Surat Suara Tercoblos, Koordinator JaDI: Ada Upaya Delegitimasi Pemilu
JAKARTA, iNews.id - Mendekati hari pemungutan suara 17 April 2019, KPU sebagai penyelenggara pemilu diserang bertubi-tubi untuk mendelegitimasi penyelenggara pemilu tersebut.
Upaya delegitimasi paling mutakhir adalah informasi yang diviralkan video “penggerebekan” pencoblosan surat suara illegal yang seolah-olah untuk memenangkan pasangan 01 dan calon dari anggota DPR Partai NasDem di sebuah ruko di Selangor Malaysia.
Koordinator Presidium Nasional Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI), Juri Ardiantoro mengatakan, upaya delegitimasi pemilu selalu muncul tiap perhelatan akbar pesta demokrasi lima tahunan. Namun, mantan Ketua KPU perideo 2016-2017 itu menilai Pemilu 2019 inilah serangan ke KPU sangat berat dan dilakukan secara sitematis.
“Meskipun banyak kejanggalan yang dapat dilihat dari video tersebut dan belum ada investigasi secara mendalam dari pihak yang berkompeten, masyarakat sudah digiring untuk mempersepsi bahwa penyelenggara pemilu sudah melakukan kecurangan,” kata Juri dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/4/2019).
Peristiwa serupa, kata dia, sebelumnya juga terjadi dan menghebohkan semua pihak dalam kasus tujuh kontainer berisi 70 juta surat suara dari China yang telah tercoblos. Padahal saat itu, surat suara belum diproduksi KPU.
“Kejadian lain yang serupa juga dimunculkan dengan video pencoblosan dini di Medan yang di-framing sebagai kecurangan. Padahal peristiwa yang divralkan itu adalah kejadian pilkada Medan tahun 2015,” katanya.
Pada hari-hari ini juga muncul akun di medsos yang mengaku mendapatkan informasi pentig tentang kecurangan Pemilu 2014 yang disimpan dalam flashdisk almarhum Husni Kamil Manik Ketua KPU saat itu.
Menurut Juri, kejadian ini menyambung serangkaian peristiwa sebelumnya yang mengarah pada serangan serius dan berbahaya sebagai upaya sistemik mendelegitimasi penyelenggara pemilu, seperti pem-bully-an kepada KPU saat memutuskan menggunakan kotak suara yang terbuat dari bahan karton kedap air dengan dikatakan “kota suara kardus”. Padahal kotak serupa sudah dipkai sejak Pemilu 2014 dan berlanjut pada Pilkada tahun 2015, 2016, 2017, dan 2018.
“KPU juga baru-baru ini diserang dengan pernyataan Amien Rais di akhir Maret 2019 yang mengkampanyekan dan mendorong munculnya people power jika terjadi kecurangan untuk memperotes hasil pemilu. Pemilu saja belum berlangsung, bagaimana Amin Rais tahu ada kecurangan-kecurangan?,” kata Juri.
Tuduhan heboh selanjutnya yaitu video yang penjelasan tim 02 yang mengklaim bahwa KPU sudah menyeting server KPU dengan mematok kemenangan pasangan #01 sebesar 57 persen.
Baru-baru ini juga muncul sekelompok orang yang menamakan dirinya Barisan Masyarakat Peduli Pemilu Adil dan Berintegritas (BMPPAB), mereka mengklaim telah menemukan sebanyak 17,5 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) dinilai bermasalah, yakni data pemilih yang dianggap janggal dan tidak wajar, yakni 17,5 juga pemilih dengan tanggal kelahiran 1 Januari, 1 Juli dan 31 Desember.
“Sekilas masyarakat bisa terkecoh dengan manuver ini, seolah ada akal-akalan pemerintah dalam merekayasa administrasi kependudukan untuk kepentingan pemilu. Mereka tidak mau tahu dijelaskan bahwa ada peraturan yang berlaku sejak tahun 70an,” ujar Juri.
Selain itu, kata dia, Viral informasi hasil penghitungan suara di LN dengan kemenangan mutlak pasangan 02 baru-bari ini menambah kesesatan informasi.
“Informasi ini menyesatkan, karena pemungutan suara saja belum sebagaian saja dilaksanakan dari 130 negara perwakilan. Sementara penghitungan suara, baru akan dihutung secara serentak dengan pemilu di dalam negeri tanggal 17 April 2019,” bebernya.
Terkait itu, Juri mengajak semua pihak untuk bersama-sama menolak upaya-upaya kecurangan yang dilakukan siapa pun termasuk mencoblos secara ilegal untuk kemenangan salah satu kontestan.
“Kita harus dorong seluruh perangkat penyelenggara dan perangkat hukum untuk memproses dan menghukum siapa saja yang berupaya dan melakukan kecurangan,” katanya.
Juri mengimbau masyarakat untuk memberikan kepercayaan kepada penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu untuk berkerja professional, terbuka dan mandiri serta melawan setiap upaya sekelompok orang yang akan merusak proses pemilu.
Editor: Kastolani Marzuki