Setara Institute: Kelompok Moderat di Kampus Berpotensi Tergerus Konservatif
JAKARTA, iNews.id, – Setara Institute meneliti tipologi keberagaman mahasiswa di 10 perguruan tinggi negeri. Dari riset yang melibatkan 1.000 sampel mahasiswa dari berbagai latar agama itu diketahui kelompok moderat di kampus berpotensi tergerus kalangan konservatif. Dengan kata lain, konservatisme di 10 PTN tersebut menguat.
Peneliti senior Setara Institut Noryamin Aini menuturkan, survei dilakukan pada 10 PTN terdiri atas 8 PTN umum dan 2 PTN berbasis islam, yakni Universitas Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, UIN Sunan Gunung Djati, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, dan Universitas Mataram
Dari penelitian diperoleh temuan kunci, keberagamaan mahasiswa secara umum dapat diklasifikasi ke dalam enam tipe yang dapat dibagi ke dalam tiga lapis atau layer, yaitu lapis individual, lapis sosial-kemasyarakatan, dan lapis publik-kenegaraan.
Pada lapis pertama, terdapat dua tipe keberagamaan mahasiswa, yaitu konservatif dan sekuler. Pada lapis kedua, terdapat dua tipe keberagamaan yakni eksklusif dan inklusif. Sedangkan pada lapis ketiga, juga terdapat dua tipe keberagamaan, yaitu formalis dan substansialis.
"Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa di lapis keberagamaan, kelompok moderat sangat potensial tergerus ke arah pendulum negatif yaitu konservatif," kata Noryamin saat dihubungi iNews.id, Selasa (2/7/2019).
Setara Institute merekomendasikan agar institusi perguruan tinggi mengadakan forum akademik kebangsaan. Hal itu bertujuan menumbuhkan kelompok moderat-nasionalis-Pancasilais di kalangan mahasiswa.
Selain konservatisme yang cenderung menguat, penelitian juga menemukan dari 10 PTN yang disurvei, UIN Sunan Gunung Djati dan UIN Syarif Hidayatullah lebih mudah menerima orang berbeda agama daripada menerima perbedaan pemahaman. Hal itu yang dimaksud dengan fundamentalis beragama yang ekslusif.
"Orang menjadi fundamentalis itu karena dia tidak tahu alternatif yang lain. Kemudian, kalau di bergaul lama-kelamaan dia menganggap apa yang dia yakini itu sebagai kebenaran nyata (fundamental)," tutur Nooryamin.
Dia melanjutkan, pengaruh terbesar tipologi keagamaan mahasiswa berasal dari orang tua atau keluarga. Kendati demikian, guru agama juga memberikan pengaruh, sehingga pemetaan asal sekolah juga intervensi di tingkat persekolahan akan sangat mempengaruhi tipologi keagamaan mahasiswa di perguruan tinggi.
Selain itu, kampus dapat mempersempit lingkungan yang memungkinkan (enabling environment) konservatisme, eksklusivisme, dan formalism tipologi keagamaan mahasiswa dengan menangani isu-isu pendidikan agama, dan organisasi (keagamaan) mahasiswa yang memberikan ruang bagi eksklusivisme literatur keagamaan dan peer group yang eksklusif dan radikal.
Terhadap temuan ini Setara merekomendasikan agar Kemenristekdikti dan perguruan tinggi hendaknya melakukan agenda dan mengambil inisiatif yang presisi untuk menangani beberapa masalah yang relevan.
Cara ini antara lain dapat dilakukan dengan mengambil kebijakan serta mengagendakan program khusus untuk mendinamisasi kegiatan kemahasiswaan di kampus dan merevitalisasi forum-forum akademik kebangsaan untuk memasifkan tumbuh dan berkembangnya kelompok moderatnasionalis-Pancasilais di kalangan mahasiswa.
Rekomendasi kedua, pemerintah terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar mengambil kebijakan dan mengagendakan program untuk memitigasi dan mencegah berkembangnya paham keagamaan yang eksklusif di persekolahan, khususnya di SMA/sederajat.
”Sebab sekolah merupakan pintu masuk awal berkembangnya paham keagamaan eksklusif sebelum berinkubasi di perguruan tinggi,” ujarnya.
Setara juga merekomendasikan agar pemerintah daerah hendaknya mengambil iniasitif untuk mengintervensi lembaga persekolahan yang berada dalam kewenangan yurisdiksionalnya berdasarkan Otonomi Daerah agar persekolahan menjadi medium bagi pemajuan toleransi, penyebaran moderasi keagamaan, serta penguatan kebinekaan dan ideologi kebangsaan.
Editor: Zen Teguh