Geliat Ekonomi Pertambangan dan Batu Perhiasan di Kalimantan Selatan
BANJARMASIN, iNews.id - Pukul 04.00 Wita. Pagi ini rombongan BMWMC menyempurnakan wisata di Tanah Borneo. Setelah perjalanan melalui udara untuk mencapai Pontianak dari Jakarta, dilanjutkan dengan riding 1.200 km dari Pontianak ke Banjarmasin, kami merasa harus menikmati jalur sungai Kalimantan yang terkenal.
Ya, di Sungai Barito dan sungai Martapura, nampaknya sangat menarik untuk dijadikan ajang wisata. Bayangkan saja, di aliran sungai ini terbayang wajah si nenek yang sedang berperahu lantas mengacungkan jempol di pasar terapung, tayang di televisi dengan slogan khasnya, "RCTI oke…". Nah pilihannya di Lok Baintan Sungai Martapura atau di hulu Sungai Barito, pasar terapung Kuin.
Karena waktu kami terbatas, dipilih yang terdekat. Pasar terapung Kuin menjadi tujuan kami dini hari itu. Rombongan bikers ini memutuskan berwisata naik mobil rental, ketimbang nyasar dan buang waktu. Mata mengantuk dan belum mandi, kami salat subuh di kompleks makam Sultan Suriansyah, di Kuin utara, tepat di tepian sungai.

Setelah salat, perahu motor yang disewa 350.000 rupiah mengantar kami ke pasar Terapung Kuin menyusuri muara Sungai Kuin ke arah sungai Barito. Angin subuh dan melihat kegelapan dengan lampu yang temaram, perjalanan sekitar 20 menit membuat kami justru mengantuk. Sampai kemudian berpapasan dengan perahu-perahu lain dan mulailah terlihat pada pedagang menjajakan jualannya dari atas perahu.
Hari masih gelap ketika tiba-tiba perahu klotok yang kami tumpangi berhenti. Langit bersih dari awan dan cahaya bulan sabit jelas terlihat. Dari kejauhan tampak aktivitas beberapa orang dari sebuah perahu yang memindahkan muatannya ke perahu yang lebih kecil. Saat mendekat baru kelihatan kalau buah semangka segar tengah berpindah muatan. Hanya ada satu dua perahu lalu lalang di sekitar kami. Beberapa perahu mulai merapat menjajakan buah. Deal! transaksi pertama terjadi di perahu kami. Bu Elis membayar satu sisir pisang yang kemudian berpindah kepemilikan di perahu kami.
Lalu lalang perahu mulai banyak saat hari berangsur terang. Aktivitas makin ramai. Kami tidak sendiri, beberapa kapal klotok berpenumpang wisatawan mulai berdatangan. Perahu yang menjajakan dagangan pun mulai beragam. Bahkan pedagang yang menjual kapal mainan pun sudah mulai merayu-rayu. Tapi yang kami cari belum ada, pedagang kopi yang juga menjual makanan jajanan pasar.
"Tunggu aja sebentar lagi juga datang. Sudah mulai terang ini ..." kata nahkoda kapal klotok kami.

Dan akhirnya aroma kopi yang diseduh air panas tercium juga. Yang sedang asyik foto-foto di atap perahu segera turun dan bergabung. Berganti-ganti menikmati jual beli yang rasanya cuma ada di sini. Seru juga jajan secara self service. Pilih dan ambil sendiri kue yang disuka asal terjangkau tangan.
Naaah……, karena jarak antarperahu yang tidak bisa dijangkau dengan tangan, butuh alat seperti gancu untuk mengambil sepotong pisang goreng. Alat dari kayu panjang yang ada pengait runcing di depannya. Persis seperti pemulung, hanya saja ini sambil duduk. Seru dan lucu sekali. Tapi konyol juga, bangun pagi dan jalan jauh-jauh hanya untuk makan pisang goreng di tengah sungai.
Jam 05.45 hari sudah terang. Pemandangan di sekitar sudah jelas terlihat. Keindahannya ternyata tidak seperti yang saya harapkan. Pertama, pasar ini tidak seramai yang saya kira. Mungkin lebih banyak jumlah wisatawan daripada jumlah pedagang. Harapan mendapat foto perahu berjejer dengan dagangan warna warni tidak kesampaian.

Kalau datang di akhir pekan mungkin masih ada kesempatan. Kedua, pemandangan di sisi sungai tampak kurang elok. Banyak industri pengolahan kayu di sepanjang sisi sungai. Terlihat kotor dan tidak beraturan. Tidak seindah gambar sang nenek pedagang di filler RCTI Oke….
Matahari mulai bersinar dan kami pun kembali ke dermaga dekat kompleks makam, lalu lanjut kembali menuju Hotel Park Tree. Sambil sarapan kami menyiapkan jadwal kumpul dan agenda selanjutnya, yaitu wisata ke Martapura, kota kecamatan di Timur Banjarmasin yang memiliki pusat batu Permata, pasar batu CBS Martapura. Karena bangun subuh, usai sarapan dan berkemas kami putuskan istirahat sejenak lalu berkumpul jam 10 di lobi dan langsung riding ke Martapura yang akan dilanjutkan menuju Batu Licin. Kali ini, kami dilepas kawan-kawan Motor Antik Banjarmasin.
Martapura, Pusat Wisata
Perjalanan ke Martapura sebetulnya cukup dekat, hanya 40 km. Namun entah karena sudah tak sabar mau berburu batu akik, rombongan terpisah. Beda info soal lokasi Pom bensin penyebabnya. Akibatnya, rombongan pecah menjadi 3 kelompok di tengah panas terik dan kepadatan lalu lintas.
Banjarmasin bagaikan kota-kota di Jawa, lalu lintas padat dan semrawut. Jalan by pass ahmad yani yang merupakan jalan baru menuju arah bandara, cukup berbahaya karena padat dan banyak kendaraan berputar arah mendadak.
Sekitar jam 11 siang kami masuk ke Martapura dan langsung menuju pusat batu di CBS, yaitu pertokoan Cahaya Batu Selamat. Toko Kalimantan, menjadi sasaran rombongan BMWMC. Tak semua tertarik berbelanja, apalagi bagi mereka yang tak suka batu. Namun, sekedar melihat-lihat dan mencari oleh-oleh batu Red Borneo, cukup menghibur. Pedagang di pasar ini, meski terlihat santai dan sederhana, namun bisnisnya lumayan dahsyat. Salah seorang pedagang yang kami ajak berbincang, terbiasa bolak balik ke Malaysia, Jakarta, bahkan Dubai, untuk berbisnis batu beragam jenis.

