Sosok 5 Hakim Agung yang Bikin Djoko Tjandra Mendekam di Penjara
JAKARTA, iNews.id - Pelarian buron kasus korupsi Djoko Sugiarto Tjandra berakhir di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (30/7/2020). Terpidana perkara cessie Bank Bali itu ditangkap tim penyidik gabungan Polis Diraja Malaysia dan Bareskrim Polri.
Djoko kini telah berstatus narapidana atau warga binaan setelah resmi dilimpahkan oleh Bareskrim ke Kejaksaan Agung dan oleh Kejagung diserahkan ke Ditjen Imigrasi Kemenkumham. Kendati demikian, penahanannya tetap di Rutan Salemba cabang Bareskrim Polri.
Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo mengatakan, penahanan Djoko tetap di Bareskrim untuk memudahkan pemeriksaan dan penyelidikan kasus-kasus yang menyangkut bos PT Era Giat Prima itu. Kasus tersebut antara lain, surat jalan yang melibatkan mantan petinggi Polri.
“Dan juga kemungkinan, lidik (penyelidikan) terkait kemungkinan adanya aliran dana,” kata Listyo, Kamis (30/7/2020) malam.
Penangkapan Djoko menjadi akhir pelarian buron yang dikenal dengan julukan Joker itu. Selama 11 tahun, dia kabur dari kejaran aparat penegak hukum. Djoko bahkan sempat tinggal dan menjadi warga negara Papua Nugini.
Tidak hanya itu, kasus hukum yang melibatkannya panjang dan berliku. Djoko sempat lolos dari vonis penjara, baik di pengadilan tingkat pertama maupun kasasi di Mahkamah Agung.
Sekadar kilas balik, kasus cessie Bank Bali mulai diusut Kejaksaan Agung pada September 1999. Seiring pengusutan itu, Djoko ditangkap dan ditahan. Namun pada November 1999 hingga Januari 2000, permohonannya sebagai tahanan kota dikabulkan.
Kejagung tak berhenti menyelidiki kasus ini. Pada 14 Januari 2000, Djoko kembali ditahan oleh aparat kejaksaan. Selanjutnya pada Februari, perkara ini mulai disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Setelah melalui sejumlah persidangan, vonis dijatuhkan pada 28 Agustus 2000. Majelis hakim memutuskan Djoko lepas dari segala tuntutan (onslag). Majelis hakim dalam putusannya menyatakan, dakwaan JPU terhadap perbuatan Djoko sebenarnya terbukti secara hukum. Namun perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana melainkan perbuatan perdata.

Karena itu, Djoko lepas dari segala tuntutan hukum. Atas putusan itu, Kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Lagi-lagi Djoko menang. Putusan ketika itu heboh luar biasa. Hakim Agung Artidjo Alkostar memberikan dissenting opinion atau pendapat berbeda dengan hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap. Artidjo bersikeras Djoko Tjandra bersalah dan harus dihukum.
Atas putusan kasasi itu, kejaksaan tak menyerah. Kejagung mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Harapan itu terkabul. Majelis hakim yang dipimpin Djoko Sarwoko mengabulkan PK jaksa. Putusan tersebut tertuang dalam putusan PK nomor: 12 PK/Pid.Sus/2009.
“Mengadili: mengabulkan permohonan Peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tersebut. Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 Jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel. tanggal 28 Agustus 2000,” kata Djoko dalam salinan putusan dikutip dari laman MA, Minggu (2/8/2020).
“Mengadili kembali: 1. Menyatakan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan berlanjut; 2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 tahun,” ucap Djoko.
Majelis hakim juga membayar denda Rp15 juta subsider kurungan selama 3 bulan. Empat, menyatakan barang bukti berupa dana yang ada dalam escrow account atas rekening Bank Bali No. 0999.045197 qq PT Era Giat Prima sejumlah Rp546.468.544.738 dirampas untuk dikembalikan kepada negara.
Majelis hakim PK tersebut berisi 5 hakim agung. Mereka yakni Djoko Sarwoko sebagai hakim ketua, serta I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kartayasa, dan Suwardi sebagai hakim anggota.
Untuk diketahui, Djoko Sarwoko terakhir kali menjabat sebagai Ketua Muda Pidana Khusus MA periode 2009-2014. Sebelumnya dia juga pernah menjadi Ketua Muda Pengawasan Hakim Agung. Pada 2012 dia purnatugas dan selanjutnya menjadi advokat.
Suwardi pernah tercatat sebagai wakil ketua MA bidang non-yudisial. Suwardi terpilih menggantikan Ahmad Kamil pada 2014. Dia pensiun sebagai hakim agung pada 2017.
Komariah E Sapardjaja merupakan hakim nonkarier. Mantan dekan FH Universitas Padjajaran ini termasuk figur yang sangat perhatian pada kasus-kasus perempuan dan HAM. Dia juga telah purnatugas.
Mansyur Kartayasa merupakan hakim berlatar belakang jaksa. Jabatan terakhirnya di Korps Adhyaksa yakni Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara. Dia lantas dipromosikan Jaksa Agung untuk mengikuti seleksi hakim agung. Pada 2003 dia terpilih. Pada 2012 dia purnatugas dari MA.

Sementara itu I Made Tara juga merupakan hakim karier. Dia pernah menangani sejumlah kasus besar. I Made Tara juga pernah tercatat sebagai Ketua Majelis Kehormatan Hakim yang memberhentikan hakim Asmadinata karena terlibat kasus korupsi.
Djoko Lawan Putusan PK
Di sisi lain, Djoko Tjandra juga mengajukan PK. Djoko menjadi pemohon PK atas putusan PK nomor: 12 PK/Pid.Sus/2009. Intinya, Djoko menganggap putusan MA yang menerima PK jaksa tak berdasar.
Namun, majelis hakim MA tak goyah dengan pengajuan PK Djoko Tjandra. Melalui putusan PK nomor: 100 PK/Pid.Sus/2009, MA menolak PK Djoko Tjandra dan menyatakan putusan PK nomor: 12 PK/Pid.Sus/2009 yang menghukumnya dua tahun tetap berlaku.
Dalam PK kedua ini, majelis hakim berisi enam hakim agung. Mereka yakni Harifin A Tumpa sebagai hakim ketua. Kemudian, M Hatta Ali, Atja Sondjaja, Imron Anwari, Abdul Kadir Mappong, dan M Zaharuddin Utama sebagai hakim anggota. Dalam putusan ini, Imron Anwari dan Abdul Kadir Mappon memberikan dissenting opinion.
Editor: Zen Teguh