Tambang Pasir dan Batu Ilegal di Lumajang Marak, Pemda Disebut Rugi Miliaran Rupiah
JAKARTA, iNews.id - Praktik tambang pasir dan batu ilegal masih marak ditemukan di Lumajang, Jawa Timur (Jatim). Bahkan, sempat terjadi perdebatan dan konflik sosial akibat praktik penambangan ilegal tersebut.
Ketua Himpunan Penambang Batuan Indonesia (HPBI) Lumajang Jamal Abdullah Alkatiri mengatakan tambang ilegal tersebut telah merugikan pemerintah daerah (pemda) serta penambang resmi hingga miliaran rupiah. Dia mengatakan aktivitas tambang ilegal kerap berjalan meski seluruh pemilik izin resmi tambang sedang libur beroperasi.
"Kita enggak ada masalah kenaikan pajak, tapi penambang ilegal kan banyak. Selama satu tahun miliaran pendapatan daerah bocor. Miliar, bukan ratusan juta lagi," ujar Jamal saat dikonfirmasi, Jumat (18/7/2025).
Dia menyoroti penyalahgunaan sistem barcode pajak sebagai celah yang dimanfaatkan penambang tak berizin untuk menghidupkan operasi ilegal. Dia menduga, barcode yang seharusnya hanya dimiliki penambang resmi malah diperjualbelikan di lapangan.
“Barcode itu banyak yang masuk ke area tambang. Padahal seluruh tambang libur. Barcode itu berkeliaran. Banyak,” ucapnya.
Dia menduga kuat ada oknum yang terlibat dengan modus menjual barcode palsu seharga Rp35.000 per truk tanpa melakukan tapping resmi ke sistem. Bahkan, dia mengatakan dalam satu hari bisa terjadi aktivitas ilegal dengan volume 200 hingga 300 truk yang tetap mengangkut material tambang dengan barcode fiktif.
"Satu hari itu sampai 300 truk ilegal itu. Padahal seluruh pemilik izin libur semua,” kata dia.
Dia juga menyesalkan munculnya pungutan liar melalui portal di jalan tambang oleh kelompok tertentu kepada sopir truk. Biaya portal yang dikenakan bervariasi, bahkan mencapai Rp110.000.
“Sekarang ya di samping ilegal juga ada tarikan portal. Portal itu bukan satu. Tiap orang buat portal-portal. Itu kan merugikan,” kata Jamal.
Selain barcode dan portal liar, Jamal juga menyoroti keberadaan praktik penambangan dengan metode sedotan atau pompa pasir yang dinilai memiliki daya rusak lingkungan lebih besar. Menurutnya, penambangan dengan metode sedotan memiliki biaya operasional yang lebih murah, tapi pelaku tidak membayar pajak sedikit pun ke pemerintah.
“Sedotan itu tidak enggak bayar pajak, enggak bayar apa. Sehingga teman-teman kan merasa dirugikan yang milik pemilik izin,” ujarnya.
Karena itu, Jamal menyampaikan tiga tuntutan utama HPBI Lumajang kepada pemda dan aparat penegak hukum. Pertama, meminta penertiban sistem barcode dari oknum manipulatif.
“Barcode hanya dimiliki oleh pemilik IUP UP,” tutur Jamal.
HPBI juga meminta pemerintah dan aparat menindak penambang menggunakan metode sedotan karena memiliki daya rusak lingkungan yang lebuh besar.
"APH (aparat penegak hukum) harus membersihkan sedotan yang ada di Lumajang,” ujarnya.
Selain itu, HPBI juga meminta aparat menutup seluruh portal pungutan liar (pungli) yang berada di jalur pertambangan. Jamal mengakui kini pengawasan lebih baik sejak petugas gabungan dari Polri, TNI, Satpol PP ikut mengawasi proses pemungutan pajak di lapangan.
Namun, dia tetap berharap akar persoalan dapat dibongkar dan pelaku pungli diusut tuntas.
“Ini jelas-jelas pungli besar, tapi siapa pelakunya sampai sekarang enggak diketahui. Kan aneh,” kata Jamal.
Editor: Rizky Agustian