedia. Tak kalah pentingnya adalah insentif dan dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam penerbitan berbagai konten literasi dan pengembangan koleksi semua jenis perpustakaan di daerah termasuk di wilayah 3T.

Kebijakan wajib belajar sembilan tahun, hingga kampanye Gerakan Literasi Sekolah dan Gerakan Literasi Nasional yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 2016, seharusnya berkorelasi secara signifikan dengan pertumbuhan jumlah koleksi perpustakaan sekolah di luar buku paket pembelajaran. Bahkan jika perlu ada penerapan target jumlah judul buku wajib dibaca per tahun bagi setiap siswa dan mahasiswa, seperti pada masa lalu.

Republik ini sungguh memerlukan membaca dan buku, agar semangat persatuan dan keatuan bangsa tetap terjaga. Salam literasi….!

Editor: Dani M Dahwilani

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut