Pakar Peringatkan, Ancaman Siber 2018 Semakin Besar
JAKARTA, iNews.id - Sejak dikeluarkan Pepres pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada Mei lalu, sampai saat ini BSSN masih belum memiliki struktur. Padahal, ancaman siber pada 2018 semakin besar.
Sebagai gambaran, sepanjang 2017 serangan siber sudah begitu masif, mulai dari wannacry hingga nopetya yang efeknya sangat berbahaya.
“Masyarakat awam juga kini mulai merasakan ancaman cybercrime bahkan di banyak negara yang pernah menjadi target perang siber, masyarakatnya menjadi pihak paling dirugikan. ATM mati, listrik mati, bahkan gas sebagai penghangat ruangan juga tidak berfungsi," ujar Pakar keamanan siber, Pratama Persadha dalam keterangan tertulisnya kepada iNews.id, Senin (23/10/2017).
Chairman lembaga keamanan siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini menuturkan, selain regulasi dan infrastruktur, keamanan dunia siber juga perlu didukung dari sisi pemerintah selaku pemegang kekuasaan.
Pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melalui Perpres Nomor 53 Tahun 2017 merupakan langkah awal pemerintah dalam menyikapi isu strategis ini.
"Sayang, hingga kini BSSN belum resmi disahkan akibat struktur organisasi dan susunan tugas pokok dan fungsi yang belum rampung. Di tengah semakin tingginya ketergantungan manusia akan teknologi informasi, keamanan siber tentu harus menjadi prioritas utama negara, sebelum kerugian yang lebih besar menimpa Indonesia," ujar pria asal Cepu, Jawa Tengah ini.
(Baca: PR Besar Permasalahan Siber di Indonesia)
Dia mengatakan potensi ancaman siber pada 2018 akan bertambah besar jika BSSN masih belum efektif berjalan. Sepanjang 2016, biaya kerugian akibat cybercrime secara global mencapai USD450 miliar.
“Angka tersebut bisa terus naik bila para netizen, khususnya di kota besar yang banyak terkait dunia usaha dan pemerintah, masih mempunyai kesadaran siber yang rendah. Kelalaian sederhana bisa berakibat fatal,” terangnya.
Berdasarkan survei, tingkat kesadaran siber pengguna internet di Indonesia di bawah. Pada kasus Wannacry, misalnya, masyarakat cenderung abai terhadap imbauan pemerintah untuk melakukan setting pada PC atau laptop bersistem operasi Windows.
“Dengan data tersebut dan ditambah BSSN yang belum berjalan tentu akan memperbesar peluang serangan siber. Ini juga akan menjadi pertimbangan negatif investor ke tanah air,” lanjut pria asal Cepu, Jawa Tengah ini.
Kasus peretasan website Telkomsel dan tiket.com merupakan sebagian kecil contoh rendahnya tingkat keamanan siber di Indonesia. Seharusnya dari kedua kasus itu dapat dijadikan pelajaran sekaligus peringatan bahwa ancaman cybercrime di Indonesia sudah di depan mata.
“Kerugian tak ternilai bisa terjadi bila peretasan berhasil menarget dan melumpuhkan objek kritis sebuah negara, meliputi sistem layanan pemerintahan, layanan gawat darurat, cadangan minyak dan gas, keuangan dan perbankan, transportasi, telekomunikasi, energi listrik, serta sistem pengairan” ujar Pratama.
Tidak hanya itu, kata Pratama, ancaman keamanan siber yang sebelumnya hanya dirasakan oleh negara dan dunia usaha, kini dirasakan mulai meluas oleh individu di masyarakat, baik karena serangan siber maupun adanya celah keamanan pada sistem.
Editor: Dini Listiyani