Sambil menunggu motor yang terpisah, Soderi R1200C dan Boy R51, kami memutuskan makan siang di warung sate Sunny di seberang Pasar. Warung sate yang lumayan kondang dan nge-hitz, kami pun antre makan. Sampai selesai dan kenyang, 2 motor tak kunjung muncul dan pesan di grup whatsapp menyebut mereka bablas ke kota Peleihari, Kabupaten Tanah Laut, sekitar 70 km dari Martapura. Akhirnya kami memutuskan lanjut riding ke arah Batu Licin yang berjarak 265 km melalui Peleihari. Hujan sudah mulai turun dan beberapa jalanan di sekitar Banjar Baru penuh genangan air.
Hari Rabu sore, namun jalanan terasa sangat padat. Truk besar dan mobil-mobil double cabin serta SUV seperti balapan menuju ke Kota Banjarmasin, berlawanan arah dengan kami. Rupanya, menjelang long weekend, banyak warga dan pekerja pertambangan yang ingin pulang kampung menuju bandara atau kota Banjarmasin.
Ya, jalur selatan wilayah ini memang padat dengan kawasan pertambangan dan pabrik-pabrik. Namun rupanya, kepadatan di jalur antara Martapura dan Peleihari ini, belum seberapa dibanding jalur menuju Batu Licin. Jalur ini kami pilih karena menyusuri bagian paling timur dari Provinsi Kalimantan Selatan, menyusuri tepian pantai di Selat Makassar sebelum memasuki Provinsi Kalimantan Timur.
Batu Licin Kota Tambang
Ya, selepas Pelehari jalanan cenderung sempit. Kepadatan? Jangan ditanya. Saat istirahat di Pelehari, penjaga warung asal Madiun bercerita bahwa jalur ke arah Batu Licin tak banyak truk besar karena angkutan tambang masuk ke pelabuhan. Namun ternyata, mobil-mobil pertambangan yang rata-rata berwarna putih, berseliweran kencang. Ya, kebetulan menjelang long weekend di sore hari, terbayang jalan tol Cikampek arah Bandung, yang selalu padat. Mirip deh, namun ini bukan jalan tol dan kebanyakan jalan tanah yang berdebu.
Tak banyak kesempatan melaju kencang memacu BMW di jalur ini, karena kalaupun kosong, dari kiri kanan motor dan mobil putih D-Cab bisa muncul sewaktu-waktu tanpa tengok-tengok. Memasuki kota asam-asam dan Sebambam, bagaikan ironi kawasan industri. Kampung-kampung yang terlihat kumuh, kontras dengan rumah kos dan rumah dinas para pegawai tambang yang terlihat mewah. Warung-warung kecil yang terlihat berdebu, kontras dengan minimarket milik pemodal. Yang unik, banyak salon dan spa sepintas terlihat di pinggir jalan. Masihkah sempat para pegawai tambang ini merawat rambut?

Nah selepas Sebambam hari mulai gelap dan magrib datang menyapa dengan lantunan azan dari masjid sepanjang jalan. Dan saya baru menyadari, spa dan salon ini rupanya menjadi tempat mangkal wanita-wanita berbusana seronok dan mulai menggeliat saat malam datang. Hmmm….
Sekitar pukul 19 malam, kami mulai menyusuri pantai Pagatan. Kawasan industri tambang sudah berakhir, dan kami memasuki jalur wisata. Jalanan menghadap langsung ke laut, namun karena sudah mulai gelap kami tak sempat lagi menikmati pemandangan. Di warung sea food Mama, kami janjian untuk bertemu dengan rombongan yang terpisah.

Ikan bakar menjadi menu malam ini, lengkap dengan angin laut dan langit yang luar biasa bertabur bintang. Bagaikan planetarium, saya menyempatkan diri menatap ke langit melihat kelap kelip bintang, pemandangan yang jarang bisa dilihat di langit Jakarta yang penuh polusi. Bersyukur Allah memberi kesempatan kami untuk mengagumi kebesaran dan keagungan-Nya.
Seperti biasa, etape terakhir malam ini menuju kota Batu Licin, menjadi perjalanan berat karena kantuk dan lelah datang menyerang. Sembilan motor ini berjalan mengikuti komando road captain, yang kadang ngebut dan kadang merayap perlahan. Ketika melihat kelap kelip lampu, pom bensin, bahkan kantor polisi bertuliskan Batu Licin, girang rasanya. Tinggal mencari hotel yang sudah di pesan sebelumnya. Alhamdulillah, Hotel Ebony, satu-satunya hotel berbintang di kota ini bisa mudah di temukan. Malam ini kami sigap memarkir motor dan masuk ke lobi hotel, pukul 21.00 Wita.
*Penulis
Hidra Simon
BMWMC Jakarta
Editor: Zen Teguh