Ramai Dikunjungi saat Imlek, 5 Kelenteng Ini Paling Tua di Indonesia
JAKARTA, iNews.id - Dalam menyambut Tahun Baru China atau Imlek 2019, kelenteng akan ramai dikunjungi masyarakat Tionghoa. Ada banyak aktivitas yang tersaji di tiap-tiap kelenteng yang ada di Indonesia.
Mulai dari pertunjukan barongsai, bazar, kuliner, musik, dan lainnya. Tak hanya digunakan sebagai tempat ibadah masyarakat Tionghoa. Kelenteng juga kerap dikunjungi untuk tempat wisata.
Pengunjung yang datang tidak hanya mengagumi bangunannya yang megah, tetapi juga mempelajari sejarah panjang yang ada di kelenteng tersebut. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki banyak kelenteng dengan berbagai macam bentuk. Bahkan, kelenteng-kelentengnya sudah berusia ratusan tahun.
Bangunannya unik, setiap sudut memiliki ciri khas arsitektur China. Biasanya didominasi warna merah dan emas, huruf mandarin juga menghiasi bangunan. Menariknya, kelenteng memiliki ornamen naga yang kerap menjadi daya tarik pengunjung.
Lantas, apa saja kelenteng legendaris di Indonesia yang ramai dikunjungi ketika ada perayaan Imlek? Berikut ulasan iNews.id, Senin (4/2/2019).
1. Kelenteng Hong Tiek Hian, Surabaya (Berdiri : 1293)

Kelenteng Hong Tiek Hian, adalah kelenteng tertua di Surabaya, sekaligus kelenteng tertua di Indonesia. Kelenteng ini dibangun oleh pasukan Tartar pada zaman Khu Bilai Khan pada awal Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-13. Ketika itu, Khu Bilai Khan bersama rombongannya melakukan perjalanan ke Indonesia. Setibanya di Surabaya mereka membangun tempat beribadah.
Kelenteng ini terdiri dari dua bangunan utama. Di antara kedua bangunan terdapat gang bernama Gang Dukuh 2. Di gang yang sekaligus menjadi jalan utama menuju ke pemukiman penduduk tersebut tampak gapura bergaya khas China.
Masuk bagian dalam kelenteng, suasana temaram dan bau hio akan menyambut Anda. Masuk lebih dalam lagi, tampak berbagai altar tempat pemujaan yang dihiasi dengan ornamen khas bergaya China. Terdapat altar mak co dan kong co di lantai dasar, sedangkan di lantai kedua, terdapat altar Dewi Kwan Im, Buddha dan dewa-dewi lainnya.
Bertempat di Jalan Dukuh No 231 Surabaya, klenteng ini menjadi landmark kawasan Pecinan Surabaya tepatnya timur Jembatan Merah. Kini, tempat religius ini dikunjungi oleh banyak orang setiap harinya. Selain sebagai tempat ibadah, di tempat ini juga sering diselenggarakan acara-acara tradisional China seperti pertunjukkan wayang Pho Tee Hi atau perayaan hari-hari besar China seperti Imlek.
2. Kelenteng Talang, Cirebon (Berdiri : 1450)

Kelenteng Talang berada di Jalan Talang Nomor 2 yang secara administratif berada di wilayah Kampung Keprabon RT 03 RW 02, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk. Kelenteng Talang menghadap ke arah timur, dibangun di atas lahan yang luas keseluruhannya 400 m2. Untuk memasuki kelenteng melalui gerbang dengan dua daun pintu kayu. Atap pintu berbentuk atap pelana atau kapal terbalik. Di halaman kelenteng ini tidak ditemui tempat pembakaran seperti kelenteng yang lainnya.
Bagian depan kelenteng adalah bagian pendopo. Konstruksi atap pendopo disangga enam tiang. Lantai pendopo dari bahan tegel berwarna merah dengan ukuran 40 x 40 cm. Menuju ke ruang utama melalui halaman terbuka, dan ruang utama posisinya lebih tinggi. Ruang utama ini berupa bangunan terbuka. Altar utama di ruang ini terbuat dari bahan kayu jati. Altar tersebut merupakan tempat persembahyangan kepada Kong Hu Chu.
3. Kelenteng Hok Tek Ceng Sin, Jepara (Berdiri : 1466)

