Tangis Haru Dwi Wulandari Dikunjungi Anaknya di Penjara Filipina
MANILA, iNews.id – Haru melanda di ruang tamu penjara perempuan Mandaluyong City, Filipina, Rabu, 14 Maret 2018, lalu. Semua yang hadir nyaris tak ada yang berkata-kata. Semuanya tenggelam dalam kesedihan mendalam. Dalam diam itu air mata membanjir. Tangis Dwi Wulandari tak tertahankan. Dipeluknya kuat-kuat anaknya, Fafa (6).
"Kamu sudah besar sekali. Sekolah yang pintar ya nak,” kata Dwi Wulandari sambil berurai air mata. Dipeluknya lagi anaknya itu, diciumnya bertubi-tubi sambil terus menangis. Pemandangan itu kian membuat terenyuh. Semua yang memandang pun larut dalam perasaan tak menentu. Haru dan sangat sedih.
Pertemuan antara Dwi Wulandari dan anaknya diceritakan Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah dalam laman Facebook-nya. Anis yang turut hadir dalam pertemuan itu pun tak kuasa menahan haru.
”Ya Allah, sedih banget mas. Susah untuk diceritakan. Kami semua menangis,” kata Anis ketika dihubungi iNews.id, Sabtu (17/3/2018). Anis sudah berada di Jakarta setelah kunjungan selama tiga hari di Filipina itu.
Dwi Wulandari adalah warga negara Indonesia yang dihukum seumur hidup setelah tertangkap membawa 6 kilogram kokain di Bandara Manila, 2012 lalu. Dwi tak pernah tahu bahwa di tasnya saat itu terdapat narkoba.
Seperti Marry Jane, warga Filipina yang hendak dieksekusi mati Pemerintah RI namun tak jadi, Dwi adalah korban sindikat mafia narkoba. Menurut Anis, pada 2012 itu Dwi direkrut oleh tetangganya, Erna, untuk dipekerjakan di Malaysia.
Dwi dibelikan tiket pesawat ke Malaysia lewat Surabaya. Baru dua hari di Malaysia, Dwi dibelikan tiket untuk ke India katanya untuk membantu majikannya yang bisnis sari. Namun kian mencurigakan karena kemudian Dwi diminta traveling ke beberapa negara hingga ke Peru.
Dari Peru Dwi diminta ke Manila. Dalam perjalanan ke bandara Peru, seseorang yang tidak dikenal menitipkan barang yang harus diantar ke Manila. Di bandara, Dwi ditangkap. Setelah melalui proses hukum panjang, 22 Juni 2017 lalu, Regional Trial Court Pasay City Philipina memutus penjara seumur hidup bagi Dwi.
Penjara wanita Filipina tempat Dwi ditahan. (Foto: Ist)
Saat Dwi memutuskan untuk berangkat bekerja ke Malaysia, anaknya yang kedua baru berusia 1 tahun dan anaknya yang besar baru lulus SD. Rabu lalu, pihak keluarga mengunjungi penjara perempuan di Mandaluyong City, atau dikenal sebagai CIW (Correctional Institutional for Women).
Ibunda Dwi, Pujiastuti dan kedua anaknya, Riska (17) serta Fafa (6) berangkat atas bantuan Migrant Care, beberapa pihak lain dan KBRI Manila. ”Sekitar 45 menit perjalanan dari kantor KBRI Manila, tibalah kami di penjara yang kami tuju,” kata Anis.
Di penjara itu, tamu diminta mengisi formulir lengkap dengan tanda tangan dan jap jari terlebih dulu, menyerahkan paspor, dan difoto dengan latar belakang CIW. Untuk menuju ke ruang visit, perlu melewati beberapa petugas. Semua diperiksa satu-satu. Tas dan ponsel harus dititipkan di loker.
”Di ruang tamu itu ada beberapa kursi dan meja. Kami sudah duduk melingkar dan menyisakan 1 kursi untuk Dwi yang masih dipanggil oleh petugas,” tulis Anis. Pujiastuti tampak lemas. Pandangannya kosong. Kedua anak Dwi terlihat tegang.
Saat yang dinanti-nanti itu akhirnya tiba. Sekitar lima menit menunggu, Dwi datang dengan didampingi petugas penjara. Dari kejauhan sudah terlihat air mata Dwi sudah tumpah. Matanya basah oleh air mata. Keharuan segera menyelimuti ruangan itu.
Dwi terus memeluk erat Fafa, anaknya yang ketika dulu ditinggal masih bayi. Air matanya mengalir deras. Sesekali dilepas, dipandangnya wajah anaknya itu kemudian dipeluk lagi. Fafa turut terisak-isak dalam pelukan.
”Saya ikut menangis, dada ini sesak melihatnya,”kata Anis. Dwi lantas bersalaman dengan ibunya, dipeluknya dan masih terus menangis. Tak ada yang bicara selama 15 menit. Setelah itu barulah perbincangan terjadi.
Anis menuturkan, kunjugan ini adalah yang pertama dilakukan pihak keluarga. Selama tiga hari mereka bertemu Dwi. ”Itu adalah pertemuan hari pertama. Saat hari kedua dan ketiga, keluarga sudah mulai stabil. Tapi tetap semuanya sedih,” kata dia.
Alumnus Universitas Jember ini mengatakan, proses banding oleh pengacara publik (public lawyer) masih berjalan. Kemungkinan akan memakan waktu satu hingga dua tahun. Menurut dia, Pemerintah Indonesia melalui KBRI Manila juga mengawal terus kasus ini. KBRI, kata dia, intensif memfasilitasi dan memberikan bantuan. ”Mari kita doakan untuk yang terbaik karena dia menjadi korban,” ujarnya.
Editor: Zen Teguh