Saldi Isra Ngaku Siap Diperiksa MKMK soal Dugaan Pelanggaran Etik
JAKARTA, iNews.id - Hakim Konstitusi Saldi Isra menjalani sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait dugaan pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim. Laporan tersebut soal gugatan batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun atau punya pengalaman jadi kepala daerah.
Saldi memasuki ruang sidang di lantai 4 Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (1/11/2023) pukul 15.30 WIB. Dia terlihat mengenakan kemeja kotak-kotak warna merah hitam dibalut jas hitam.
Dia menegaskan siap diperiksa oleh MKMK terkait putusan gugatan tersebut. "Ya siap aja. Nanti tergantung di dalam," ujar Saldi Isra.
Adapun Saldi Isra dilaporkan terkait dissenting opinion atau perbedaan pendapat dalam putusan gugatan batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun atau punya pengalaman jadi kepala daerah. Dalam dissenting opinion tersebut, dia menyampaikan hasil Rapat Permusyawatan Hakim (RPH).
Saldi Isra menyatakan penolakan terhadap uji materiel Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
"Saya menolak permohonan a quo, dan seharusnya Mahkamah pun menolak permohonan a quo," ucap Saldi membacakan perbedaan pendapatnya (dissenting opinion) di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Senin, (16/10/2023).
Saldi mengaku bingung dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut.
"Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini," katanya.
Dia mengaku baru kali ini merasakan keanehan yang luar biasa dan jauh dari nalar manusia sejak menjadi hakim konstitusi pada 11 April 2017. Sebab, MK bisa berubah pikiran dalam sekejap ketika menangani perkara.
"Baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," katanya.
Padahal, lanjut Saldi, MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan syarat usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Hal itu ditegaskan pada Putusan MK Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023.
"Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari," tuturnya.
Saldi mengatakan, perubahan demikian tidak hanya sekadar mengesampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di masyarakat.
"Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?" katanya.
Editor: Rizky Agustian