Bangunan utama Kelenteng Hok Tek Ceng Sin Jepara menggunakan atap pelana tumpang khas bangunan Tiongkok. Di puncaknya terdapat patung sepasang naga berebut mustika, dengan tulisan huruf Tionghoa "Naga adalah lambang keadilan, kekuatan dan menjadi penjaga barang-barang dan tempat suci".
Sepasang Ciok say tampak berjaga di Kelenteng Hok Tek Ceng Sin Jepara ini. Ciok say (Singa Kilin) tersusun dari 18 jenis binatang. Di Serambi ada Hiolo Thian berkaki tiga untuk memuja Dewa Langit. Relief pada badan hiolo juga menampilan wajah raksasa dan binatang yang menyerupai kepiting dan belalang sembah. Tak ada ornamen naga pada hiolo ini. Namun pada pilar tampak melilit seekor naga dengan mata yang mencorong menyala, berhadapan dengan harimau.
4. Vihara Avalokitesvara, Serang Kota (Berdiri : 1542)

Inilah vihara tertua di Provinsi Banten, konon vihara ini sudah dibangun sejak abad 16. Pembangunan vihara ini juga tidak bisa dilepaskan dari Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan wali penyebar agama Islam di Indonesia. Inilah Vihara Avalokitesvara yang terletak 15 km arah utara dari Kota Serang, Banten.
Vihara Avalokitesvara memiliki luas mencapai 10 hektare dengan altar Dewi kwan Im sebagai Altar utamanya. Di altar ini terdapat patung Dewi Kwan Im yang berusia hampir sama dengan bangunan vihara tersebut. Selain itu di sisi samping kanan dan kiri terdapat patung dewa-dewa yang berjumlah 16 dan tiang batu yang berukir naga.
Kelenteng yang pernah terbakar pada tahun 2009 ini juga memiliki ukiran yang menceritakan bagaimana kejayaan Banten Lama saat masih menjadi kota pelabuhan yang ramai. Terletak di samping vihara, ukiran ini juga menceritakan bagaimana vihara ini digunakan sebagai tempat berlindung saat terjadi tsunami beserta letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883.
5. Kelenteng Dewi Welas Asih, Cirebon (Berdiri: 1595)

Kelenteng dengan bangunan utama seluas 1.600 m2 ini menghadap ke selatan, berdiri di lahan seluas 1.857 m2, yang terbagi menjadi halaman pertama, kedua, bangunan utama dan bangunan sayap. Bagian depan halaman pertama dibatasi dengan pagar dan gapura berbentuk bentar, sedangkan pagar sebelah barat dan timur dari tembok.
Selanjutnya menuju halaman kedua dimana terdapat bangunan Pat Kwa Ceng (tempat peristirahatan), tempat peribadatan agama Buddha yang disebut Cetya Dharma Rakhita terdapat dua tempat pembakaran kertas dan dua singa di halaman depan.
Bangunan utama terdiri atas serambi dan ruang utama. Ruang utama mempunyai ruang bagian depan, tengah dan ruang suci utama. Dinding sebelah kiri dan kanan pada ruang utama yang berlantai keramik warna merah bata ini dihiasi dengan gambar yang menceritakan bakti seorang anak kepada orang tua, pengadilan, dan penyiksaan terhadap orang-orang berdosa. Masing-masing dinding ruang bagian depan ini juga ditempel prasasti yang menyebutkan nama penyumbang dan jumlahnya, serta tahun pemugaran.
Editor: Vien Dimyati