Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Penjualan Mobil Penuh Tantangan, Ini Strategi ACC
Advertisement . Scroll to see content

Tunggak Cicilan, Bolehkan Leasing Tarik Kendaraan? Ini Penjelasannya

Rabu, 18 Maret 2020 - 13:06:00 WIB
Tunggak Cicilan, Bolehkan Leasing Tarik Kendaraan? Ini Penjelasannya
Bolehkah leasing menarik kendaraan konsumen yang menunggak cicilan yang telah disepakati bersama. (Foto: Car History)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id - Penarikan kendaraan konsumen yang menunggak cicilan oleh perusahaan pembiayaan (leasing) sampai saat ini masih menjadi polemik. Bolehkah leasing menarik kendaraan konsumen?

Praktisi hukum Ari JC Pasaribu menjelaskan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang pengujian Undang-Undang No 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, ditujukan untuk perlindungan bagi debitur yang beritikad baik. Ini sebaiknya diikuti pula keputusan yang memberi perlindungan hukum bagi kreditur yang beritikad baik pascapengambilan objek jaminan fidusia.

Menurutnya, keputusan ini sudah baik, namun akan lebih bagus bila diikuti keputusan lain yang memberikan perlindungan kepada kreditur yang beritikad baik. Jadi ada keseimbangan perlindungan baik debitur maupun kreditur.

Keputusan semacam ini akan berdampak positif pada iklim investasi, khususnya di dunia finance atau pembiayaan. Karena kreditur tidak perlu khawatir atau ragu dalam menjalankan eksekusi objek jaminan fidusia.

”Saya kira ini adalah langkah baik, yang harus kita dukung bersama. Namun, jangan lupa kita memerlukan keputusan yang melindungi kreditur beritikad baik dalam pengambilan objek jaminan fidusia. Ingat, jaminan fidusia itu adalah hukum perdata, kenapa? Jangan sampai ada debitur yang beritikad buruk yang menggunakan keputusan MK No 18/PUU-XVII tahun 2019 itu, sebagai dasar pelaporan pencurian pascapengambilan obyek jaminan fidusia,” ujar Ari, dalam keterangan tertulisnya.

Selain berdampak ekonomi, perlindungan hukum bagi debitur dan kreditur secara seimbang akan memberikan dampak sosial yang positif. ”Biasanya, di lapangan akan terjadi kerawanan. Misalnya memicu bentrokan dan sebagainya. Saya berharap nantinya, apabila ada keseimbangan perlindungan ini bisa mengurangi dampak sosial yang kurang baik,” katanya.

Ari menilai, parate eksekusi pada dasarnya masih berlaku untuk fidusia. Namun, dengan adanya keputusan MK ini, maka parate eksekusi ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

”Misal, adanya kesepakatan cedera janji, dan adanya keberatan dari debitur itu sendiri. Nah, dalam dinamikanya, yang terpenting adalah pembuktian pada unsur cedera janji itu. Jadi syarat batalnya perjanjian itu sudah ada. Nah, sekarang bagaimana para pihak dalam perjanjian itu memandang persoalan ini,” katanya.

Menurut Ari, proses eksekusi ini tidak akan menjadi persoalan jika merujuk pada imbauan Kapolri agar proses eksekusi barang jaminan (kendaraan) menyertakan aparat keamanan.

”Dalam penjelasan Undang-Undang Fidusia itu dikatakan kreditur diperbolehkan menggunakan aparat keamanan untuk eksekusi. Jika ini harus melalui pengadilan, biasanya juru sita pengadilan menggunakan aparat keamanan. Jadi soal ini masih diperlukan solusi lebih lanjut dari pengadilan,” tambah Ari.

Terkait adanya kemungkinan penarikan (pengambilan) objek jaminan fidusia menjadi dugaan tindak pidana, Ari menilai itu berlebihan. Karena, pada dasarnya objek jaminan fidusia sudah diatur dalam kesepakatan yang mengatur hak dan kewajiban.

”Jika ada sengketa, harusnya tunduk pada akte jaminan fidusia. Jika ini menjadi sebuah perkara, harusnya tidak sampai ke meja polisi untuk menjadi perkara pidana. Harusnya para pihak membawa ke pengadilan untuk dijadikan perkara perdata,” ujarnya.

Dalam sidang, Ari juga melihat perlunya melibatkan pihak asosiasi perusahaan pembiayaan. Di sana Asosiasi punya peran untuk memberikan pemahanan tidak hanya pada proses sidang, namun juga kepada masyarakat.

”Saya kira banyak hal yang perlu disosialisasikan oleh asosiasi kepada masyarakat agar persoalan ini tidak berlarut-larut,” katanya.

Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan, ada salah penafsiran di masyarakat terkait pascaputusan MK No 18/PPU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2019 tentang fidusia. Seolah-olah pemegang hak fidusia (leasing) tidak boleh melakukan penarikan sendiri, tapi harus mengajukan permohonan penarikan kepada pengadilan luar negeri.

“Bukan demikian, perusahaan masih bisa menarik kendaraan debitur macet tanpa melalui pengadilan,” kata Suwandi melalui sambungan telepon.

Menurutnya, Putusan MK itu justru memperjelas Pasal 15 Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang wanprestasi atau cedera janji antara debitur dan kreditur. "Perusahaan leasing dapat mengeksekusi apabila ada beberapa kondisi, seperti debitur terbukti wanprestasi, debitur sudah diberikan surat peringatan, dan perusahaan pembiayaan memiliki sertifikat jaminan fidusia, sertifikat hak tanggungan.

Editor: Dani M Dahwilani

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut