Sejarah Asal Usul Pengemis di Indonesia, Berawal dari Tradisi Masa Kesunanan Surakarta
JAKARTA, iNews.id - Fenomena mengemis online di media sosial TikTok menjadi perbincangan masyarakat. Sejumlah orang memanfaatkan fitur gift yang terdapat di TikTok.
Para pembuat konten berharap mendapatkan gift dari penonton, kemudian gift tersebut ditukar dengan uang. Konten mengemis online yang banyak disoroti belakangan ini adalah konten berendam di air hingga mandi lumpur.
Kementerian Sosial pun mengeluarkan surat edaran kepada pemerintah daerah guna menindak fenomena mengemis online di media sosial. Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan mengemis baik online maupun offline memang dilarang.
Larangan mengemis termuat pada Pasal 504 KUHP, yaitu barang siapa mengemis di muka umum diancam pidana kurungan paling lama enam minggu. Selanjutnya pada Pasal 504 ayat 2 KUHP, disebutkan pengemisan yang dilakukan tiga orang atau lebih diancam pidana kurungan paling lama tiga bulan.
Lalu bagaimana asal usul istilah pengemis di Indonesia?
Asal-usul kata pengemis tidak dapat dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta Hadiningrat. Saat itu, pemimpin Kerajaan Surakarta yang bernama Pakubuwono X dikenal dermawan serta sering membagikan sedekah untuk kalangan tidak mampu. Ketika itu pemberian sedekah dilakukan menjelang hari Jumat, khususnya pada Kamis sore.
Pada waktu tersebut, biasanya Raja Pakubuwono X keluar melihat keadaan rakyatnya, yaitu dengan berjalan dari istana menuju Masjid Agung.
Dalam perjalanan, Pakubuwono X melewati alun-alun utara. Di sepanjang jalan itu, rakyatnya berjejer di kanan serta kiri jalan dengan tertib. Mereka memberikan salam serta menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada raja. Sang raja pun menjadikan kesempatan ini untuk bersedekah dan berbagi kepada rakyatnya secara langsung.
Kegiatan hari Kamis yang dilakukan Pakubuwono X tersebut ternyata warisan pendahulunya, yang kemudian dilakukan secara turun-menurun. Dalam bahasa Jawa, Kamis dibaca Kemis. Lalu muncullah istilah untuk mengharap berkah di hari Kemis tersebut yaitu ngemis. Sementara rakyat yang sering menunggu pemberian dari raja dikenal dengan istilah wong ngemis.
Dulu, pengemis tidak dikenal sebagai peminta-minta, melainkan pengharap berkah di hari Kamis. Kata pengemis muncul pertama kali di Koran Bromartani pada 1895, dalam laporan yang memuat tentang kegiatan Kamis sore Pakubuwono X. Pemberian sedekah Pakubuwono X ini juga tertulis dalam Serat Sri Karongron pada 1914.
Pakubuwono X meninggal dunia pada 1939. Tradisi Kemisan pun tidak hanya muncul pada hari Kamis saja, tetapi dilakukan pada hari apa saja. Pada akhirnya, wong ngemis mengalami perubahan makna di tengah masyarakat.
Sebelumnya, wong ngemis berarti menerima sedekah dari seorang pemimpin di hari Kamis. Saat ini berubah menjadi orang yang meminta-minta dari orang lain. Makna wong ngemis pun diserap dalam bahasa Indonesia menjadi pengemis. Ada beberapa faktor seseorang menjadi pengemis, mulai dari faktor ekonomi, pendidikan, ketergantungan hingga lingkungan.
Editor: Reza Fajri